Kisah Adnan Buyung Nasution Keluar Masuk Penjara di Era Soekarno hingga Soeharto

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Nama Adnan Buyung Nasution cukup dikenal dalam dunia hukum dan peradilan tanah air. Selain dikenang sebagai pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH), ia juga dikenal sebagai sosok yang kritis dan menentang segala bentuk ketidakadilan. Hal ini membuat Buyung menjadi ‘musuh’ rezim Orde Lama (Orla) hingga Orde Baru (Orba) dan sering keluar masuk penjara.

Salah satu momen yang dikenang adalah menjelang kejatuhan Soekarno. Buyung dituduh anti manipol yang menjadi haluan negara di era Orba. Hal ini membuatnya harus mendekam di penjara.

Buyung pun menjadi salah satu sosok yang mendukung Soeharto menjadi presiden RI yang ke-2. Meski demikian, ia tetap menjadi kritikus ulung di masa Orba.

Salah satu peristiwa yang dikenang adalah peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) di tahun 1974. Ia pun dipenjara selama 22 bulan bersama Hariman Siregar, Fahmi Idris, Rachman Tolleng, dan Syahrir. Salah satu penyebab penahananya karena LBH menolak pendirian proyek Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Teten Masduki pada sebuah kesempatan pun mengenang Buyung sebagai sosok yang sangat menonjol, berani serta keras pendiriannya.

“Kami juga sama-sama pernah ditahan dan dipenjara pada 1974 dan 1975 karena peristiwa Malari. Kala itu, Buyung sangat keras. Sebagai bekas jaksa, dia memprotes cara dan lama penahanan,” ujarnya melansir BBC.com.

“Saat itu, kami ditahan dengan dasar penahanan subversif yang bisa menahan seseorang selama satu tahun tanpa diadili,” lanjut sang pendiri ICW tersebut.

Tak hanya itu, Buyung juga pun pernah harus kehilangan praktik advokat selama satu tahun akibat memotong ucapan hakim dan berkacak pinggang di persidangan pada awal 1986.

Kala itu, ia menjadi pembela Jenderal Hartono Rekso Dharsono, bekas Pangdam Siliwangi dan Sekjen ASEAN yang dituduh subversif oleh pemerintah Soeharto. Dharsono menghadiri serangkaian rapat setelah Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 yang dihubungkan dengan peledakan bom di gedung Bank Central Asia (BCA) dan pusat pertokoan Glodok.

8 Januari 1986 pagi, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membacakan vonis Dharsono. Di kursi pembela, Buyung berdiri, bertolak pinggang dan menyela hakim Soedijono yang menyebutnya ‘tidak etis’. Ia menyambar pengeras suara didepannya dan berteriak, “Saya protes kata-kata Majelis itu — siapa yang tidak etis?”

Suasana gaduh. Ini peristiwa tak biasa di pengadilan, apalagi pengadilan kasus subversi. Polisi bergegas memasuki ruang sidang, tapi Abang Buyung membentak seraya menuding ke pintu keluar: “Ruangan ini wewenang hakim, bukan polisi. Polisi keluar!” Polisi pun tak jadi masuk.

Namun kemarahan dan pembelaan Buyung tak berefek. Dharsono tetap dihukum 10 tahun penjara. Tapi insiden itu berbuntut panjang. Buyung dianggap menghina peradilan (contempt of court). Izin pengacaranya dicabut.

Dan setelah itu, zaman amat tak berpihak kepadanya. Orde Baru sedang kuat-kuatnya, segala yang melawan atau berdiri di seberang, sungguh sengsara. Setahun kemudian, satu hari di tahun 1987, Buyung meninggalkan Indonesia.

Ia ke Belanda sebagai mahasiswa doktoral di Universitas Utrecht. Pada 1993, Adnan Buyung Nasution kembali ke Indonesia. Soeharto masih berkuasa, tapi tumbang lima tahun kemudian.

Begitulah Buyung. Pengacara berambut perak tersebut kini telah tiada. Buyung wafat pada tanggal 23 September 2015 di Rumah Sakit Pondok Indah pada pukul 10.15 WIB karena gagal ginjal dan gangguan jantung.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pendekatan Holistik Penting Sebagai Strategi Pencegahan Narkoba Sejak Dini

Oleh : Andika Pratama )* Penyalahgunaan narkoba terus menjadi ancaman besar yang merusak masa depan generasi muda dan stabilitas sosial bangsa. Dalam upaya...
- Advertisement -

Baca berita yang ini