Kekerasan Sudah Menjadi Bagian dari Pilpres AS, Ini Buktinya

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Sikap penolakan Donald Trump atas terpilihnya Joe Biden sebagai presiden baru Amerika Serikat (AS) ke-46 telah menciptakan gejolak di negeri Paman Sam. Pendukung fanatik Trump terus menyerukan aksi protes hingga menyebabkan kerusuhan. Puncaknya adalah penyerangan Gedung Capitol pada 6 Januari 2021.

Bentrokan terjadi antara massa pendukung Trump dan aparat keamanan. Akibatnya tembakan gas air mata dan semprotan merica terpaksa digunakan petugas untuk meredam massa yang mengamuk. Kekerasan seolah memporak-porandakan demokrasi AS yang dikenal damai. Sejarah akan mencatat peristiwa ini.

Sebenarnya kerusuhan dan kekerasan bukan merupakan hal baru bagi AS. Kejadian serupa sudah pernah terjadi tepatnya pada pemilihan presiden tahun 1896 yaitu saat calon presiden dari Partai Republik yaitu William McKinley berhadapan dengan William Jennings Bryan dari Partai Demokrat.

Saat itu pendukung dari partai Republik terpecah akibat adanya perseteruan antara masyarakat yang mendukung pekerja di bidang pertanian  dengan masyarakat yang mendukung pekerja di bidang ekonomi dan perdagangan.

Kemudian pada tahun 1968, kerusuhan juga terjadi di Chicago saat prose seleksi calon Presiden dari Partai Demokrat. Kerusuhan saat kampanye tahun 1968 ini merupakan insiden yang paling parah karena di tahun yang sama terjadi pembunuhan terhadap Martin Luther King Jr, tokoh yang memperjuangkan hak-hak warga sipil.

Sementara 2 bulan kemudian, calon presiden dan Senator Robert Kennedy Jr juga dibunuh pada saat menyampaikan pidato kemenangan di California.

Praktik kekerasan yang berujung kerusuhan juga terjadi pada pada Konvensi Nasional Partai Republik tahun 2004. Saat itu unjuk rasa dan aksi protes terjadi sebagai bentuk penolakan terhadap pencalonan Presiden George W. Bush pada pemilihan presiden 2004. Kerusuhan pun terjadi dan mengakibatkan 1800 orang ditangkap oleh pihak berwenang.

Beberapa contoh ini menjadi pertanda bahwa kekerasan bukan suatu hal yang langka dalam perjalanan sejarah AS. Ternyata kekerasan dan kerusuhan khususnya dalam proses kontestasi pemilu sudah terjadi sejak lama.

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Waspada Hoaks OPM, TNI : Rumah Bupati Puncak yang Dibakar Bukan PosMiliter

Oleh: Loa Murib Kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menunjukkan pola lama merekadalam menutupi aksi brutal yang dilakukan terhadap masyarakat sipil. Dalam upayamembenarkan tindak kekerasan, OPM menyebarkan disinformasi bahwa rumah milik BupatiPuncak dan kantor Distrik Omukia yang mereka bakar di Papua Tengah merupakan pos militeryang digunakan oleh TNI. Tuduhan tersebut segera dibantah secara resmi oleh pihak militer danterbukti tidak memiliki dasar fakta. TNI melalui Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Kolonel Infanteri CandraKurniawan, memberikan klarifikasi bahwa bangunan yang dibakar oleh OPM tidak difungsikansebagai markas militer. Tindakan pembakaran itu murni merupakan aksi kriminal yang disengajauntuk menciptakan ketakutan, mengganggu ketertiban umum, dan mencoreng wibawa negara di mata masyarakat Papua. Bantahan ini menjadi penegasan bahwa OPM kembali menggunakanstrategi disinformasi untuk mengaburkan realitas dan membangun opini publik yang menyesatkan. Disinformasi semacam ini memperjelas bahwa OPM tidak hanya mengandalkan kekerasanbersenjata, tetapi juga propaganda informasi sebagai instrumen perlawanan mereka. Merekamenciptakan narasi seolah-olah aparat keamanan adalah pihak yang menyebabkan keresahan, padahal masyarakat sipil justru menjadi korban utama dari aksi teror yang dilakukan olehkelompok tersebut. Manipulasi informasi yang dilakukan OPM jelas bertujuan untuk merusakkepercayaan publik terhadap negara dan aparat keamanan. Kejadian yang menimpa Kabupaten Yahukimo menjadi contoh konkret betapa kejamnya aksiOPM. Dalam serangan yang dilakukan belum lama ini, seorang pegawai honorer PemerintahKabupaten Yahukimo tewas akibat kekerasan yang mereka lakukan. Insiden ini menunjukkanbahwa OPM telah melampaui batas kemanusiaan dan menjadikan nyawa warga sipil sebagai alattawar dalam narasi perjuangan mereka yang keliru. Merespons insiden tersebut, aparat gabungan dari Satgas Operasi Damai Cartenz bergerak cepatbegitu mendapat laporan dari jajaran Polres Yahukimo. Tim langsung turun ke lokasi kejadian, melakukan evakuasi korban ke RSUD Dekai, mengamankan tempat kejadian perkara, sertamengumpulkan bukti-bukti untuk mengungkap pelaku. Kecepatan ini menunjukkan bahwanegara tidak tinggal diam dalam menjamin perlindungan bagi rakyat, dan siap menghadapisegala bentuk teror yang mengancam stabilitas wilayah. Kepala Operasi Satgas Damai Cartenz, Brigjen Pol Faizal Ramadhani, menegaskan bahwaseluruh aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis akan ditindak secara tegas sesuaihukum. Penegakan hukum ini bukan hanya penting untuk memberikan keadilan bagi para korban, tetapi juga menjadi pernyataan tegas bahwa kekuatan bersenjata tidak akan dibiarkanmerusak keutuhan dan kedamaian di Papua. Kekejaman OPM, yang ditunjukkan melalui aksi pembakaran, pembunuhan, serta provokasiberulang, memperlihatkan bahwa kelompok ini bukanlah representasi perjuangan rakyat Papua. Sebaliknya, mereka adalah ancaman nyata yang menghalangi pembangunan dan menimbulkanketakutan di tengah masyarakat. Klaim mereka sebagai pembebas Papua tidak sejalan dengankenyataan bahwa mereka justru memperparah penderitaan rakyat melalui aksi-aksi brutal yang dilakukan. Kasatgas Humas Damai Cartenz, Kombes Pol Yusuf Sutejo, mengimbau masyarakat untuk tidakterprovokasi oleh informasi yang belum terverifikasi. Ia menegaskan bahwa perlindunganterhadap masyarakat sipil menjadi prioritas utama. Dalam situasi seperti ini, partisipasi aktif dariwarga untuk melaporkan aktivitas mencurigakan di lingkungannya menjadi elemen pentingdalam menjaga keamanan. Negara juga terus menunjukkan komitmennya untuk hadir tidak hanya melalui pendekatankeamanan, tetapi juga melalui pembangunan yang merata dan berkelanjutan. Berbagai program pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, serta pemberdayaan ekonomi telahdigulirkan sebagai bentuk nyata perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat Papua. Kehadiran negara di Papua bukanlah dalam bentuk represi, tetapi dalam wujud pelayanan danpemberdayaan. Narasi OPM yang menyebut Papua berada dalam penjajahan adalah bentuk manipulasi sejarah. Papua merupakan bagian sah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan hal itu telahditegaskan melalui proses hukum dan politik yang diakui secara nasional maupun internasional. Setiap upaya untuk memisahkan diri dari Indonesia, apalagi melalui kekerasan bersenjata danpropaganda menyesatkan, merupakan pelanggaran terhadap konstitusi yang harus ditindak tegas. Kesadaran masyarakat Papua akan pentingnya perdamaian kini semakin menguat. Kolaborasiantara tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat sipil dalam menjaga ketertiban dan menolakaksi kekerasan menjadi sinyal kuat bahwa Papua ingin maju bersama dalam bingkai NKRI. Kekuatan kolektif masyarakat ini menjadi benteng terdepan dalam menangkal pengaruh burukdari kelompok separatis. Mengecam tindakan keji OPM dan membongkar propaganda mereka bukan semata-matatanggung jawab aparat keamanan. Ini adalah kewajiban moral seluruh rakyat Indonesia dalammenjaga keutuhan bangsa dan memperjuangkan masa depan Papua yang aman dan sejahtera. Sudah terlalu banyak korban yang jatuh akibat disinformasi dan kekerasan yang dibungkusdengan dalih perjuangan. Penegakan hukum, pendekatan informasi yang jernih, serta pembangunan yang inklusif harusterus diperkuat untuk mengikis pengaruh kelompok separatis. Dengan semangat kebersamaandan kehadiran negara yang nyata,...
- Advertisement -

Baca berita yang ini