Kudatuli 1996, Sebuah Catatan Kelam Pemerintahan Soeharto

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) atau Peristiwa Sabtu Kelabu pada 27 Juli 1996 hingga kini masih membekas dalam ingatan bangsa Indonesia, sebagai satu catatan kelam matinya demokrasi di era Presiden Soeharto.

Semua berawal saat Soeharto merekayasa Kongres PDI di Medan, yang mengangkat secara sepihak Soerjadi sebagai Ketua Umum. Padahal, Ketua Umum yang sah adalah Megawati Soekarnoputri, terpilih dalam Kongres Surabaya 1993.

Diam-diam, kader PDI pro Mega mendengar kabar, bahwa Soerjadi yang merupakan kaki tangan Soeharto akan merebut paksa markas Partai Banteng di Jalan Diponegoro, Menteng.

Mega dan semua pendukungnya mulai melakukan penjagaan ketat, mereka tak gentar selangkahpun pada ancaman Soerjadi.

Saat itu, Mega menggelar mimbar bebas yang sangat dibenci Soeharto. Dalam mimbar tersebut, para aktivis anti Orde Baru melantangkan suara-suara perlawanan pada rezim otorites.

Ancaman penyerangan benar-benar terjadi. Soerjadi dan pasukannya mendatangi markas PDI lalu terjadilah kerusuhan.

Dalam catatan Komnas HAM, 5 orang dinyatakan meninggal dunia, 149 orang luka-luka dan 136 orang ditahan. Selain itu, Komnas HAM juga menemukan sejumlah bukti telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia.

Kronologis Singkat

Pukul 03.00 WIB, para pendukung Mega yang berada di lokasi mulai curiga dengan mobil polisi yang berkali-kali melintas. Namun, belum terjadi apapun saat itu.

Lalu, Pada 05.00 dinihari WIB. Saat itu, markas PDI yang dijaga pasukan pro Mega didatangi sekelompok orang berbaju merah. Konon, orang-orang tersebut diangkut dengan delapan truk.

Bentrokan pertama pecah pada pukul 06.15 WIB, massa pendukung Mega dan orang-orang berbaju merah saling lempar batu. Kabarnya, empat orang tewas, namun jumlah ini belum terkondfirmasi.

Pukul 09.15 WIB, bentrokan lain juga terjadi di sekitar lokasi. Massa yang diduga bukan kader PDI melakukan penyerangan terhadap pasukan ABRI dengan melempar batu. Pukul 11.30, massa terkonsentrasi di tiga titik, yakni depan Bioskop Megaria, di depan BII, dan di depan Telkom.

Mimbar bebas digelar. Setelah itu, kerusuhan terjadi hingga pukul 01.00 WIB dinihari tanggal 28 Juli. Sejumlah kendaraan terbakar, termasuk toko-toko di sekitaran markas PDI.

Setelah peristiwa mengerikan tersebut, pemerintahan Soeharto masih tetap mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Sementara dominan kader PDI justru memihak ke Megawati sebagai simbol perlawanan.

Selain banyak yang tewas, tak sedikit aktivis yang berorasi di mimbar bebas ditangkap dan dipenjara. Salah satunya adalah Budiman Sudjatmiko, pimpinan Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang divonis paling berat, 13 tahun penjara.

ABRI alias TNI diduga kuat sebagai dalang dalam pecahnya kerusuhan ini. Namun, dalang utamanya tak pernah terungkap. Beberapa nama petinggi ABRI saat itu muncul dalam laporan Komnas HAM, salah satunya adalah Brigjen Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai Kasdam Jaya.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Tindakan OPM Semakin Keji, Negara Tegaskan Tidak Akan Kalah Lawan Pemberontak

Organisasi Papua Merdeka (OPM) banyak melancarkan aksi kekejaman yang semakin keji. Maka dari itu, negara harus tegas untuk tidak...
- Advertisement -

Baca berita yang ini