MATA INDONESIA, BARCELONA – Klub Sepakbola Barcelona adalah salah satu bentuk perlawanan warga Catalunya kepada Pemerintahan Spanyol. Boleh kalah dari klub lain, tapi tak boleh kalah dari Klub Real Madrid, klub milik warga Madrid Spanyol, musuh bebuyutan Barcelona.
Bagi warga Catalunya, Barcelona adalah ensitas kebangsaan. Jatuh bangun klub ini hingga sekarang menjadi klub terbaik di dunia berkat dukungan dan totalitas warga Catalunya.
Tapi tahukah sebenarnya bahwa klub ini didirikan atas jasa seorang atlet lari, balap sepeda, rugby, tenis sekaligus jurnalis dan pebisnis andal asal Jerman, Hans-Mark Kamper alias Joan Gamper (1877-1930).
Ide mendirikan klub Barcelona ini berawal saat Gamper pindah dari Swiss ke Catalunya untuk membantu bisnis pamannya, Emili Gaissert.
Gamper sering bermain bola dengan beberapa anak muda di sela-sela membantu pekerjaan pamannya. Melihat banyak potensi anak-anak muda di daerahnya bermain bola, ia kemudian bermimpi membentuk klub sepak bola.
Ia kemudian memasang iklan baris di surat kabar Los Deportes edisi 22 Oktober 1899 mencari investor dan penyandang dana untuk klubnya. Tak lama kemudian beberapa pengusaha dan pemain bola ikut membantu mendirikan klub ini. Mereka adalah Otto Kunzle (Swiss); Walter Wild, John dan William Parsons bersaudara (Inggris); serta Eric Ducal, Pere Cabot, Cares Pujol, Josep Lobet, Luis d’Ossso, dan Bertomeu Terradas (Spanyol).
Gamper kemudian mengundang mereka ke Barcelona dan mengadakan rapat di Sole Gymnasium pada 22 November 1899. Sampai sekarang hari pertemuan tersebut diperingati sebagai hari kelahiran FC Barcelona.
Sebagai mantan pemain bola, Gamper paham bagaimana mengelola klub. Ia memberi nama klub ini Blaugrana. Tak berselang lama, Gamper yang ikut bermain di klub ini berhasil menembus final Copa Del Rey, meski akhirnya takluk 2-1 dari Club Vizcaya.
Prestasi Gamper di Blaugrana luar biasa. Saat ia memilih pensiun jadi pemain bola dan berlain ke manajemen klub pada 1903, ia berhasil menyumbang 100 gol untuk klubnya. Di klub pun, Gamper ternyata berhasil mengelola sehingga ia menjabat presiden klub untuk lima periode (1908-1909, 1910-1913, 1917-1919, 1921-1923, dan 1924).
Cara mengelola Gamper di klub luar biasa. Berbagai gebrakan dia lakukan selama menduduki kursi presiden klub. Salah satu hal terpenting yang dilakukan Gamper adalah mengubah bahasa resmi klub dari bahasa Spanyol ke Katala.
Hal inilah yang membuat warga Catalunya berbondong-bondong mendukung Blaugrana. Warga yang mendaftar masuk menjadi pendukung klub ini melonjak dari 6.000 ke 20.000. Sebagian besar orang asli Catalunya. Nah, Gamper kemudian memindahkan markas klub ini dari Camp de La Industria, yang cuma berkapasitas 6.000, ke stadion yang lebih besar, Camp de Les Corts.
Stadion ini punya kapasitas awal 25.000 kursi. Pemasukan ke klub pun cukup banyak sehingga ia merombak stadion ini dengan kapasitas 60.000 penonton. Gamper juga mengambil kebijakan tak kalah revolusioner. Ia menunjuk orang Inggris, Jack Greenwell yang merupakan pemain klub ini sebagai pelatih tetap pertama pada 1917.
Sentuhan Greenwell di klub ini terbukti. Blaugrana menjelma jadi salah satu kekuatan baru sepakbola Spanyol. Ia melatih dari 1917 hingga 1923. Ia berhasil merengkuh dua trofi Copa Del Rey dan lima trofi Campionat de Catalunya.
Greenwell pun mengorbitkan sejumlah pemain andalan. Misalnya Ricardo Zamora (kiper), Josep Samitier (gelandang), dan Paulino Alcantara (penyerang). Khusus untuk Alcantara, ia adalah pemain asal Filipina yang dikontrak panjang oleh klub ini. Penampilan dan ketajaman mencetak gol Alcantara membuat ia nyaris dikultuskan oleh oleh pendukung klub. Sehingga dalam sebuah peristiwa yang terjadi pada 13 April 1919, pria kelahiran Filipina itu mencetak gol hingga bolanya menjebol gawang dan mengenai seorang polisi hingga pingsan. Gol itu hingga kini dikenang dengan sebutan ‘Police Goal’.
Kiprah Blaugrana tak selamanya mengkilap. Saat menjamu CE Jupiter pada 14 Juni 1925, barisan suporter Blaugrana yang kesal dengan keluarga Kerajaan Primo de Rivera menyoraki “Royal March”, lagu kebangsaan Spanyol.
Pemerintah Spanyol saat itu marah besar termasuk keluarga kerajaan. Gamper pun dicopot dari jabatannya sebagai presiden klub. Pemerintah pun menutup stadion selama enam bulan. Akibatnya prestasi Blaugrana melorot karena tidak ada pemasukan.
Frustasi dan marah, pada 30 Juli 1930, sekitar lima tahun sejak turun dari jabatan presiden klub, Gamper bunuh diri. Depresi dan kondisi keuangan yang tak karuan menjadi pemicunya. Semua orang kaget dan shock.
Ditinggal presidennya, prestasi Blaugrana makin terpuruk. Apalagi ditambah terjadinya perang saudara di Spanyol. Kompetisi sepak bola pun berhenti.
Klub ini mulai bangkit lagi setelah pada 6 Agustus 1936 Presiden klub, Josep Sunyol, ditembak mati oleh anak buah jenderal Franco, pemimpin Spanyol.
Franco tidak suka dengan klub ini. Dengan alasan persatuan Spanyol, Franco memberantas apapun terkait dengan upaya melepaskan diri dari negaranya. Jenderal diktator ini memaksa klub ini menghapus simbol empat garis yang melambangkan bendera Catalunya di logo mereka. Ia juga melarang pemain asing bermain di klub ini. Dan memaksa semua pemain, pelatih menggunakan Bahasa Spanyol. Blaugrana pun berubah namanya menjadi Club de Futbol (CF) Barcelona.
Intervesi kepada klub ini pun luar biasa. Pada 1943 mereka dipaksa mengalah dalam pertandingan semifinal leg kedua Copa del Generalisimo melawan klub kesayangan Franco, Real Madrid. Sempat menang 3-0 saat tampil kandang, mereka akhirnya mengalah 11-1 di leg kedua.
Hal inilah yang membuat warga Catalunya semakin marah dengan Franco. Masyarakat Barcelona melakukan aksi mendukung klub ini dengan mendaftarkan diri menjadi suporter tetap klub ini. Keuangan klub pun kembali normal. Setiap pertandingan selalu dipenuhi penonton sehingga Barcelona pun kembali hidup.
Dampak lonjakan dukungan ini membuat para pemain Barcelona tampil kesetanan di atas lapangan. Satu musim kemudian, Barcelona merebut gelar juara Liga Spanyol 1944-1945. Ini adalah gelar liga pertama mereka sejak 1929, era ketika Gamper masih hidup.
Generasi yang sama lantas kembali menggondol gelar juara dua musim beruntun, 1947-1948 dan 1948-1949. Beberapa nama pemain yang mencuat pada era ini adalah Cesar Rodriguez, Antoni Ramallets, Juan Vellasco, dan Mariano Gonzalvo. Bersamaan dengan keberhasilan tersebut, jumlah anggota kelompok suporter resmi Barcelona pun kembali menyentuh angka 25.000.
Perebutan Pemain
Persaingan Barcelona dengan Real Madrid sudah lama terjadi. Tak hanya rivalitas pertandingan, sampai para pemain pun jadi rebutan. Di awal 1950-an Barcelona mengalahkan Real Madrid dalam perebutan pemain yang kemudian menjadi dewa Catalunya: Ladislao Kubala.
Pesepakbola asal Hongaria itu baru menjalani debut musim 1951/52. Di musim pertamanya, prestasi Kubala bersinar dengan catatan 26 gol dalam 19 pertandingan. Perannya menjadi faktor penting yang mengantarkan Barcelona meraih lima gelar di akhir musim: Liga Spanyol, Copa del Generalísimo, Copa Eva Duarte, Piala Latin, dan Copa Martini Rossi.
Pada awal musim 1953-1954 Real Madrid tak mau kalah. Mereka balik membajak Alfredo Di Stefano, pemain berbakat yang sudah sempat menginjakkan kaki di Barcelona.
Sayangnya kedatangan Di Stefano ke Madrid tak mengangkat klub ini menjadi juara. Malah selama 1951-1965 pemain-pemain macam Luis Suarez Miramontes, Sandor Kocsis, hingga Ramallets sampai empat kali mengantarkan Barcelona menggondol gelar juara liga.
Namun di Piala Champions yang pertama kali tahun 60 an, prestasi Barcelona mulai menurun. Pencapaian terbaik mereka cuma saat menembus final. Mereka kalah oleh klub asal Portugal Benfica pada musim 1960-61. Selain karena faktor kalah permainan, kemunduran Barca ini juga tidak bisa lepas dari keputusan membangun stadion baru, Camp Nou, pada 1957. Pembangunan tersebut membuat Barcelona harus menghemat alokasi dana untuk perekrutan pemain.
Mes Que Un Club
Perlu waktu lama bagi Barcelona untuk memecah dominasi Real Madrid secara prestasi. Namun menjelang era 1970-an, pretasi Barcelona melejit. Tanda-tanda kemajuan itu mulanya terendus kala presiden klub terpilih Barcelona 1967, Narcis Serra, berhasil memperkukuh kekompakan basis suporter lewat slogan mes que un club (lebih dari sekadar klub) yang dia sebarkan saat pidato pertama di hadapan publik.
Slogan ini pertama kali populer karena prinsip Barcelona. Klub ini menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ambisi kebebasan, sportivitas, dan kesetaraan. “Mes que un club bukan cuma menempatkan Barcelona sebagai klub sepakbola, tapi juga simbol kebudayaan dan representasi masyarakat Catalunya.”
Dampak slogan ini luar biasa. Dukungan suporter yang terus meneriakan slogan ini saat pertandingan membuat Barcelona berhasil mempermalukan Real Madrid dalam pertandingan final Copa del Generalisimo di Santiago Bernabeu. Dan yang menarik, Jenderal Franco hadir di pertandingan ini. Ia terang-terangan mendukung Real Madrid. Dan yang memalukan dari pertandingan ini, gol kemenangan terjadi dari bunuh diri pemain Real Madrid, Fernando Zunzunegui.
Masyarakat Catalunya puas dengan kemenangan ini. Usai pertandingan semua warga berteriak-teriak di jalan meneriakan slogan ini. Kejadian ini terulang kembali ketika rezim Franco hampir tumbang pada 1973. Slogan mes que un club menjadi nyanyian utama masyarakat. Presiden baru Barcelona Agusti Montal menjadikan slogan ini sebagai simbol kebesaran Barcelona.
Johan Cruyff
Montal punya ambisi menjadikan klub ini besar dan setingkat di atas Real Madrid. Salah satu langkah cerdas yang ia lakukan adalah berjuang mati-matian merekrut Johan Cruyff, pesepakbola Ajax asal Belanda yang juga sudah lama menjadi incaran Real Madrid.
Konon bos Real Madrid saat itu, Santiago Bernabeu, sebenarnya sudah mencapai kesepakatan dengan Jap van Praag, Presiden Ajax. ”Kami sudah mengadakan pertemuan di sebuah hotel di La Coruna ketika negosiasi rampung. Aku memasrahkan segalanya pada Van Praag, tapi tak lama keudian dia malah mengancam akan menjual [Cruyff] ke Barcelona,” ujar Bernabeu seperti dikutip Marca. “Aku rasa si presiden [van Praag] maupun si pemain [Cruyff] sama-sama orang yang kata-katanya tak bisa dipegang,” katanya.
Salah satu versi cerita menyebut kesepakatan antara Madrid dan Cruyff gagal gara-gara Montal datang dengan tawaran nominal transfer 920.000 poundsterling, angka yang menempatkan Cruyff sebagai rekrutan termahal dunia kala itu. Cruyff langsung menjadi magnet.
Loyalitasnya pada kota tersebut serta penampilan jeniusnya di atas lapangan sukses bikin sosoknya menjadi pujaan orang Catalunya. Di tahun perdananya berkostum Barcelona (1973-1974) Cruyff berhasil membawa klub memenangkan gelar juara Liga Spanyol pertama mereka sejak 1959.
Beberapa bulan usai perayaan gelar juara, kabar baik itu akhirnya muncul. Rezim Franco resmi tumbang. Barcelona lantas kembali mengubah nama klub dari CF Barcelona jadi FC Barcelona. Simbol empat garis warna bendera Catalunya pun kembali menjadi logo klub.
Presiden Nunez
Pada 1978 klub ini melakukan revolusi baru lebih dengan menerapkan aturan yang berlaku sampai sekarang: presiden klub terpilih berdasarkan voting anggota kelompok suporter resmi. Jose Luiz Nunez, pria kelahiran Basque, adalah sosok pertama yang terpilih dengan sistem ini.
Nunez pula yang kemudian mengubah citra Barcelona menjadi klub yang lebih stabil. Era kepemimpinannya awet selama 20 tahun (hingga 23 Juli 2000). Selama periode panjang itu Nunez mengeluarkan banyak aturan yang nantinya akan menjadi sistem di klub ini. Misalnya, Barcelona adalah tim yang tak bergantung pada individu tertentu. Nunez selalu membebaskan apabila ada pemain bintang yang ingin pergi. Termasuk sosok-sosok seperti Maradona, Romario, hingga Ronaldo.
Di era Nunez pula La Masia, akademi sepakbola Barcelona, berdiri. Dalam perkembangannya alumni La Masia memberi kontribusi besar terhadap prestasi klub sejak awal 1990-an hingga sekarang. Sebut saja Guillermo Amor, Pep Guardiola, Carles Puyol, Gerard Pique, Sergio Busquets, sampai Lionel Messi.
Kebijakan Nunez merekrut pelatih yang paham dengan prinsip dasar Barcelona juga turut melancarkan jalan munculnya talenta-talenta ini. Johan Cruyff, Pep Guardiola, Tito Vilanova, hingga Luis Enrique adalah beberapa sosok yang pernah mendapat kepercayaan menakhodai Barca. Sayang, pada pengujung periodenya Nunez justru kerap cekcok dengan orang-orangnya sendiri.
Usai Nunez lengser, jabatan presiden klub berturut-turut pernah berpindah kepada Joan Gaspart, Enric Reyna, Joan Laporta, Sandro Rosell, hingga Joseph Maria Bartomeu.
Generasi pemain juga terus datang dan pergi seiring berjalannya waktu. Kini tak di usia yang menyentuh 122 tahun, tak kurang dari 94 trofi kompetisi nasional dan internasional telah menjadi milik Barcalona. Meski sekarang prestasi Barcelona terseok-seok karena Lionel Messi sang legendanya pergi, namun warga Catalunya tetap mendukung klub ini.
Klub ini tak hanya sekadar tim biasa, tapi sebagai bentuk perlawanan rakyat Catalunya terhadap Spanyol.