MATA INDONESIA, JAKARTA – Tidak banyak yang tahu bahwa keberhasilan Freeport memperoleh tambang di Papua berkat lelaki keturunan Ambon yang wafat di Jakarta, 30 Juli 2002, Julius Tahija.
Tahija sebenarnya berlatar belakang militer hasil didikan Pemerintah Hindia Belanda. Dia pernah menjadi anggota Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) atau tentara Hindia Belanda.
Dia mendapat penghargaan Tertinggi Ridder Willems-Orde setelah berhasil melaksanakan operasi rahasia melawan pendudukan Jepang.
Setelah Jepang kalah dan pemerintah Kolonial Belanda kembali masuk ke Indonesia Julius Tahija telah mendapatkan promosi dengan pangkat Letnan dan menjabat ajudan Panglima tertinggi tentara KNIL di Dutch East Indies, General Simon Spoor.
Usai berhasil membantu Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan dari Belanda, Desember 1949, Tahija bergabung dengan TNI menyandang pangkat letnan kolonel.
Namun, dua tahun kemudian dia mengundurkan diri dari TNI setelah Presiden Soekarno mengajaknya bergabung dengan perusahaan migas Amerika Serikat, Caltex. Sebuah perusahaan joint venture antara Chevron dan Texaco Corps.
Dia benar-benar meniti karirnya di perusahaan itu hingga menjabat Ketua Dewan Direksi Caltex pada 1966 yang saat itu masih menggunakan nama Texaco.
Peran pentingnya bagi Freeport terjadi saat pemimpin perusahaan tambang itu, Langbourne William mendengar kabar perubahan politik di Indonesia dari Texaco. Perusahaan minyak itu dipimpin Tahija.
Sebenarnya Freeport Sulphur, sudah tertarik dengan penemuan Ertsberg yang kemudian dikenal dengan Tembagapura ketika mereka tidak bisa meneruskan usaha tambang nikel di Kuba setelah Fidel Castro berkuasa.
Namun sebelum Soeharto berkuasa di Indonesia, Freeport tidak bisa menambang di Papua karena situasi politik Indonesia saat itu tidak kondusif.
Setelah Indonesia berhasil menerima Papua sebagai pengakuan kedaulatan dari Belanda, Freeport Sulphur politik Soekarno saat itu terlalu dekat dengan kelompok kiri yang membuat semua perusahaan asing diusir keluar Indonesia bahkan kita keluar dari keanggotaan PBB. Akibatnya, Freeport gagal menggarap Ertsberg.
Baru setahun sebelum Soeharto berhasil mengambil kekuasaan dari Soekarno dan dilantik sebagai Presiden Indonesia pada 1967, Langbourne William menghubungi Tahija. Di situlah mantan KNIL tersebut mengungkapkan angin politik Indonesia berubah.
Ketika Soeharto menjabat Presiden, Tahija pun mengatur pertemuan antara Freeport dengan Menteri Pertambangan dan Perminyakan Indonesia Jenderal Ibnu Sutowo di Amsterdam, Belanda.
Keputusan Tahija tepat, karena sebelumnya Ibnu Sutowo akan memberikan pengelolaan tambang Ertsberg kepada perusahaan Jepang, namun lokasi tambang itu tidak berhasil ditemukan. Maka tawaran Tahija agar Freeport diberi kesempatan mengelolanya diterima Ibnu Sutowo.
Presiden Freeport Robert Hill dan Forbes Wilson lalu menanyakan kepada Tahija, siapa yang pantas mewakili Freeport untuk berunding dengan Pemerintah Indonesia. Tahija pun menyodorkan nama Ali Budiardjo karena pernah menjadi penasihat Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia.
Setelah undang-undang investasi asing dibuat Soeharto, maka Bapak Pembangunan itu meresmikan beroperasinya Tambang Ertsberg, Maret 1973.
Di dalam jeep yang membawanya ke lokasi itu, Soeharto memberi nama jalur yang menghubungkan tambang tersebut dengan nama “Tembagapura” yang berarti Kota Tembaga.