MINEWS, JAKARTA – Misi pembebasan sandera Tim Ekspedisi Lorentz ‘95 di Papua, yang bernama operasi Mapenduma menyisakan sejumlah tanda tanya. Selain dugaan keterlibatan pasukan khusus kerajaan Inggris Special Air Service (SAS) dan serdadu bayaran dari perusahaan keamanan ternama Executive Outcomes (EO), kematian sniper Kopassus Letnan Sanurip pun menjadi misteri yang belum terungkap.
Nama Sanurip dikenal pada 15 April 1996. Ia adalah seorang sniper atau penembak jitu pasukan baret merah yang mendadak stres dan menembaki orang-orang di lapangan terbang Timika, Papua. Sepuluh tentara tewas, empat warga sipil dan satu orang pilot maskapai Airfast pun ikut meregang nyawa.
Tak hanya itu, peluru tajam Sanurip pun membuat sepuluh tentara dan tiga warga sipil lainnya luka-luka. Sejatinya, ia adalah seorang instruktur penembak runduk yang akan diterjunkan dalam operasi Mapenduma, namun kemudian dia tidak dilibatkan.
Pihak ABRI mengatakan, Sanurip stres dan berlaku seperti koboi lantaran kecewa namanya tak masuk rencana operasi. Ia terindikasi sakit jiwa akibat malaria yang merusak sistem saraf.
Brigadir Jenderal Amir Syarifudin, Kepala Pusat Penerangan ABRI, pun menceritakan awal insiden tragis itu terjadi. Saat kejadian, kata Amir, Sanurip bangun pagi hari di dalam hanggar.
Karena berisik (mungkin karena gangguan kejiwaan), dia ditegur oleh rekannya. Tidak terima ditegur, dia langsung memberondong rekan-rekannya dengan senapan yang dibawanya. “Setelah menembaki rekan-rekanya, dia berlari keluar dari hanggar dan menembaki siapa saja yang ada di situ,†kata Amir pada 16 April 1996.
Senada juga diucapkan mantan Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI, Letnan Jenderal Soeyono. “Karena stres dan kecewa tidak diikutkan dalam beberapa gerakan operasi, pada suatu subuh dia nekat menembaki siapa saja yang dilihatnya di kawasan landasan lapangan terbang Timika. Sekitar lima belas orang menjadi korban penembak jitu pelatih tembak tempur itu. Yang menjadi korban antara lain Komandan Satgas, yakni seorang pewira menengah Kopassus yang sedang naik daun,†kata Soeyono dalam biografinya, Bukan Puntung Rokok, karya Benny S. Butarbutar.
Theo Syafei, mantan Pangdam Udayana (1993-1994) menyatakan seharusnya Sanurip bisa mengendalikan diri karena dia seorang Letnan. “Kalau memang dia seorang Letnan, benar-benar kejutan. Seharusnya dia sudah mempu menahan tekanan psikis yang dihadapinya,†kata Theo.
Sanurip berhasil ditangkap dan dibawa ke Jakarta untuk diperiksa. Sayangnya, Kopassus terkesan menutupi kasus tersebut, apalagi tim dari Pusat Polisi Militer (Puspom) ABRI, tidak bisa leluasa memeriksa Sanurip.
Komandan Puspom ABRI, Mayor Jenderal Syamsu Djalal, kemudian melapor ke Kasum ABRI, Soeyono. Baru setelah diperintahkan langsung oleh Soeyono, Kopassus akan menyerahkan Sanurip ke Puspom. Namun kenyataannya, Syamsu Djalal dan tim tetap mendapat hambatan dalam memerika Sanurip. Mereka dilarang masuk ke Ksatrian Kopasus untuk memeriksa Sanurip.
Soeyono pun tidak bisa mengikuti kelanjutan penyelidikan kasus Sanurip karena dinonaktifkan dari dinas dan mengalami keadaan yang mengenaskan karena bunuh diri di selnya. Kisah tragis nan aneh Sanurip itu mengawali keganjilan dalam operasi pembebasan sandera di Mapenduma.
“Nampaknya Prabowo khawatir Sanurip akan mengungkapkan hal-hal yang dapat membuka aibnya,†kata Syamsu dalam biografi Soeyono.
Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus, Brigadir Jenderal Prabowo Subianto, mengambil kesimpulan sendiri bahwa “Sanurip merupakan personel yang keadaan mental ideologinya harus dicurigai karena berasal dari keluarga yang tidak bersih lingkungan (dituding komunis, red).â€