MATA INDONESIA , JAKARTA – Pasukan atau pembunuh bayaran biasanya kita kenal melalui film-film yang beredar. Benarkah ada pembunuh bayaran di dunia nyata?
Nah, pada abad ke-11 sampai 13 silam, para pembunuh bayaran dan teror ini disebut kelompok Assassin. Kelompok ini semula tumbuh di wilayah Alamut di Persia—kini Iran. Para Assassin dianggap sebagai militan yang sangat patuh pada pemimpin dan siap menjalankan misi pembunuhan terhadap musuh-musuhnya.
Kelompok ini adalah salah satu sekte Syiah militan dari Nizari Ismaili—bagian dari Syiah Ismailiyah tahun 1090-1275. Kelompok ini bermarkas di Puri Alamut yang berlokasi di Pegunungan Elburz, Iran bagian utara.
Pendiri kelompok ini adalah Hassan al-Sabbah asal Qom, Iran. Dia adalah teolog sekaligus imam kelompok Nizari Ismaili sampai kematiannya pada 1124. Tidak banyak yang bisa menceritakan sosok Hassan selain ia disebut si Tua dari Gunung Alamut.
Kisah soal Hassan ini ditulis lengkap oleh Bernard Lewis dalam bukunya Assasin: Kaum Pembunuh dari Lembah Alamut (2009). Bernard menulis Hassan menguasai wilayah itu dengan metode dakwah. Sebelumnya ia punya basis pengikut di sekitar Alamut yang rata-rata pengikut Syiah.
Awal mula munculnya sosok Hassan terjadi pada tahun 1004, ketika Khalifah Mesir Fatimiah dan imam kelompok Syiah Ismailiyah, Maad al-Mustansir Billah sakit di Kairo. Wazirnya yang berpengaruh, Al-Afdal, mengambil alih kekuasaan negara dan menunjuk anak bungsu khalifah, Al- Musta’i sebagai khalifah, dalam sebuah kudeta di istana.
Anak sulung khalifah, Nizar, yang seharusnya berkuasa melarikan diri ke Alexandria. Sayangnya dia dikalahkan dan dibunuh atas perintah saudaranya.
Hal ini menyebabkan perpecahan di kalangan Syiah Ismailiyah. Para pendukung Nizar, yang dijuluki kaum Nizaris, pindah ke timur dan melanjutkan perjuangan mereka di bawah pimpinan mereka yang kharismatik, Hassan-i Sabbah.
Hassan-i Sabbah sebelumnya dikenal sebagai sebagai Da’i.
Dia lalu memimpin kelompok perlawanan Nizari, dan berhasil mendapatkan dukungan dari mayoritas Syiah Fatimiah di Persia, Irak, sekelompok pengikut bawah tanah di Mesir dan di Afrika Utara.
Namun dengan memisahkan diri dari kekhalifakan Fatimiah, para pengikut Hassan-i Sabbah menjadi terkucil dan kalah kekuatan di wilayah musuh.
Tidak puas hanya bertahan, kelompok Nizari ini merancang suatu strategi untuk mengendalikan benteng-benteng yang berada di wilayah tersebut. Mereka perlahan-lahan merebut benteng-benteng tersebut dan kemudian menguasainya.
Kelompok ini membangun suatu bentuk baru ‘negara di dalam negara’ yang mencakup beberapa benteng pemukiman yang dikelilingi tembok.
Hassan-i Sabbah pun mendirikan benteng pertamanya di Daylam. Benteng tersebut dinamakan Alamut dan terletak di selatan laut Kaspia. Alamut akhirnya menjadi ibu kota dari kelompok Nizari yang kemudian berubah nama menjadi Hashshashin.
Karena tidak mampu membentuk satuan tentara konvensional, kaum Nizari membentuk pasukan dengan taktik pembunuhan, intimidasi dan intrik dan dalam bentuk peperangan asimetris yang mengubah tindakan pembunuhan politis menjadi suatu sistem untuk bertahan hidup dan pertahanan terhadap musuh-musuhnya.
Mereka melatih pasukan komando tersamar yang sangat terlatih (ahli dalam bahasa, ilmu pengetahuan, perdagangan) yang kemudian dikenal sebagai Fedayeen. Pasukan ini akan bergerak secara gerilya dengan cara menyamar dan diam-diam akan menginfiltrasi posisi musuh. Jika warga Nizari menghadapi ancaman pembunuhan atau benteng mereka akan diserang, Fedayeen diaktifkan untuk menghadapi serangan tersebut.
Fedayeen menggunakan ketrampilan mereka yang termasyhur untuk tujuan-tujuan politik tanpa harus membunuh; misalnya seorang korban, biasanya berpangkat tinggi, di suatu pagi akan mendapati belati Fedayeen di atas bantalnya di saat bangun pagi.
Ini petunjuk yang jelas bagi orang tersebut bahwa dia tidak lagi aman. Bahwa tindakan apapun yang menyebabkannya berkonflik dengan kaum Hashshashin harus dihentikan, jika ia ingin hidup.
Di Persia mereka menggunakan taktiknya secara langsung terhadap kaum Turki seljuk yang membunuhi kaum Nizari. Saat membunuh tokoh tertentu, mereka sangat hati-hati, melakukannya tanpa jatuhnya korban yang tidak perlu dan hilangnya nyawa orang yang tak bersalah, meski mereka juga sengaja membentuk reputasinya yang mengerikan dengan membantai korbannya di depan umum.
Umumnya, mereka mendekati dengan memakai samaran, atau telah menjadi agen tersamar di suatu kelompok. Mereka lebih menyukai belati atau pisau kecil yang tersembunyi, mereka menolak menggunakan racun, panah atau alat lain yang bisa memungkinkan penyerangnya lolos dan hidup.
Kaum ini juga termasuk kelompok pertama yang menggunakan sinyal pantulan cermin di siang hari untuk berkomunikasi dengan basis terdekat, khususnya sekitar Alamut. Di malam hari mereka menggunakan sinyal api.
Kaum ini juga sering kali menerima kontrak dari pihak luar. Richard the Lionheart adalah salah satunya yang dicurigai membayar mereka untuk membunuh Conrad de Montferrat. Dalam banyak kasus, kaum Hashshashin digunakan untuk mempertahankan keseimbangan musuh mereka.
Korban-korban yang terkenal diantaranya Wazir Abbasiyah yang terkenal Nizam al-Mulk (1092), Wazir Fatimiah al-Afdal Shahanshah (1122) (bertanggung jawab memenjarakan kaum Nizari), Ibn al-Khashshab dari Aleppo (1125), al-Bursuqi dari Mosul (1126), Raymond II dari Tripoli (1152), Conrad de Montferrat (1192), dan pangeran Edward (kemudian menjadi Edward I dari Inggris) terluka oleh pisau beracun pada tahun 1271.
Saat pasukannya melakukan teror terhadap musuhnya, Hassan justru beribadah di purinya yang megah di Alamut. Sampai akhir hayatnya Hassan mempraktikan pola hidup zuhud dan saleh.
Cara Hassan merekrut orang-orang untuk menjadi pasukannya masih menjadi perdebatan ahli sejarah. Menurut Bernard Lewis, pertama kali ia merekrut orang-orang adalah anak-anak belia di kota Alamut. Hassan mendidik anak-anak itu menjadi pasukan pengintai, penyusup, meneror, hingga melakukan praktik membunuh dengan cara mengerikan.
Kisah soal Assasin juga diceritakan Kaisar Romawi Frederick Barbarossa saat ia melawat ke Mesir dan Suriah pada 1175. Menurutnya para pengikut Hassan dibaiat sejak belia, tidak pernah melihat orang lain selain gurunya, dan diajarkan untuk mematuhi perkataan dan perintah pemimpinnya. Ganjaran kenikmatan surga dijanjikan sambil ditekankan bahwa mereka tidak akan mampu menyelamatkan diri jika berani menolak.
Uskup Agung William dari Tirus mencatat pernah suatu ketika di hadapan beberapa utusan Sultan Seljuk, Hassan mengangguk kepada seorang fidai—orang yang bersedia mengorbankan diri—dan direspons dengan gorokan ke leher sendiri. Lalu, Hassan memilih dua pengikutnya dan memerintahkan mereka lompat dari atas puri. Dengan kepatuhan tiada banding, kedua orang itu melompat dan mati. Hassan lantas memberi tahu utusan Seljuk itu bahwa masih banyak pengikutnya yang bersedia melakukan hal serupa. Meski begitu, Hassan sadar belaka kekuatannya jauh lebih kecil dibanding imperium-imperium besar yang mengelilinginya. Oleh karena itu, para militan Nizari Ismaili mengandalkan metode perang gerilya, spionase, infiltrasi, dan pembunuhan yang menargetkan pemimpin musuh.
Kelompok pun akhirnya menjadi pembicaraan dimana-mana. Berbagai cerita yang dilebih-lebihkan membuat nama kelompok ini menjadi semakin dikenal. Sekte Syiah dari kelompok Nizari ini kemudian disebut sebagai kelompok Hashshashin.
Kata hashish (kemungkinan berasal dari bahasa Persia) merujuk pada getah yang berasal dari bunga kanabis. Pandangan umum ini bisa jadi memengaruhi pendapat para pelaku Perang Salib dan tentunya juga kisah perjalanan Marco Polo ke benteng Alamut pada tahun 1273 juga menyebutkan tentang hal ini.
Karena itulah kata ‘assasin’ telah telah terdistorsi masuk ke dalam kosakata bahasa Barat. Meskipun demikian, etimologi yang paling diterima mengenai kata assasin adalah dari kata Hassan (Hassan-i Sabbah) dan pengikutnya. Keriuhan di sekitar versi Hasish dimulai oleh seorang orientalis bangsa Prancis, Silvestre De Sacy, yang pada tanggal 7 juli 1809 mengadakan kuliah di Institute of France, dia mengutip kembali kisah Marco Polo tentang narkotika dan sekte ini, serta menghubungkannya dengan kata ini.
Menurut Silvestre de Sacy, istilah Assassin dalam literatur Eropa berasal dari kata Arab hashishiyyin (jamak) atau hashish (tunggal) yang berarti ganja atau bisa juga untuk menyebut pemakai ganja.
Namun menurut Bernard Lewis, belum ada literatur Arab yang bisa mengonfirmasi keterkaitan antara sekte syiah ini dengan pemakaian ganja.
Pengaruh dan sekte Syiah ini hancur ketika mereka melanggar janji damai dengan bangsa Mongol yang menjadi penguasa di kawasan ini. Mereka mencelakai beberapa petinggi kepercayaan Mongol dan membuat kekacauan di kota. Jendral mongol tidak suka dengan kiriman kue dan belati terhadap anak buahnya. Pasukan mongol diperintahkan untuk menumpas semua tempat pertahanan yang dimiliki oleh kelompok ini. Dan berakhirlah masa kekuasaan Assassin.
Reporter : Ananda Nuraini