MINEWS, JAKARTA – Alhamdulillah. Hari ini, 17 Agustus 2019 Republik Indonesia telah berusia 74 tahun, sejak dibacakannya proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Mohammad Hatta.
Tentunya peristiwa proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah peristiwa revolusioner. Momentum tersebut menyudahi kolonialisasi yang membelenggu negeri ini selama ratusan tahun. Namun, di balik semua itu, ada skumpul fakta yang hingga kini tak diketahui banyak orang. Apa sajakah itu, yuk kita simak bersama.
Naskah Asli Proklamasi Ditulis dalam Secarik Kertas
Naskah Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan oleh Soekarno dibuat tanggal 17 Agustus 1945 sekitar pukul 02.00-03.00 dinihari di rumah seorang perwira Angkatan Laut Jepang, Laksamana Tadashi Maeda, di Miyakodori (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1). Berbagai sumber menyebutkan, naskah Proklamasi ditulis tangan oleh Sukarno, sedangkan kalimatnya didiktekan oleh Hatta dan Ahmad Soebardjo.
Naskah Proklamasi dalam bentuk konsep (klad) ditulis Sukarno di secarik kertas dari buku catatan. Setelah selesai, dan kemudian disetujui melalui sebuah sidang sederhana yang melibatkan anggota PPKI dan perwakilan pemuda, naskah proklamasi berbentuk konsep (klad) itu diketik ulang oleh Sayuti Melik. Naskah Proklamasi hasil ketikan Sayuti Melik inilah yang disebut ‘Naskah Proklamasi Otentik’. Sedangkan naskah Proklamasi yang masih berbentuk konsep hasil tulis tangan Sukarno disebut ‘Naskah Proklamasi Klad’. Konon, setelah diketik ulang oleh Sayuti Melik, naskah Proklamasi Klad itu langsung dibuang ke tong sampah di rumah Laksamana Maeda. Beruntung, naskah tersebut diselamatkan oleh seorang wartawan bernama BM Diah.
Banyak Perubahan Rencana Menuju Momentum Proklamasi
Pada awalnya, Hatta mengusulkan agar penandatangan naskah proklamasi adalah semua yang hadir dalam penyusunan naskah Proklamasi, yaitu sebagian anggota PPKI dan perwakilan pemuda. Ide Hatta ini mengikuti Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Usul tersebut disetujui oleh Sukarno. Tetapi ditolak oleh Sukarni, seorang tokoh pemuda. Dia mengusulkan agar naskah Proklamasi itu cukup ditandatangani oleh Sukarno dan Hatta atas nama Rakyat Indonesia.
Proklamasi Kemerdekaan awalnya direncakan akan dilakukan di Lapangan Ikada Jakarta. Penunjukan tempat ini sesuai dengan keinginan dan rencana yang sudah disusun oleh kelompok pemuda. Tetapi Sukarno menolak rencana itu. Ia berpendapat, Proklamasi Kemerdekaan yang dilakukan di lapangan umum dan berbentuk Rapat Umum bisa menimbulkan salah paham dan bentrokan antara rakyat dengan penguasa militer Jepang. Sukarno sendiri menginginkan agar Proklamasi Kemerdekaan di lakukan di halaman rumahnya di Pegangsaan Timur 56. Usul Sukarno tersebut disetujui.
Upacara Berlangsung Sederhana
Upacara Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 berlangsung sangat sederhana. Tidak ada protokol. Ditunjuk sebagai Panitia adalah Suwirjo (Wakil Walikota Jakarta saat itu) dan Dokter Muwardi. Menurut Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, mikrofon (pengeras suara) yang dipakai untuk upacara itu dicuri dari stasiun Radio milik Jepang. Bendera Merah-Putih yang dikibarkan adalah hasil buah tangan Fatmawati. Sedangkan tiang bendera berasal dari batang bambu yang diambil dari belakang rumah Sukarno.
Sebelum membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan, Sukarno menyampaikan pidato singkat. Setelah itu ia membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan. Upacara Proklamasi berlangsung pukul 10.00 pagi. Sedangkan versi lain menyebut pukul 11.30 waktu Nippon. Usai Pernyataan Proklamasi Kemerdekaan, Latief Hendraningrat, seorang anggota PETA, mengerek bendera Merah-Putih di tiang bambu. Lalu semua yang hadir menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Soekarno Bacakan Teks Proklamasi dalam Kondisi Sakit Malaria
Pada saat upacara Proklamasi Kemerdekaan, Sukarno sedang diserang penyakit Malaria. Saat itu bulan Ramadhan. Karena sedang sakit, Sukarno tidak berpuasa. Kendati sempat makan sahur beberapa jam sebelum upacara di mulai. Sedangkan Bung Hatta makan sahur di rumah Laksaman Maeda. Usai upacara Proklamasi Kemerdekaan, Sukarno yang masih sakit kembali ke kamar tidurnya.
Suara Soekarno Bukan Siaran Langsung
Tidak ada rekaman suara atau gambar bergerak yang mengabadikan kejadian bersejarah itu. Adapun rekaman suara Sukarno membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan, seperti yang sering diperdengarkan saat ini, bukanlah rekaman suara Sukarno saat membacakan Proklamasi. Itu adalah suara asli Sukarno yang direkam tahun 1951 di Radio Republik Indonesia (RRI) untuk kebutuhan dokumentasi.
Penyebaran berita Proklamasi Kemerdekaan itu pun dilakukan secara cepat, sembunyi-sembunyi karena semua kantor berita dan radio masih di bawah kendali Jepang. Pada awalnya, pemuda berusaha mengambilalih kantor radio Hoso Kyoku (sekarang RRI), tetapi tidak berhasil.
Kemudian atas perintah Adam Malik, pemuda yang bekerja di Domei (sekarang ANTARA), naskah proklamasi berhasil disiarkan melalui kawat (morce cast) oleh kantor berita Domei. Siaran melalui kawat itu dilakukan oleh markonis (operator radio) Wua dan diawasi oleh markonis Soegiarin. Berita itu berhasil ditangkap di San Fransisco (AS) dan Australia. Selain itu, pada pukul 19.00 malam, Jusuf Ronodipuro berhasil menyiarkan teks proklamasi melalui radio Hoso Kyoku. Penyebaran berita proklamasi juga dilakukan melalui mulut ke mulut, selebaran, teriak-teriak, dan lain-lain. Juga melalui graffiti action di tembok-tembok, trem kota, gerbong-gerbong kereta api, dan lain-lain.
Jepang Kecolongan atas Gerak Cepat Indonesia
Usai upacara Proklamasi, datang lima orang opsir Jepang (versi lain menyebut tiga). Mereka menyampaikan perintah Gunseikan (Kepala Pemerintah Militer Jepang) yang melarang Sukarno menyatakan Proklamasi Kemerdekaan. Tetapi Proklamasi sudah selesai dilakukan. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, Barisan Pelopor yang menjaga rumah Sukarno langsung mengepung mereka dengan melotot dan bersenjatakan golok dan bambu runcing. Alhasil, lima opsir Jepang itu meninggalkan rumah Sukarno tanpa berkata-kata. Sejak itu Sukarno memerintahkan pembentukan Barisan Berani Mati untuk menjaga rumahnya dan bendera Merah-Putih yang sudah berkibar.
Minim Dokumentasi saat Proklamasi, Untung Ada Mendur Bersaudara
Dokumentasi upacara Proklamasi Kemerdekaan tidak begitu baik. Latief Hendraningrat, yang ditugaskan menghubungi Soetarto dari Nippon Eiga Sha (perusahaan film Jepang), lupa menjalankan tugasnya. Beruntung ada Mendur bersaudara, Frans dan Alex Mendur. Saat itu Frans bekerja sebagai fotografer di harian Asia Raya, sedangkan Alex bekerja di kantor berita Domei (sekarang Antara). Itupun hanya tiga kali jepretan: saat Sukarno membacakan naskah Proklamasi, saat pengibaran bendera, dan foto massa yang menyaksikan upacara. Konon negatif film foto itu sempat dimintai para tentara Jepang, punya Alex sudah disita. Tapi Frans berbohong bahwa filenya telah diberikan kepada barisan pelopor. Beruntungnya Frans sempat menyembunyikan negatif film hasil jepretannya. Ia mengubur rol film itu di kebun kantornya.
Proses mencetak hasil foto tersebut juga harus dilakukan secara diam-diam. Mereka perlu menyelinap saat malam hari, memanjat pohon, dan melompati pagar di samping kantor Domei demi mencetak foto di sebuah lab film. Kalau sampai tertangkap, hukuman yang menunggu mereka adalah dijebloskan ke penjara atau hukuman mati.