Ketika Natsir dan Soedirman Tolak Perjanjian Roem-Roijen

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Tepat 13 Juli 1949, Kabinet Hatta mengesahkan Perjanjian Roem-Roijen. Di saat yang bersamaan, Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno.

Meski dikenal sebagai jembatan penghubung menuju kedaulatan penuh NKRI, hasil perjanjian ini sempat menuai protes dari dua tokoh nasional. Mereka adalah Muhammad Natsir dan Jenderal Soedirman.

Roem dan Natsir sebenarnya satu tim dalam perjanjian ini dan sama-sama anggota Partai Masyumi, namun perang urat saraf antar keduanya tak bisa dihindarkan.

Kala itu, Natsir mengkritik keabsahan Roem selaku ketua delegasi RI. Menurutnya, mandat dari Sukarno dan Hatta sebetulnya sudah tidak berfungsi lagi karena keduanya berada dalam tahanan Belanda.

Natsir juga berpendapat seharusnya Roem membicarakan poin-poin kesepakatan terlebih dulu dengan PDRI. Mestika Zed dalam buku Pemerintah Darurat Republik Indonesia (1997) menyebut bahwa Natsir memang lebih condong ke kubu PDRI (hlm. 268). PDRI pun menyatakan ketidaksepakatan serupa.

Hal senada juga ditunjukan oleh Panglima TNI Jenderal Soedirman. Para prajurit memang sejak semula keberatan dengan jalan perundingan Roem-Roijen. Alasannya karena kekuatan militer RI beserta laskar-laskar rakyat saat itu sedang dalam kondisi diuntungkan pasca Serangan Umum 1 Maret 1949.

Soedirman juga tidak percaya dengan komitmen Belanda. Pasalnya, beberapa kali Belanda telah melanggar hasil kesepakatan dalam sejumlah perundingan sebelumnya yang selalu menempatkan RI dalam posisi yang dirugikan (Insaniwati, 2002:85).

Namun, Roem dan kawan-kawan tak mau ambil pusing. Ia tetap yakin kalau hasil Perundingan tersebut justru akan membuka pintu lebar bagi Indonesia untuk memperoleh kedaulatan penuh. Pun secara internasional, kedudukan RI akan kian kuat dan jadi modal dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) nanti.

Alhasil pada 22 Juni 1949, delegasi Indonesia dan Belanda kembali bertemu. Disepakati bahwa Belanda akan menyerahkan kedaulatan RI secara utuh dan tanpa syarat sesuai Perjanjian Renville tahun 1948.

Selain itu, Belanda dan RI akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak, serta semua hak, kekuasaan, dan kewajiban atas Hindia Belanda akan diserahkan kepada RI.

Kesepakatan yang merupakan lanjutan dari isi Perundingan Roem-Royen ini akhirnya bisa diterima oleh semua pihak yang berkepentingan. Dari situ, mulai dilangsungkan KMB di Den Haag, Belanda, yang akhirnya menghasilkan kedaulatan penuh untuk Indonesia pada akhir Desember 1949.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Tindakan OPM Semakin Keji, Negara Tegaskan Tidak Akan Kalah Lawan Pemberontak

Organisasi Papua Merdeka (OPM) banyak melancarkan aksi kekejaman yang semakin keji. Maka dari itu, negara harus tegas untuk tidak...
- Advertisement -

Baca berita yang ini