MATA INDONESIA, JAKARTA – Bersahabat tidak harus sepakat dengan idealisme. Setidaknya begitulah yang terjadi pada Mr Assaat yang menentang Sukarno saat panglima tertinggi itu menjalankan prinsip Demokrasi Terpimpin.
Sebagai seorang demokrat dan Muslim, Assaat menilai prinsip tersebut akan membahayakan Republik muda tersebut karena menurut penilaiannya Demokrasi Terpimpin adalah kediktatoran terselubung.
Apalagi, saat itu sikap Sukarno tampak condong ke Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dinilainya akan terlalu diberi kekuasaan penuh.
Secara pribadi Assaat masih menghormati Sukarno, namun karena hidupnya seperti diawasi petugas intelijen dan PKI, dia memilih meninggalkan Jakarta.
Caranya meninggalkan Jakarta pun dibuat terselubung. Dia bersama keluarga menumpang becak seolah-olah akan pergi berbelanja, menyusuri Jalan Teuku Umar ke Jalan Sabang lalu menuju Stasiun Tanah Abang.
Mereka akhirnya berhasil menyeberang ke Sumatera, lalu tinggal beberapa hari di Palembang.
Ketika itu di Sumatra Selatan sudah terbentuk Dewan Garuda yang dipimpin oleh Letkol Barlian. Di Sumatra Barat Letkol Ahmad Husein membentuk Dewan Banteng. Kolonel Maludin Simbolon mendirikan Dewan Gajah di Sumatra Utara, sementara Kolonel Ventje Sumual membangun Dewan Manguni (Burung hantu) di Sulawesi.
Dewan-dewan tersebut bersatu menentang Sukarno yang dipengaruhi oleh PKI. Terbentuklah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Assaat yang ketika itu baru tiba di Sumatra Barat bergabung dengan PRRI. Kemudian berkeliaran di hutan-hutan Sumatra, setelah Pemerintah Pusat menggempur kekuatan PRRI.