MATA INDONESIA, JAKARTA – Jean Jacques Rousseau meninggal di Ermenonville, Oise, Prancis, 2 Juli 1778. Filsuf abad pencerahan ini tutup usia pada umur 66 tahun.
Rousseau menjadi sosok yang bisa dibilang paling berjasa menyulut semangat terjadinya revolusi Prancis. Karya masterpiece Rousseau yang berjudul Du contract sosial (kontrak sosial) mencerahkan rakyat Prancis kala itu, bahwa bentuk negara yang dianut selama ini keliru.
Akhirnya rakyat membentuk aliansi guna menggulingkan kekuasaan feodal tersebut dan menggantinya dengan sistem demokrasi. Semboyan yang diusung oleh aktivis revolusi saat itu adalah liberte (kebebasan), egaliter (persamaan), fraternite (persaudaraan). Prancis pun akhirnya keluar dari bayang-bayang Monarki Absolut ala Louis XVI.
Dalam pemikiran Rousseau, negara adalah sebuah bentuk pasif dari persatuan beberapa individu yang memiliki sebuah kesamaan tujuan, kemudian mereka melakukan kontrak dan membentuk pribadi publik yang bergerak dalam rangka politik. Dalam keadaan aktif, persatuan semacam itu disebut pemerintahan dan jika dibandingkan dengan kekuatan lain, ini disebut kekuasaan.
Ia juga menekankan bahwa kewajiban untuk tunduk kepada pemerintah dan hukum haruslah bersumber dari internal diri sendiri, bukan paksaan orang lain. Ini yang dinamakan sebagai sebuah kewajiban moral.
Rousseau pun lebih memilih istilah ‘berkewajiban’ daripada ‘dipaksa’, dikarenakan adanya variabel pilihan pribadi yang berperan di dalamnya, sehingga negara haruslah berbentuk semacam asosiasi yang bersifat sukarela.
Rousseau berpendapat, bahwa supaya sebuah hukum dapat diterima oleh masyarakat, maka kekuasaan yang membingkainya haruslah bersifat demokratis, sehingga otoritas legislatifnya haruslah berasal dari rakyat sendiri.
Di sini, Rousseau membagi institusi politik menjadi dua: Badan Penguasa (yang menurutnya sebaiknya diliputi oleh seluruh warga negara) serta Badan Pemerintahan yang terpisah dan merupakan subordinat dari Badan Penguasa, serta bertugas untuk menerapkan hukum yang telah ditetapkan.
Manusia pada dasarnya adalah ‘rakyat’, ketika mereka berada di kerumunan. Lalu menjadi ‘warga negara’, ketika mereka memberikan suara dalam sebuah dewan perwakilan. Kemudian menjadi ‘subyek’, ketika mereka berada di hadapan hukum.
Di dalam fondasi inti dari kerangka teori politik Rousseau, terdapat sebuah istilah yang bernama ‘Kehendak Umum’. Ia memiliki makna sedikit mirip dengan ‘kepentingan publik’. Namun Rousseau memberinya arti tersendiri, sesuatu yang lebih dari sekedar jumlah total kehendak individu yang membentuknya atau ‘Kehendak Semua’.
Dalam hal ini Badan Penguasa dapat dianalogikan kurang lebih layaknya sebuah perusahaan yang berperan sebagai ‘badan hukum’ yang bersifat fiktif. Kepada Badan Penguasa inilah warganegara hendaknya memberikan kebebasan dan kesetiaannya.
Lantas bagaimana dikaitkan dengan kondisi politik terutama penerapan demokrasi di Indonesia?
Pelaksanaan demokrasi tanah air cenderung mengalami pasang surut. Demokrasi Indonesia telah mengalami 3 kali pergantian konsep yaitu dari demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin hingga demokrasi pancasila yang bermula dari peristiwa 1998.
Pasca Soeharto digulingkan, Indonesia pun beralih ke era reformasi dan mengusung konsep demokrasi pancasila. Namun, apakah konsep ini mendatangkan keadilan dan bonum commune atau kebaikan bersama?
Jika ditautkan dengan pemikiran Rousseau, sebenarnya tak ada persinggungan secara langsung dari penerapan demokrasi di tanah air.
Pertama, jumlah warga negara yang banyak, beraneka ragamnya pola budaya dan tingginya kehidupan ekonomi merupakan masalah pokok dalam menerapkan kehidupan sosial-politik nan demokratis. Indonesia dituntut untuk menghadirkan suatu sistem politik dan kepemimpinan yang cukup kuat dengan mengandalkan partisipasi rakyat, guna menghindarkan timbulnya praktik diktator baik perorangan, partai ataupun militer.
Kedua, konsep demokrasi pancasila yang dipakai sekarang mengkristal dalam UUD 1945 dan pancasila. Konsep ini sebenarnya menjadi antitesis (perlawanan) terhadap sistem demokrasi barat atau timur. Pun dalam demokrasi pancasila lebih mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Sementara dalam demokrasi ala Rousseau, rakyat sangat berperan penting dan berhak mengambil keputusan demi negara.
Nah, jika ditarik benang merah dengan kondisi Indonesia, justru gagasan Rousseau tak berlaku sepenuhnya. Lihat saja di masa orde baru hingga reformasi, rakyat hanya berhak berpatisipasi dalam pemilihan suara (pemilu), namun tak punya kendali untuk menentukan keputusan karena sudah diwakilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam parlemen.
Mirisnya, sering kali ditemukan banyak kebijakan dari DPR yang disinyalir mendatangkan ketidakadilan dan merugikan masyarakat. Selain itu, peradaban masa kini yang cenderung antroposentris tanpa sadar mulai mengasingkan manusia dari alam maupun dirinya sendiri. Manusia seolah-olah terjebak dan tunduk pada hal-hal yang bersifat materialis.
Belum lagi, banyak dugaan berseliweran tentang penerapan hukum di Indonesia yang terkesan ‘tumpul ke atas, namun tajam ke bawah’. Indonesia harus bagaimana? Quo vadis demokrasi Indonesia?