MATA INDONESIA, JAKARTA – 2 Juli 2004, Jurnalis dan pengarang ternama Mochtar Lubis berpulang. Ia wafat pada usia 82 tahun. Semasa hidupnya, Lubis dikenal sebagai pendiri Antara dan majalah sastra Horizon.
Ia juga dijuluki ‘wartawan jihad’ atas sikapnya yang tanpa kompromi mengkritik pemerintah, berani menentang ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan hingga prilaku korupsi terutama di zaman Orde Lama dan Orde Baru yang membuatnya keluar masuk penjara.
Berikut sejumlah pembelajaran yang bisa diambil Mochtar Lubis antara lain sebagai berikut.
Punya Pendirian yang Teguh
Lubis dikenal sebagai sosok yang punya pendirian yang teguh. Di masa awal kemerdekaan sejumlah media yang dipakai sebagai mesin propaganda dari partai-partai politik dan militer. Misalnya Partai Komunis Indonesia mendirikan Harian Rakyat. Partai Katolik menerbitkan harian Kompas. Protestan punya Sinar Harapan. Nahdhatul Ulama menerbitkan Duta Masyarakat. Kalangan militer menerbitkan Berita Indonesia.
Namun Lubis memilih untuk independen bersama harian Indonesia Raya. Koran ini mengklaim dirinya sebagai media yang independen dari kelompok dan partai manapun dengan semboyan “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat”. Demikian diungkapkan oleh Yasuo Hanazaki dalam Pers Terjebak (1998).
Berani
Lubis dikenal sebagai sosok yang tak bisa diajak kompromi. Ia tak gentar untuk mengkritisi kebijkan yang dilakukan pemerintah berbasis investigative reporting, meski resikonya jelas yaitu masuk bui.
Pertengahan 1950-an, Mochtar Lubis dipenjara. Ia yang kala itu menjadi pemimpin harian Indonesia Raya dituduh berkomplot dengan Zulkifli Lubis dalam ketegangan yang terjadi di Sumatera dan berani memberitakan soal isu poligami dan perkawinan Presiden dengan Hartini Suwondo dari Salatiga, Jawa Tengah pada ahad September 1954.
Soekarno pun dibuat malu karena dihujani kritik oleh Persatuan Wanita Republik Indonesia. Lubis pun dijebloskan dalam tahanan Orde Lama selama 10 tahun dan baru dibebaskan pada tahun 1966. Pemikirannya selama di penjara, ia tuangkan dalam buku Catatan Subversif (1980).
Bahkan Indonesia Raya sempat kena bredel beberapa kali karena keberaniannya membeberkan kasus pelecehan, ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan dan penindasan di masyarakat. Demikian tulisan Mansyur Sema dalam Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik (2008).
Setelah Orde Baru membebaskannya, ia tetap bertekad untuk tetap setia pada profesinya sebagai wartawan.Lubis pun menuliskan pengalamannya saat ditahan Orde Baru dalam Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru (2008).
Entah karena faktor usia dan pengalaman hidup dalam penjara baik di masa Sukarno dan awal kediktatoran Suharto, Mochtar memilih bersikap lebih hati-hati dalam perdebatan politik.
Aktivitas kewartawanannya di dalam negeri maupun dalam forum-forum terbuka mulai berkurang. Namun ia tetap dikenal luas di forum dunia karena keterlibatannya dalam kegiatan yang diadakan dalam forum-forum internasional.
Ia masih rajin menulis artikel untuk media-media asing. Tak heran bila di mancanegara Mochtar Lubis dikenal sebagai wartawan dan sastrawan yang berwawasan luas dan dalam. Sebagai sastrawan ia amat dikenal lewat karya-karya fiksinya seperti Jalan Tak Ada Ujung dan Senja di Jakarta.
Monografnya tentang ciri-ciri watak manusia Indonesia yang disampaikan di Pusat Kebudayaan Jakarta, sekarang dikenal Taman Ismail Marzuki (TIM), berjudul Manusia Indonesia memicu kontroversi dan perdebatan di kalangan intelektual.
Ada yang setuju bahwa karakter manusia Indonesia adalah asal bapak senang (ABS), feodal, dan hipokrit. Lebih banyak lagi yang kontra. Perdebatan atas pidato Mochtar itu memenuhi halaman media massa selama berhari-hari, dan bahkan menjadi rujukan sejumlah peneliti asing yang melakukan riset di negeri ini.
Satu kata untuk Mochtar Lubis, HEBAT!