Home Headline Korupsi di Indonesia Ada Sejak Kerajaan Majapahit, Pelakunya Dihukum Mati

Korupsi di Indonesia Ada Sejak Kerajaan Majapahit, Pelakunya Dihukum Mati

0
2369
Ilustrasi Kerajaan Majapahit
Ilustrasi Kota di Kerajaan Majapahit

MATA INDONESIA, JAKARTA – Kasus korupsi di Indonesia bukan hal baru, bahkan sudah ditemukan jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Kerajaan Majapahit disebut sebagai persemaian praktik kotor negeri ini hingga sekarang semakin sulit diberantas.

Bentuk korupsi yang sering ditemui pada abad ke-13 itu adalah pungutan liar atau sekarang populer dengan sebutan pungli.

Menurut sejarawan, Ong Hok Ham pungli pada masa Majapahit itu terus bertahan karena penjabat yang berada di dalam kerajaan tidak di gaji oleh raja.

Maka mereka harus mengelola keuangannya sendiri agar organisasi yang dipimpinnya bisa berjalan dengan baik.

Saat itu raja memerintahkan para pejabat tanah juga petani untuk memungut bea cukai sehingga memerintahkan para pemungut bea cukai itu meminta denda dan upeti kepada rakyat. Itu lah gaji yang diperoleh para pemungut bea cukai tersebut.

Ternyata bukan hanya para pemungut bea cukai saja yang mencari gajinya sendiri. Para menteri di keraton, bupati, pengawas perairan, tukang jagal, pencatat penduduk, penarik pajak, kepala desa, dan lainnya semua mengelola keuangan kantornya sendiri-sendiri.

Dalam bukunya, “Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang,” Ong Hok Ham menjelaskan, “Dalam sejarah kita terdapat contoh di mana seorang bawahan dapat menjamu rajanya secara lebih mewah daripada raja itu sendiri menjamu para tamunya. Atau si penarik pajak dapat meremehkan para abdi dalem keraton tertinggi, juga para menteri, bahkan pangeran, sebab penghasilannya jauh melebihi penghasilan mereka – dan mereka semua berhutang padanya.”

Pungli di masyarakat Nusantara ternyata tidak hanya terjadi di era Majapahit tetapi juga di zaman ketika Kolonial Belanda berkuasa.

Di masa Hindia Belanda dipimpin Gubernur Jenderal, Johannes van den Bosch (1830-1833), membuat peraturan yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagai tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor seperti kopi, teh, dan tebu.

Peraturan itu membuat ladang menjadi subur, namun aksi pungli tak terbendung. Akibatnya, berjuta gulden (mata uang Belanda saat itu) mengalir dari petani ke sejumlah kas Pemerintah Belanda dan kantong pribadi para bupati.

Akibatnya, betapa pun giatnya para petani bekerja di tanah-tanahnya yang luas tetap saja miskin dan sengsara karena hasil taninya tidak bisa mereka nikmati.

Para bupati menutup mata melihat kesengsaraan rakyatnya. Mereka hanya fokus menerima pujian dan bintang jasa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, sambil merasakan nikmatnya menerima uang pungli.

Masa berganti aktivitas pungli itu terus semakin langgeng di era kongsi dagang VOC (Verenigde Oost indische Compagnie), bahkan tidak kalah hebat dari masa-masa sebelumnya.

Saat itu, VOC hanya menggaji para kepala daerah setempat sekadar sebagai uang pengikat saja. Misalnya, Gubernur Pantai Utara Jawa hanya digaji sebesar 80 gulden per bulan.

Gaji yang tidak cukup itu mendorong para kepala daerah tersebut melakukan praktik curang masing-masing pejabat berdagang untuk keuntungan sendiri bukan demi rakyatnya.

Seorang komisioner VOC, Dirk van Hogendorp, menyebutkan kebanyakan pungli yang dilakukan para pejabat VOC dilakukan dengan memberi denda kepada barang-barang milik orang-orang Cina dan Jawa dengan melampai batas.

Saat itu mereka juga memperoleh keuntungan dari penjualan opium, hadiah-hadiah, dan lainnya.

Tindakan curang para pejabat VOC tidak berhenti di situ. Mereka juga memanipulasi harga dengan melakukan jual-beli jabatan, juga hak monopoli terhadap barang-barang seperti candu, garam, dan hasil alam lainnya.

Praktik korupsi itulah yang pada akhirnya menghancurkan organisasi dagang paling disegani pada masanya tersebut. Sebab, yang kaya adalah para pejabatnya, sedangkan organisasi dagang itu tidak memiliki apa-apa.

Sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta, Miftakhuddin dalam bukunya, “Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembangunan Menuju Hegemoni” mengungkapkan saat organisasi VOC diserahkan kepada Kerajaan Belanda 1 Januari 1800, mewarisi utang 134,7 juta gulden.

Para pejabat VOC yang melakukan korupsi saat itu tidak bisa tenang-tenang saja sebab banyak yang langsung diasingkan bahkan ada yang dihukum mati dengan cara digantung di lapangan agar bisa ditonton masyarakat luas sehingga memberi efek jera.

Saat ini, meski ada klausul hukuman mati di Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun belum ada satu pun pelaku tindak pidana korupsi yang mengalaminya. (Indah Suci Raudlah)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here