MATA INDONESIA, JAKARTA – Saat ini, Presiden Jokowi memberi tugas mulia kepada Lembaga Eijkman untuk membuat vaksin Covid19, namun lembaga itu juga pernah mencatat peristiwa heroik pada 1945 yang membuat direktur dan para dokter dibantai Kenpetai.
Lembaga itu didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada 1888 masih berupa laboratorium. Saat itu dikenal dengan Geneeskundig Laboratorium atau laboratorium medis.
Pada 1938, nama Eijkman disematkan pada laboratorium tersebut setelah Christiaan Eijkman yang menjadi direktur pertama laboratorium tersebut memenangkan nobel bidang kedokteran karena menemukan vitamin B untuk menyembuhkan penyakit beri-beri.
Sejak diubah menjadi Lembaga Eijkman, Prof. Dr. Achmad Mochtar ditunjuk sebagai direktur lembaga itu hingga dia tewas karena dipancung tentara Jepang pada 1945 karena membela melindungi pegawai dan dokter-dokter lembaga tersebut.
Ceritanya, pada 1942, tentara Jepang memerintahkan Lembaga Pasteur di Bandung untuk memproduksi vaksin yang bisa mengobati para pekerja paksa atau romusha yang terserang tetanus.
Maka, sekitar 90 orang romusa yang masih sehat dibawa ke rumah sakit pusat di Jakarta untuk bisa memproduksi vaksin tersebut, sayang mereka meninggal dunia.
Beberapa minggu kemudian, peneliti Lembaga Eijkman yang menganalisis sampel jaringan hasil otopsi menyimpulkan bahwa vaksin yang diberikan telah tercemar toksin tetanus.
Pada bulan Oktober 1944, Achmad Mochtar beserta staf peneliti Lembaga Eijkman dan para tenaga kesehatan yang melakukan vaksinasi ditangkap oleh tentara Jepang Kenpeitai.
Mereka dituduh melakukan sabotase terhadap vaksin yang diberikan kepada para romusha sehingga mereka meninggal dunia.
Mereka semua disekap, dipukul, dibakar, dan disiksa dengan metode waterboarding atau penyiksaan dengan kaki dan tangan diikat serta kepala ditutupi kain lalu disiram air. Beberapa dokter tewas dalam tahanan.
Achmad Mochtar memutuskan mengaku untuk menyelamatkan nyawa rekan-rekannya dari tangan kekejaman Kenpetai. Akhirnya Achmad Mochtar dihukum pancung.
Setelah penyelidikan dilakukan terhadap kematian para romusha tersebut ternyata bukan karena vaksin tersebut.