MATA INDONESIA, JAKARTA – Bicara polisi jujur dan baik selama ini kita selalu menunjuk almarhum Jenderal Hoegeng Iman Santoso. Padahal, masih ada satu lagi yaitu Jenderal Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kapolri pertama Indonesia yang juga guru sekaligus idola Hoegeng dan menjadi .
Padahal, dia tidak pernah bermimpi atau bercita-cita menjadi Kapolri meski pendidikan dan pengalaman kepolisiannya di era Pemerintahan Hindia Belanda cukup mumpuni.
Soekanto lahir di Bogor 7 Juni 1908 memiliki latar belakang pendidikan cukup mentereng sejak masa mudanya. Dia adalah lulusan HBS KW III, yang gedungnya kini menjadi kompleks Perpustakaan Nasional di Salemba, Jakarta Pusat.
Dia memilih mengikuti jejak ayahnya seperti ditulis G. Ambar Wulan dalam buku “Polisi dan Politik: Intelijen Pada Masa Revolusi Tahun 1945-1949.”
Maka, setelah lulus HBS dia melanjutkan pendidikan di sekolah tinggi hukum atau Recht Hooge School (RHS) Jakarta, lalu pada 1930 Sukanto mendaftar Sekolah Aspiran Komisaris Polisi di Sukabumi.
Tiga tahun kemudian dia mulai menjalankan tugas sebagai aspiran komisaris polisi kelas tiga bagian lalu-lintas di Semarang. Hingga 7 tahun kemudian Soekanto ditugaskan sebagai Wakil Kepala Polisi Banjarmasin dengan pangkat Komisaris Polisi Kelas Satu sampai Jepang menduduki Indinesia.
Di era pendudukan Jepang, Soekanto ditarik menjadi instruktur di Sekolah Kader Tinggi Polisi, Sukabumi. Di situlah di mengajar Hoegeng Iman Santoso yang terkenal di kemudian hari.
Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Soekanto bertemu teman lamanya Mr. Sartono dan Iwa Kusumasumantri. Satu bulan setelahnya 29 September 1945, kedua teman lamanya yang juga penasihat Presiden Sukarno itu mengajak Soekanto mengikuti Sidang Kabinet.
Betapa kagetnya Soekanto ketika Presiden Sukarno menunjukkan sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara (KKN) sekarang lebih dikenal sebagai Kapolri pada sidang itu. Waktu itu, dia berusaha menolaknya dengan halus dengan menyatakan bahwa masih ada perwira polisi lebih senior darinya.
Tetapi Sukarno tidak bergeming, Soekanto harus menjadi KKN dan membangun Polri mulai dari nol.
Dia mulai meletakkan dasar-dasar Polri setelah Belanda mengakui kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada 16 Janusi 1950 dia diangkat menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia Serikat.
Di awal kepemimpinan Soekanto, kekuatan polisi RI sekira 36.000 personel. Sementara polisi dari daerah federal berkisar 47.000 orang. Karena luasnya bidang dan kerja kepolisian, Soekanto memproyeksikan setiap tahun diperlukan tambahan lebih dari 3.000 personel.
Maka dibutuhkan lembaga pendidikan kepolisian yang memadai dan diresmikanlah Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) 1 September 1950.
Selain itu, didirikan pula Sekolah Polisi Negara (SPN) di beberapa daerah, lalu Sekolah Brigadir Polisi dan Sekolah Polisi Negara Bagian Radio.
Soekanto mengirimkan ratusan perwira muda belajar ke Amerika Serikat (AS). Pengiriman ini mendapat bantuan dari AS melalui International Cooperation Administration.
Menurut mantan Kapolri yang pernah menjadi juru catat Soekanto, Awaloedin Djamin, eks atasannya itu menjadi kepala polisi terlama dalam sejarah yaitu 14 tahun. Namun pada waktu itulah dia benar-benar membangun Polri sampai membeli kapal laut dengan tonase 500 ton, pesawat terbang dan memperkuat PTIK.
“Soekanto-lah yang membangun Polri secara profesional. Tanpa Soekanto tak ada polisi seperti sekarang,” begitu pernyataan Awaloedin.
Hal serupa juga diungkapkan Jenderal Pol (Purn) Hoegoeng Imam Santoso yang hadir saat pemakaman RS Soekanto, 25 Agustus 1993.
“Pak Kanto orang yang patut dicontoh. Dia meletakkan jiwa kepolisian, polisi harus jujur dan mengabdi masyarakat. Tanpa Pak Kanto, polisi sudah berantakan,” kata Hoegeng, yang pernah menjadi Kepala Kepolisian RI (1968-1971).