MATA INDONESIA, JAKARTA – Serangan jantung yang dirasakan Meyzar Chaidir (55) sangat menyiksa tubuhnya. Serangan itu datang saat ia selesai bersantap sahur. Dadanya terasa terbakar dan keringat dingin mengucur deras di sekujur tubuhnya.
Saat ke dokter, ia pun mendapat vonis serangan jantung. Penyebabnya? makanan. Spesifiknya adalah gorengan. Maklum, saat buka puasa di kantor, selama satu bulan ia berbuka dengan gorengan.
Tak hanya Meyzar Chaidir. Di Indonesia, entah kenapa tradisi buka puasa rata-rata adalah gorengan. Biasanya lengkap dengan cabai rawit dan aneka kondimen lain, semisal kecap manis atau sambal kacang.
Tak hanya di bulan Ramadan. Sarapan pagi orang Indonesia adalah gorengan. Mulai dari pisang goreng yang terbuat dari pisang kepok, renyah dan tak lembek walau sudah dingin. Ada juga tahu isi dengan isian toge dan wortel yang malu-malu. Tak ketinggalan, tempe goreng dan cireng.
Gorengan menjadi salah satu kudapan favorit orang Indonesia. Harganya murah meriah. Tak hanya itu, beberapa jenis gorengan malah jadi lauk pauk menemani nasi.
Lalu darimana sebenarnya asal mula gorengan?
Sebenarnya awal mula gorengan ini tak terlepas dari penemuan minyak sawit di Mesir. Buku A History of Food (2008) menceritakan orang Mesir di tahun 1200 SM mulai menggunakan minyak sawit sebagai media pengorengan alias deep frying. Teknik ini kemudian menyebar ke seluruh dunia saat para pedagang berdatangan ke Mesir.
Dunia pun akhirnya mengenal teknik mengoreng. Dan terbukti, hampir seluruh negara punya jenis makanan gorengan. Beberapa karena eksperimen atau karena ketiadaaan bahan makanan pokok.
Muncul Tempura dari Jepang yang memadukan terong, ubi, pisang, hingga udang. Kemudian di Korea ada twigim yang mirip-mirip Tempura. Di Inggris, gorengannya adalah fish and chips. Karena gandum ternyata setelah bisa diolah menjadi tepung. Campurannya ikan berbalur tepung. Supaya lebih maknyus, campuran ini tersaji dengan kentang goreng.
Menyeberang ke Amerika Serikat ternyata punya banyak gorengan. Mulai perkedel jagung hingga daerah selatan yang kemudian menjadi ciri khas mereka, ayam goreng.
Gorengan Indonesia
Indonesia mengenal gorengan karena pendatang dari Tiongkok alias Cina. Selain mengenalkan makanan seperti mi, bakso, atau tahu, para perantau ini mengenalkan teknik-teknik masak yang sebelumnya masih asing.
Misalnya teknik menumis (fan chao). Selama ini penduduk Nusantara tak mengenal teknik ini. Belum lagi soal teknik menggoreng dengan sedikit minyak, memakai api besar, dan aduk. Di dunia Barat terkenal dengan stir fry.
Orang-orang Tiongkok juga memperkenalkan beberapa teknik menggoreng lainnya. Mulai dari menggoreng dengan sedikit minyak (jian), juga menggoreng dalam banyak minyak (zha). Nah, teknik zha ini yang kemudian menjadi dasar dari segala jenis gorengan di Indonesia.
Seiring perkembangan zaman, akhirnya bermunculah jenis-jenis gorengan di Indonesia.
- Di Surabaya terkenal dengan nama ote-ote. Ada pula yang menyebutnya weci. Ini untuk menyebut adonan berbentuk cekung, dengan aneka macam isian, mulai dari wortel, tiram, daging ayam, hingga rumput laut. Salah satu produk paling terkenal adalah ote-ote Porong dari Sidoarjo. Isinya premium: rumput laut dan tiram.
- Di kawasan Tapal Kuda, orang mengenal ote-ote dengan istilah unik: hongkong. Secara bentuk sama. Isiannya sederhana: toge dan wortel. Namun di Jember, ada hongkong dari toko roti Rotikoe yang sepertinya meniru ote-ote ala Porong. Isinya; daging ayam, rumput laut, dan cacahan kucai.
- Di Jawa Barat, orang mengenal bala-bala. Ini untuk menyebut gorengan adonan berisi sayur-mayur. Namun di daerah lain, termasuk Jakarta, orang mengenalnya sebagai bakwan. Jika pergi ke daerah Jawa Timur, terutama Surabaya, bakwan adalah istilah untuk saudara kembar bakso –beda di takaran tepung dan kuah.
Reporter : Adinda Catelina Fadjrin