MINEWS.ID, JAKARTA – Google menjadikan sosok almarhumah Ani Idrus sebagai google doodle dengan memperingati hari lahirnya, Senin ini.
Siapa Ani Idrus? Dia adalah wartawati senior yang mendirikan Harian Waspada bersama suaminya H. Mohammad Said pada 1947.
Ani lahir di Sawahlunto, Sumatra Barat, 25 November 1918 dan meninggal di Medan, Sumatra Utara, 9 Januari 1999 pada usia 80 tahun.
Jabatan terakhirnya adalah Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Waspada dan Majalah Dunia Wanita di Medan.
Harian Waspada hingga kini masih berjaya di tengah terseok-seoknya industri suratkabar, terutama koran-koran pelopor yang sudah banyak bertumbangan.
WASPADA bahkan tercatat sebagai surat kabar tertua No 2 dalam sejarah pers Indonesia yang terus terbit hingga kini.
Nama WASPADA dipilih karena memiliki sejarah tersendiri. Masa itu, kondisi masyarakat diliputi ketakutan dan kegelisahan, panik luar biasa, sehingga sebagian besar warga Kota Medan bersikap waspada serta mengungsi ke luar kota.
Hal itu juga sejalan sengitnya peperangan dan berpindahnya kantor-kantor Pemerintahan Republik di bawah pimpinan Gubernur Tengku M. Hassan ke Pematang Siantar, lebih kurang 120 km dari Medan.
Satu hal lagi yang memantapkan hati Mohammad Said memberi nama korannya WASPADA adalah karena delegasi pemerintahan Indonesia masa itu lemah dalam perundingan dengan para petinggi Belanda.
Sementara di Medan, setiap hari para pejuang bersama rakyat menghadang pasukan Belanda, khususnya konvoi menuju Pelabuhan Belawan. Belanda dibuat kelabakan akibat tersendatnya pasokan logistik dan akhirnya mendesak dilakukan perjanjian dengan pemerintahan Republik Indonesia di Jakarta dipimpin Menteri Pertahanan RI Amir Syarifuddin.
Sayangnya, tim delegasi Republik Indonesia cenderung mengalah yang akhirnya sepakat untuk menyetujui perluasan wilayah kekuasaan Belanda dari gangguan pejuang tentara rakyat di Medan. Mohammad Said menilai pemimpin Indonesia kecolongan alias tidak “WASPADA” terhadap strategi busuk Belanda yang mengakibatkan kerugian besar bagi para pejuang dan kedaulatan Republik Indonesia.
Pertama kali terbit, Surat Kabar WASPADA dicetak 1000 eksemplar dan terjual habis walapun dengan format penerbitan yang hanya setengah halaman. Dalam perjalanannya, surat kabar WASPADA dibreidel berkali-kali karena melawan Belanda, pernah dilarang terbit sampai lima kali, bahkan sampai adanya buka paksa kantor dan percetakan WASPADA oleh militer Belanda.