MATA INDONESIA, JAKARTA – H. Abdul Malik Karim Amrullah atau dikenal sebagai Buya Hamka adalah seorang ulama besar asal Sumatra Barat. Ia berjuang dan terkenal sebagai seorang intelektual, pendidik, jurnalis, sastrawan hingga politisi untuk merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan Belanda.
Tapi, pernahkah Buya Hamka angkat senjata layaknya seorang gerilyawan kemerdekaan lainnya?
Tak banyak yang tahu kalau sebenarnya Hamka juga merupakan prajurit dan pesilat yang juga ikut turun ke medan perjuangan. Dia adalah pendiri Barisan Pengawas Nagari dan Kota (BPNK) yang merupakan gerakan terbesar gerilyawan di Sumatra Barat.
Selain itu, ia juga tergabung dengan berbagai kelompok perang kemerdekaan, di antaranya Front Kemerdekaan Sumatra Barat, Tentara Keamanan Rakyat, dan Front Pertahanan Nasional. Ia berjuang melawan kebatilan kolonialisme pra dan pasca kemerdekaan, termasuk perjuangan menegakkan kebenaran pada masa presiden Soekarno hingga Soeharto.
Dalam setiap peperangan, ia menjadi penghubung krusial di antara kaum ulama dengan kelompok-kelompok pejuang kemerdekaan. Ia bergerak dari Serikat Islam (SI) menegakkan kekuatan sosial keagamaan Islam untuk menghadapi buruknya kolonialisme Belanda.
Keaktifan Buya Hamka dalam perjuangan kemerdekaan berdasarkan prinsip utama yang ia pegang. Kemerdekaan bisa diraih jika umat Islam memiliki kemerdekaan diri yang berdasarkan kekuatan tauhid. Tanpa itu, menurutnya kemerdekaan bangsa dapat berakhir berkeping-keping.
Berbagai agenda peperangan juga tak luput dari keikutsertaannya, mulai dari bergerilya di hutan sekitar Medan dan Sumatera Barat, Menghimpun kekuatan rakyat Sumatera Barat dan Riau, hingga perang revolusi menentang kembalinya Belanda ke Tanah Air.
Sebagai tentara, Buya Hamka tentu tak bisa menghindar dari kebiasaan masuk-keluar hutan. Ia juga berjuang layaknya prajurit biasa di medan pertempuran, mengalami minimnya pasokan makanan, bersembunyi, hingga berada di bawah ancaman kematian senjata musuh.
Totalitasnya di medan perang terbukti dengan mendapat apresiasi dari Jenderal Nasution yang menawarkan gelar Mayor Jenderal Tituler. Meski ia menolak pangkat kehormatan tersebut atas kerendahan hati dan saran dari seorang istri, Siti Raham.
Predikat ulama sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah lebih melekat pada dirinya dibanding juga menjadi seorang prajurit yang ikut angkat senjata mengusir para penjajah. apalagi, ia dikenal menjadi salah satu di antara banyak ulama Indonesia yang membuat tafsir Al-Qur’an.
Setelah kemerdekaan, Buya Hamka terjun ke dunia politik melalui partai Masyumi. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), hingga aktif terlibat dalam Muhammadiyah sampai akhir hayatnya. (Maropindra Bagas/R)