MATA INDONESIA, JAKARTA – 29 Januari 1807, Raja Belanda Louis Napoleon mengangkat Herman Willem Daendels sebagai gubernur jendral di Hindia Timur.
Penunjukan Herman Willem Daendels adalah perintah langsung dari Kaisar Napoleon Bonaparte. Daendels adalah mantan komandan Legiun Asing Perancis (Legion Etrangere) yang paling cakap mengurus administrasi sekaligus menata pertahanan perang. Meskipun berkebangsaan Belanda, ia adalah seorang loyalis Prancis, pengagum Napoleon.
Saat itu, Belanda sedang berada di bawah kekuasaan Prancis. Sejak 1795, Napoleon berhasil menguasai Belanda. Penguasaan tidak hanya sebatas Belanda, tapi juga beserta seluruh wilayah jajahannya.
Bagi Daendels, ia adalah pengikut Revolusi Prancis. Perwira muda ini memuja Napoleon. Gagasan Revolusi Prancis ini yang akan Deandels terapkan di wilayah yang akan dipimpinnya.
Sehingga konsep negara dan birokrasi di Hindia Belanda nantinya berasal dari gagasan Daendels. Ia mengidentifikasi dirinya sebagai Napoleon kecil. Pemerintahan hanya fokus pada dua hal: sentralistisme dan efektivitas.
Saat tiba di Batavia, Daendels kaget melihat kondisi pemerintahan VOC.
Kesemrawutan Hindia Belanda yang dulu hanya didengarnya dari mulut para pejabat di Den Haag kini ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. VOC yang telah bangkrut 9 tahun sebelumnya akibat korupsi akut, benar-benar menelantarkan Indonesia.
Tanpa membuang-buang waktu ia segera melaksanakan tugasnya. Kehadiran Daendels di Hindia cukup mengejutkan. Apalagi kebiasaan yang berlaku sejak zaman VOC, seorang gubernur jenderal adalah pejabat karier yang sudah lama berkiprah di Hindia Timur.
Ia pun langsung berbenah. Deandels melakukan reorganisasi pemerintahan. Daendels menekankan pentingnya sentralisasi kekuasaan di bawah wewenang pemerintah pusat.
Gubernur jenderal bersama para pejabat di Batavia, adalah pusat kekuasaan. Wakil raja Belanda di tanah koloni merupakan penguasa tertinggi yang memiliki wewenang besar untuk mengatur birokrasi sampai level paling bawah.
Deandels banyak pejabat memecat pejabat VOC saat itu dan memulangkannya ke Belanda. Salah satu yang menjadi sorotan ketika Deandels mencopot Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolaas Engelhard. Di zaman VOC, kekuasaan Nicolaas sebagai gubernur lebih berkuasa dari pemerintah pusat di Batavia. Hal ini karena penghasilan uang dari monopoli perdagangan VOC di wilayah tersebut.
Daendels juga mencopot Prediger (Residen Manado), dan Nederburgh (bekas pimpinan Hooge Regeering). Mereka yang dipecat ini kemudian pulang ke Belanda. Beberapa pejabat VOC yang tak suka dengan Daendels kemudian melakukan perlawanan dengan cara menulis keburukan Daendels.
Rapihkan Birokrasi dan Aturan Kerajaan
Daendels pun merapihkan sistem pemerintahan baru yang lebih rapih. Ia membentuk unit pemerintahan baru setingkat prefektur (keresidenan).
Ada sembilan prefektur di Jawa. Tiap pimpinan prefektur seorang berkebangsaan Belanda. Sementara di bawahnya ada beberapa distrik (kabupaten). Pimpinanya orang pribumi setingkat bupati.
Itu salah satu langkah cerdas Daendels. Dengan pemerintahan terpecah menjadi beberapa prefektur, sentralisasi kekuasaan bisa berjalan secara efektif. Pemerintah pusat makin mudah mengontrol daerah.
Ini merupakan keputusan visioner yang membuat kontrol kekuasan pemerintah pusat berjalan efektif. Kelak ketika Hindia Belanda mulai mapan, karesidenan-karesidenan dan kabupaten-kabupaten bentukan Daendels inilah yang menjadi tulang punggung kekuasaan kolonial.
Para bupati mendapat kepangkatan militer. Tapi tidak mendapat wewenang mengerahkan pasukan. Mereka mendapat gaji dari pemerintah pusat. Ini juga salah satu cara memutus rantai korupsi. Gajinya besar dan lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan para pejabat pemerintah.
Deandles juga mengeluarkan mekanisme hukuman. Semua instruksi dari atas dengan uraian yang jelas beserta hak dan kewajibannya. Dalam hal pengangkatan para bupati, gubernur jenderal bisa langsung menunjuk tanpa konsultasi kepada raja jika bupati bersangkutan berada di wilayah kerajaan.
Pada saat mengangkat sumpah jabatan, para bupati tersebut harus menyatakan sumpah setia kepada gubernur jenderal, raja Belanda, dan tentu saja, Kaisar Napoleon Bonaparte.
Pemerintah juga menghapus dan menghilangkan cara-cara lama dalam menyatakan kesetiaan kepada penguasa dalam bentuk upeti, hadiah, atau uang bekti.
Salah satu yang membuat Deandles kurang populer adalah sikapnya terhadap raja-raja di Jawa. Ia bertindak keras, tetapi kurang strategis. Di mata Daendels, semua raja pribumi harus mengakui raja Belanda dan Kaisar Napoleon sebagai junjungannya dan minta perlindungan kepadanya.
Daendels juga mengubah jabatan pejabat Belanda di keraton Solo dan Yogya dari residen menjadi minister. Minister tidak lagi bertindak sebagai pejabat Belanda melainkan sebagai wakil raja Belanda dan juga wakilnya di keraton.
Ia juga membuat peraturan tentang perlakuan raja-raja Jawa kepada para Minister di keratonnya. Jika di zaman VOC perlakuan para residen Belanda sama seperti para penguasa daerah yang menghadap raja-raja Jawa, dengan duduk di lantai dan mempersembahkan sirih sebagai tanda hormat kepada raja Jawa. Kali ini Minister tidak layak lagi seperti itu.
Minister berhak duduk sejajar dengan raja. Memakai payung seperti raja. Tidak perlu membuka topi atau mempersembahkan sirih kepada raja. Ia pun mendapat penyambutan dari raja dengan berdiri dari tahtanya ketika Minister datang di keraton. Ketika bertemu di tengah jalan dengan raja, Minister tidak perlu turun dari kereta tetapi cukup membuka jendela kereta dan boleh berpapasan dengan kereta raja. Meskipun di Surakarta Sunan Paku Buwono IV menerima ketentuan ini, di Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono II tidak mau menerimanya. Daendels harus menggunakan tekanan agar Sultan Yogya bersedia melaksanakan aturan itu.
Dengan cerdik Daendels mempengaruhi Mangkunegara II untuk membentuk pasukan Legiun Mangkunegara yang modern yang dilatih ala militer Eropa dengan kekuatan 1150 prajurit. Pasukan ini disiapkan sewaktu-waktu membantu Daendels menggebuk pembangkangnya. Demikianlah Daendels menjaga kesimbangan persaingan diantara penguasa lokal Jawa tanpa ada yang mampu mencegahnya.
Infrastruktur
Selain membenahi birokrasi, Deandels berjasa besar membangun infrastruktur di Pulau Jawa. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004 (2005) karya M.C Ricklefs, tugas utama Daendels sebagai gubernur jendral adalah memperkuat pertahanan Jawa sebagai basis militer Prancis. Hal ini untuk melawan pasukan Inggris di kawasan Samudra Hindia.
Langkah pertama ia merekrut tentara pribumi untuk menggantikan posisi tentara Belanda. Ia juga membangun rumah sakit-rumah sakit dan tangsi-tangsi militer baru.
Di Surabaya ia membangun sebuah pabrik senjata. Di Semarang ia membangun pabrik meriam dan di Batavia ia membangun sekolah militer. Ia menghancurkan Kastil di Batavia dan menggantinya dengan benteng di Meester Cornelis (kini Jatinegara). Di Surabaya juga membangun Benteng Lodewijk.
Salah satu proyek utamanya, yaitu Jalan Raya Pos. Sebenarnya Deandles membangun ini sebagai manfaat kekuatan militernya, yaitu untuk mengusahakan tentara-tentaranya bergerak dengan cepat.
Daendels menyadari bahwa Jawa tidak akan mampu menghadang serbuan Inggris sehingga segera memperkuat pertahanan dengan merekrut pribumi sebagai tentara Belanda, membangun tangsi-tangsi militer, rumah sakit, pabrik senjata di Surabaya,pabrik Meriam di Semarang, dan sekolah militer di Batavia.
Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan yang legendaris sebenarnya untuk mempermudah pergerakan pasukan dan komunikasi. Dalam prakteknya, jalan ini juga banyak memberi manfaat lebih. Sebelum adanya jalan Pos, produk kopi petani dari Sumedang, Limbangan, Cisarua, dan Sukabumi yang hanya membusuk di gudang kini bisa terangkut dari pedalaman Priangan ke pelabuhan Cirebon dan Indramayu. Jarak tempuh Surabaya-Batavia yang tadinya 40 hari bisa 7 hari.
Ada yang berbeda dengan apa yang dipercaya orang selama ini, Daendels selama masa pemerintahannya memerintahkan pembangunan jalan di Jawa tetapi tidak dari Anyer hingga Panarukan. Jalan antara Anyer dan Batavia sudah ada ketika Daendels tiba.
Oleh karena itu menurut het Plakaatboek van Nederlandsch Indie jilid 14, Daendels mulai membangun jalan dari Buitenzorg menuju Cisarua dan seterusnya sampai ke Sumedang. Pembangunan dimulai bulan Mei 1808. Di Sumedang, proyek pembangunan jalan ini terbentur pada kondisi alam yang sulit karena terdiri atas batuan cadas, akibatnya para pekerja menolak melakukan proyek tersebut dan akhirnya pembangunan jalan macet.
Akhirnya Pangeran Kornel turun tangan dan langsung menghadap Daendels untuk meminta pengertian atas penolakan para pekerja. Ketika mengetahui hal ini, Daendels memerintahkan komandan pasukan zeni Brigadir Jenderal von Lutzow untuk mengatasinya. Berkat tembakan artileri, bukit padas berhasil rata dan pembangunan berlanjut hingga Karangsambung.
Sampai Karangsambung, proyek pembangunan itu menggunakan pola upah. Para bupati pribumi harus menyiapkan tenaga kerja dalam jumlah tertentu. Masing-masing setiap hari mendapat bayaran 10 sen per orang dan jatah beras dan garam setiap minggu.
Setibanya di Karangsambung pada bulan Juni 1808, dana tiga puluh ribu gulden untuk membayar tenaga kerja ini habis. Ini di luar dugaannya, tidak ada lagi dana untuk membiayai proyek pembangunan jalan tersebut.
Ketika Daendels berkunjung ke Semarang pada pertengahan Juli 1808, ia mengundang semua bupati di pantai utara Jawa. Dalam pertemuan itu Daendels menyampaikan bahwa proyek pembangunan jalan harus terus berjalan karena kepentingan mensejahterakan rakyat. Para bupati harus menyediakan tenaga kerja dengan konsekuensi para pekerja ini bebas dari kewajiban kerja bagi para bupati.
Sementara itu para bupati harus menyediakan kebutuhan pangan bagi mereka. Semua proyek ini akan mendapat pengawasan oleh para prefect yang merupakan kepala daerah pengganti residen VOC. Dari hasil kesepakatan itu, proyek pembangunan jalan berlanjut dari Karangsambung ke Cirebon. Pada Agustus 1808 jalan telah sampai di Pekalongan.
Sebenarnya jalan yang menghubungkan Pekalongan hingga Surabaya telah ada, karena pada tahun 1806 Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolaas Engelhard telah menggunakannya untuk membawa pasukan Madura dalam rangka menumpas pemberontakan Bagus Rangin di Cirebon (Indische Tijdschrift, 1850). Jadi Daendels hanya melebarkannya. Tetapi ia memang memerintahkan pembukaan jalan dari Surabaya sampai Panarukan sebagai pelabuhan ekspor paling ujung di Jawa Timur saat itu.
Kontroversi terjadi tentang pembangunan jalan ini. Pada masa Daendels banyak pejabat Belanda yang dalam hatinya tidak menyukai Prancis tetapi tetap setia kepada dinasti Oranje yang melarikan diri ke Inggris.
Pemerintahan Deandles tak berlangsung lama. Tekanan dari kelompok yang sakit hati di Belanda membuat ia mendapat tudingan korupsi. Akhirnya Prancis memanggil pulang dan kekuasaannya sebagai gubernur jenderal ia serahkan kepada Jan Willem Janssens.
Reporter : Syifa Ayuni Qotrunnada