MATA INDONESIA, JAKARTA – “Zorg, dat als ik terug komhier een stad is gebouwd (Coba usahakan bila aku datang kembali, di tempat ini telah dibangun sebuah kota),” demikian ucapan Herman Willem Daendels (1808-1811), saat meresmikan Jembatan Cikapundung (sekarang Jalan Asia Afrika), yang tertulis dalam buku Napak Tilas Jalan Daendels karangan Angga Indrawan.
Ucapan ini disampaikan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pertama tersebut kepada bupati ke-6, yakni R.A Wiranatakusumah II alias Dalem Kaum I (1794-1829) yang juga punya rencana serupa untuk memindahkan ibu kota Tatar Ukur (kini Bandung).
Keduanya kemudian bersepakat untuk memindahkan lokasi pemerintahan Bandung dari di Krapyak (Kini Dayeuhkolot) ke pinggir Sungai Cikapundung (kini Jalan Asia Afrika). Pemindahan tersebut berdasarkan Besluit Pemerintah Hindia Belanda pada 25 September 1810. Yang kemudian menjadi Hari Jadi Kota Bandung.
Alasan Wiranatakusumah II memindahkan ibu kota Tatar Ukur karena Krapyak tidak strategis sebagai ibu kota pemerintahan. Lokasinya terletak di sisi selatan daerah Bandung. Selain itu, daerah tersebut sering banjir bila musim hujan.
Sementara Daendels punya tujuan lain. Ia mengemban misi dari Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte. Mendirikan Republik Batavia sebagai penerus Kerajaan Belanda. Dan untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris.
Daendels berpendapat bahwa mobilisasi darat lebih sesuai untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Sebab Inggris mempunyai kekuatan armada laut yang unggul pada saat itu. Oleh karena itu, ia menerapkan kerja rodi untuk membangun Jalan Raya Pos (Groote Postweg) sepanjang 1.000 km yang membentang dari Anyer di ujung Barat Jawa hingga Panarukan di ujung timur Jawa.
Meski mendatangkan banyak korban jiwa dari sisi penduduk, namun pembangunan jalan tersebut berdampak besar. Tidak hanya terhadap perkembangan pulau Jawa secara umum, namun juga kota-kota yang turut merasakan dampak pembangunan jalan pos ini termasuk Bandung.
Dari Batavia, jalurnya mengarah ke selatan menembus Buitenzorg (Bogor). Sampai bagian jantung bumi Priangan/Jawa Barat.
Ketika proyek Jalan Raya Pos masuk daerah dataran tinggi Parahyangan, Daendels dan Wiranatakusumah II mencoba mencari lokasi bagi ibu kota Kabupaten Bandung.
Tempat yang terpilih adalah lahan kosong berupa hutan. Terletak di tepi barat Sungai Cikapundung (kini Jalan Asia Afrika), tepi selatan Jalan Raya Pos. Kini, lokasi tersebut menjadi pusat kota Bandung.
Sekitar akhir tahun 1808 hingga awal 1809, Wiranatakusumah II beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Krapyak mendekati lahan bakal ibu kota baru. Mula-mula bupati tinggal di Cikalintu yang kini adalah daerah Cipaganti. Kemudian pindah ke Balubur Hilir. Selanjutnya pindah lagi ke Kampung Bogor atau Kebon Kawung pada lahan Gedung Pakuan sekarang.
Sesuai dengan konsep tata ruang tradisional, Bupati RA Wiranatakusumah II dan sejumlah rakyatnya membangun Pendopo di sisi selatan Alun-alun Bandung. Bangunan ini menghadap ke arah Gunung Tangkuban Parahu yang merupakan simbol kepercayaan sejarah masyarakat Sunda. Sedangkan Masjid Agung Bandung (sekarang Masjid Raya Bandung) berada di sisi barat alun-alun, dan pasar terletak di sisi timur.
Tak ada penjelasan berapa lama pembangunan Kota Bandung. Namun ada penegasan, pembangunan kota itu bukan atas prakarsa Daendels, melainkan Wiranatakusumah II.