MINEWS, JAKARTA-Tahun 1965 menjadi salah satu sejarah kelam bangsa Indonesia atas peristiwa Gerakan 30 September (G30S) PKI. Sebanyak enam perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi korban dan ada satu nama lagi yang juga tak luput dari pembantaian keji tersebut.
Dialah sang pahlawan Kapten Pierre Andreas Tendean. Ia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dan dilahirkan dari seorang ibu yang berdarah Perancis dan ayahnya berdarah Minahasa.
Pierre Tendean, dikenal sebagai salah satu pahlawan revolusi. Kapten Satu Pierre Tendean meninggal setelah tentara PKI mengira ia adalah Jenderal A.H. Nasution. Kepada para prajurit PKI, dirinya mengaku sebagai sang Jenderal sehingga ia kemudian ditangkap dan dibunuh di Lubang Buaya. Tapi, seperti apakah sebenarnya seorang Kapten yang sebenarnya salah tangkap ini?
Pierre Tendean mengenyam pendidikan sebagai taruna Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung. Ia telah tertarik pada dunia militer sejak masih kecil dan kemudian memilih berkarir dalam bidang militer.
Diketahui juga ia memiliki riwayat karir sebagai agen intelijen karena sempat mendapatkan pendidikan di sekolah intelijen di Bogor.
Ketika mundur dari tugasnya sebagai intelijen, ia direkomendasikan untuk menjadi staf TNI-AD. Tiga orang perwira tinggi TNI pun berminat untuk menjadikan Pierre sebagai ajudan mereka.
Ketika orang tersebut adalah Jenderal Abdul Harris Nasution, Jenderal Hartawan dan Jenderal Dandi Kardasan. Namun sejak 15 April 1956 ia menjadi ajudan dari Jenderal A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/ Kepala Stff ABRI.
Sebagai ajudan Jenderal A.H. Nasution, Pierre kerap mendampingi sang Jenderal ke berbagai kegiatan, termasuk memberikan ceramah umum kepada mahasiswa di kampus-kampus.
Nah, karena penampilan Pierre yang menarik inilah ia menjadi begitu populer di kalangan wanita. Para mahasiswa yang mengikuti kuliah akbar Pak Nasution juga lebih memperhatikan si ajudan daripada Jenderal yang sedang memberi ceramah. Sampai-sampai saat itu keluar pernyataan dari para mahasiswi, “Telinga kami untuk Pak Nas, tapi mata kami untuk ajudannyaâ€.
Namun satu hal yang menarik untuk dibahas dari seorang Kapten Pierre Tendean adalah kisah cintanya. Walaupun ia memiliki wajah tampan tak serta merta menjadikannya sosok yang playboy dan ia hanya setia pada Rukmini, gadis pilihannya. Ia adalah sosok yang setia pada seorang wanita yang dikenalnya pada saat ia menjalankan tugas di Medan.
Namun kemudian mereka harus terpisah jarak dan menjalani hubungan cinta jarak jauh. Sebenarnya banyak wanita yang sangat mengidolakan sosok Pierre Tendean. Namun, kesetiaan dan rasa saling percaya yang mereka miliki tak menyurutkan rasa cinta diantara mereka. Bahkan ketika terjadi konflik yang mengancam keselamatan Pierre Tendean pada saat bertugas sebagai agen intelijen di Malaysia.
Kesucian cinta diantara mereka adalah penguat saat mereka terpisah dan sebagai bentuk keseriusan Pierre Tendean yang tak main-main. Kelembutan hati dan lemah lembutnya tutur kata Rukmini kemudian meyakinkannya untuk melamar sang kekasih hati.
Ia menulis surat kepada orang tuanya memohon doa restu untuk menikah. Sampailah pada waktunya yaitu tanggal 31 Juli 1965, Pierre Tendean menemui calon mertuanya dan melamar putri mereka.
Kebetulan pada saat itu Jenderal A.H Nasution dan Letnan Tendean sedang ada penugasan di Medan. Sehingga kesempatan itu ia gunakan untuk meresmikan hubungannya dengan sang gadis.
Kemudian disepakatilah hari pernikahan mereka berdua yang akan dilaksanakan pada November di tahun yang sama. Ternyata takdir berkata lain, pertemuan itu akan menjadi pertemuan terakhir mereka.
Acara lamaran tersebut menjadi saat-saat terakhir mereka saling bertemu sebelum akan terpisah selamanya. Bahkan dikatakan bahwa pada saat hari sebelum ia dibunuh secara keji, ia sempat melihat-lihat paviliun yang akan ia tinggali bersama calon istrinya nanti. Tempatnya tidak terlalu jauh dari rumah sang Jenderal, karena sebagai ajudan memang ia harus selalu siap sedia kapanpun dibutuhkan.
Kisah ini mengajarkan bahwasanya kesetiaan seorang prajurit memang sangat luar biasa. Bahkan pada akhirnya ia harus merelakan segala cinta kasihnya dan nyawanya sebagai bentuk dedikasi terhadap negara.