MATA INDONESIA, JAKARTA – Daerah Depok kini telah menjelma menjadi salah satu kota yang cukup maju di Indonesia. Bisa jadi kebanyakan warga Depok masa kini tak paham soal sejarah kota yang memiliki luas 220,29 km2 tersebut.
Depok mulanya adalah lahan kosong ini yang lantas dibeli oleh seorang mantan saudagar Belanda yang bernaung di bawah VOC, Cornelis Chastelein.
Pembelian tanah tersebut, usai ia memutuskan mundur dari VOC pada tahun 1691. Konon pengunduran itu karena tak sejalan dengan pemikiran Gubernur Hindia Belanda Willem Van Outhroon yang cenderung mengeksploitasi hasil alam tanpa memperhatikan nasib masyarakat pribumi.
Cikal bakal Depok pun bermula saat Chastelein pada tanggal 15 Oktober 1695 membeli lahan di Lenteng Agung dan membangun sebuah vila di Srengseng Sawah.
“Namun lahan yang berbukit-bukit menyulitkan sistem pengairan bagi aneka kebun yang dikelolanya. Akhirnya dia membeli tanah di Depok,” ujar Yano.
Chastelein juga mendapat hadiah berupa tanah di Mampang, wilayah di dekat Depok, dari pemerintah Batavia pada 15 Februari 1696.
Kemudian, ia membeli tanah Depok pada 18 Mei 1696 dari seorang Residen di Cirebon yang bernama Lucas van der Meur dengan harga 700 ringgit. Status tanah itu adalah tanah partikelir atau terlepas dari kekuasaan Hindia Belanda. Luasnya sekitar 1.244 ha dan dibatasi oleh Pondok Cina di utara, Ciliwung di timur, Cimanggis di selatan, dan Mampang di bagian barat.
Sementara Tanah Karang Anyar yang kemudian disebut Cinere, didapatkan dari pemerintah Batavia pada 1711. Selain itu, tanah kecil di sebelah timur Kali Ciliwung dibeli pada 5 September 1712 dari Tio Tiong Ko dan lahan di sebelahnya dibeli pada 5 Agustus 1713 dari Kapiten Bali Oessien. Pada akhirnya, lima persil tanah itu disatukan menjadi Depok.
Untuk menggarap tanahnya diperlukan tenaga kerja, maka Chastelein Pada 1693-1697, mengirimkan kapal ke bagian timur Nusantara untuk mengambil para budak. Tercatat jumlahnya 150 orang, sebagian besar berasal dari, Makassar, Bali, Timor, Minahasa dan daerah lain di wilayah timur Indonesia.
Lantas, mengapa Cornelis tidak mengambil budak dari Jawa, yang lebih dekat?
Menurut Dr Lilie Suratminto, pengajar bahasa Belanda dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, hal itu disebabkan adanya perjanjian VOC dengan Kerajaan Mataram, yang mensyaratkan agar orang-orang dari Pulau Jawa tidak boleh dijadikan budak.
“Kalau tidak ada perjanjian itu, budak Cornelis Chastelein pasti banyak dari Jawa,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu sebagai tuan tanah, Chastelein memiliki hak untuk menguasai penduduk pribumi yang hidup di atas tanah tersebut. Chastelein memungut cukai setiap kali panen padi, besarnya seperlima dari hasil panen yang diperoleh.
Meski demikian, Chastelein bukanlah tipe tuan tanah yang lalim. Menurut Yano Jonathans, salah satu keturunan budak Chastelein dan penulis buku Depok Tempo Doeloe (2011), Chastelein berbeda dari orang-orang VOC sezamannya karena ketaatannya terhadap ajaran Protestan.
Langkah-langkah Chastelein banyak bertumpu pada prinsip cinta kasih kepada sesama. Ia sendiri punya semboyan Er is geen leven zonder liefde atau “tiada kehidupan tanpa kasih sayang”.
Ia diketahui sangat memperhatikan kesejahteraan budak-budaknya tersebut. Chastelein pun mulai memikirkan nasib para pekerja dan seluruh asetnya jika dia meninggal. Supaya mereka tetap terjamin hidupnya. Sebelum wafat, Cornelis Chastelein menulis surat wasiat.
Testament direvisi hingga lima kali yaitu tanggal 4 Juli 1696, 11 Mei 1701, 17 Juli 1708, 21 Maret 1711 dan akhirnya yang terakhir selesai pada tanggal 13 Maret 1714 disahkan oleh notaris Nicolas Van Haeften di Batavia pada tanggal itu juga.
Ketika ia meninggal dunia pada 28 Juni 1714, surat wasiatnya lalu dibuka. Dalam testament atau maklumat tertulisnya, Cornelis memerdekakan seluruh budak beliannya yang berjumlah kurang-lebih 150 orang itu, dengan syarat mereka harus menjadi Kristen. Sejumlah 120 menuruti ajakan itu.
Mereka kemudian disebut mardijkers yang berarti orang yang dimerdekakan. Budak-budak yang dibebaskan itu antara lain bernama Jan van Badinlias, Batoe Pahan, Samawarin van Bali, Hazin van Bali, Wiera van Makassar dan Florian van Bengalen, selain itu terdapat pula Raima dan istrinya, Mamma; Lukas dan istrinya, Klara; Sangkat Maligat, Malantas, Hagar dan Soman.
Salah seorang di antara mereka bertugas memberi pelajaran agama kepada anak-anak dan memimpin ibadat sederhana. Pemimpin pertama ialah Baprima Lucas van Bali yang diangkat oleh Chastelein sendiri.
Kemudian mereka pun menggunakan 12 nama marga yaitu : Jonathan, Soedira, Laurens, Bacas, Loen, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob dan Zadokh. Ke 12 marga tersebut sebelumnya sama sekali tidak tercantum di surat wasiat Cornelis Chastelein dan baru muncul setelah wafatnya beliau. Nama-nama tersebut tercatat dalam administrasi pernikahan dan baptisan gereja.