Di Garut, Abdul Muis Menulis Novel Salah Asuhan

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Salah Asuhan adalah novel terbaik Indonesia di zamannya. Penulisnya Abdul Muis dan terbit tahun 1928, tahun di mana penjajah Belanda masih bercokol di Indonesia.

Salah Asuhan adalah novel yang berlatar belakang kehidupan pribumi di masa penjajahan Belanda yang penuh diskriminasi. Novel ini juga mengangkat permasalahan multi dimensi yang terjadi kala itu. Mulai dari sistem perekonomian serta budaya Eropa yang masuk dan memengaruhi kehidupan pribumi.

Saat terbit, Balai Pustaka menyebut keunggulan novel ini terletak pada pilihan memenangkan adat ketimuran saat berhadapan dengan pola barat.

Novel ini ditulis Abdul Muis, seorang wartawan dan politikus berdarah Minangkabau. Perlawanannya terhadap Belanda membuatnya ia diasingkan di Garut. Di tatar Parahyangan inilah ia menulis Salah Asuhan

Namun dalam pengasingan itu, ia melahirkan karya-karya besar. Salah satunya adalah novel Salah Asuhan yang kemudian mengabadikan namanya dalam khazanah kesusastraan Indonesia.

Lahir dari keluarga terpandang di Sungai Puar, Kabupaten Agam Sumatera Barat pada 3 Juli 1883. Ayahnya bernama Datuak Tumangguang Sutan Sulaiman, atau Tuanku Laras (Datuak Lareh), seorang Demang (kepala daerah) Sungai Puar. Sedangkan ibunya adalah Siti Djariah yang merupakan cucu dari Sentot Prawirodirdjo, seorang panglima pada masa Perang Diponegoro.

Semasa kecil, Abdul Muis mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Eropa atau Europeesche Lagere School (ELS). Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pendidikan Dokter untuk Pribumi atau School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Stovia) di Batavia.

Saat di Batavia, Muis merasa bebas. Lepas dari kungkungan aturan keluarga dan adat. Namun sayangnya, ia kini justru berhadapan dengan sistem kolonial yang diskriminatif.

Dan itu terasa bagi Muis yang di kampung halamannya, Sungai Puar, berasal dari keluarga terpandang. Di Batavia, orang-orang terutama warga Belanda tak pernah memandangnya.

Itulah yang membuat Muis jadi bandel. Di Stovia ia pernah protes atas aturan yang mewajibkan pelajar bumiputra berpakaian tradisional. Ia mempertanyakan larangan berpakaian gaya Eropa. Baginya itu diskriminatif. Tak tahan, Abdul Muis akhirnya angkat kaki di tahun ketiganya di Stovia.

Namun karena ia pintar dan fasih berbahasa Belanda, Abendanon – kepala Departemen Pendidikan dari Belanda yang terkenal sebagai penganut politik etik menawarinya pekerjaan. Jabatannya tak tanggung-tanggung. Juru Tulis Departemen Pendidikan. Sebuah jabatan yang sangat tinggi saat itu dan Muis adalah orang Indonesia pertama yang berhasil menjabatnya.

Di pekerjaan barunya ini, lagi-lagi Muis mendapat perlakuan diskriminatif. Apalagi beberapa anak buahnya adalah orang Belanda yang gajinya ternyata lebih tinggi.

Tahun 1905, Muis memilih keluar dari pekerjaanya. Pengalamannya selama ini membuat Muis anti pemerintahan kolonial. Ia banyak menulis di berbagai surat kabar tentang sikapnya itu. Hingga akhirnya, ia mendapat penawaran untuk menjadi penulis tetap di majalah Bintang Hindia di Bandung yang biasa menerbitkan risalah-risalah politik. Isinya cukup keras dan membuat panas pembacanya.

Pemerintahan Kolonial Belanda pun melarang majalah ini. Muis akhirnya memilih menjadi mantri lumbung di Bandungsche Afdeelingsbank. Setelah lima tahun menekuni pekerjaan ini, di tahun 1912 ia keluar karena berseteru dengan kontrolir, seorang warga Belanda.

Politik

Muis kembali ke dunia jurnalistik dengan bekerja sebagai korektor naskah di harian De Prianger Bode di Bandung. Dalam waktu tiga bulan, ia naik jabatan menjadi korektor kepala. Tahun 1913 datanglah padanya utusan Syarikat Islam (SI) pimpinan Tjokroaminoto yang memintanya untuk merintis dan mengembangkan SI di Bandung.

SI Bandung lalu menerbitkan surat kabar Kaoem Moeda sebagai corong aspirasi.  Melalui koran ini, Muis membuat cerita bersambung berjudul Surapati. Di karya ini, Muis juga mempertentangkan antara budaya Timur dan Barat.

Karena sudah terjun ke politik, Muis lebih intens bicara soal keculasan kolonialisme dan perlawanan politik. Ia memutuskan untuk masuk ke dunia politik. Ia kembali memilih keluar dari pekerjaannya itu. Ia bergabung dalam Indische Partij. Di partai tersebut, Muis membentuk Komite Bumi Putra bersama AH Wignyadisastra dan Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Komite ini bertujuan untuk mengadakan perlawanan terhadap rencana Belanda yang akan mengadakan perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis. Komite ini juga mendesak Ratu Belanda untuk memberikan bangsa Indonesia kebebasan dalam berpolitik dan bernegara.

Kiprah Muis di politik semakin berkembang. Pada 1917, Muis diutus Syarikat Islam pergi ke Belanda untuk memperkenalkan Comite Indie Weerbaar (Komite Pertahanan Hindia). Komite ini lahir sebagai bentuk pertahanan Hindia Belanda dalam menghadapi kemungkinan adanya serangan setelah Perang Dunia I. Dalam kunjungan tersebut, Muis mendorong Pemerintahan Belanda untuk mendirikan Technische Hooge School (Institut Teknologi Bandung).

Saat Muis pulang dari Belanda, harian Kaum Muda telah diambil alih oleh kelompok gerakan politik Belanda. Syarikat Islam kemudian menerbitkan harian Neraca dengan Abdul Muis sebagai pimpinan redaksinya.

Setahun kemudian, Tjokroaminoto mengajak Muis mewakili SI menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat). Dalam forum ini, kiprah Muis semakin gencar dalam memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia. Termasuk menolak menggunakan nama Hindia Belanda dan lebih memilih menggunakan nama Indonesia.

Pada tahun 1919, Muis berangkat ke Tolitolli, Sulawesi Tengah dan bertemu dengan beberapa tokoh SI. Muis juga kerap berpidato dalam rapat-rapat besar. Dalam pidatonya, ia menyerukan penolakan sebagai budak serta menuntut pengakuan sebagai manusia yang merdeka.

Persis tak lama setelah kunjungan  ke Tolitoli, terjadi peristiwa Pemberontakan Rakyat Tolitoli 1919 oleh para pekerja di sana. Peristiwa tersebut menelan banyak korban. Termasuk controlir dari pihak Belanda. Belanda menuduh Muis menghasut rakyat sehingga memunculkan pemberontakan. Polisi Belanda menangkap dan menahan Muis.

Penahanan ini tak lama hanya satu tahun. Keluar dari penjara, Muis terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Perkumpulan Buruh Pegadaian. Kemudian di tahun 1922, Muis memimpin rekan-rekannya yang tergabung dalam Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra untuk menggelar aksi mogok kerja di Yogyakarta. Hal tersebut karena pemecatan para pekerja pribumi secara sepihak oleh pemerintah. Dalam waktu dua minggu, aksi ini menjamur di kota-kota lainnya seperti Cirebon, Semarang, hingga Surabaya.

Belanda sudah jengkel dengan Muis. Untuk meredakan kecurigaan, Muis pulang ke Sumatera Barat. Ia menjadi pimpinan dua surat kabar yaitu harian Utusan Melayu dan harian Perobahan. Sambil menjalani kesehariannya sebagai jurnalis, Muis tetap konsisten dalam perjuangannya melawan Belanda. Di Padang, Muis memimpin sebuah pergerakan yang menolak pemberlakukan landrentestelsel (aturan pengawasan tanah).

Jengkel dengan aksi-aksi Muis, akhirnya Belanda menangkap kembali dan kemudian membuangnya ke Garut, Jawa Barat. Belanda melarang Muis keluar dari Garut. Namun Serekat Islam mencalonkan Muis sebagai anggota Regentschapsraad (Dewan Kabupaten) untuk wilayah Garut. Setelah terpilih, Muis menjadi anggota Regentschapsraad selama enam tahun.

Selama di Garut lah, Muis punya banyak kesempatan untuk menulis novel. Salah satunya adalah Salah Asuhan.

Balai Pustaka menerbitkan novel ini pada tahun 1928. Novel pertamanya ini sukses melambungkan namanya dalam khazanah kesusastraan Indonesia. Kemudian menyusul novel berjudul Pertemuan Jodoh pada tahun 1932. Surapati yang sebelumnya menjadi cerita bersambung di koran kemudian terbit menjadi novel pada tahun 1950. Dan novel Robert Anak Surapati pada tahun 1953 yang merupakan kelanjutan dari novel Surapati.

Muis terpenjara di Garut dan tak bisa kemana-mana. Masuk Perang Dunia II. Jepang menyerbu Indonesia. Muis kemudian menjadi pegawai sociale zaken (urusan sosial). Namun karena menderita penyakit darah tinggi, Muis keluar dari pekerjaan ini di tahun 1944.

Muis tetap konsisten untuk melawan Belanda. Setelah Indonesia Merdeka, Muis membentuk Persatuan Perjuangan Priangan di Garut. Persatuan ini merupakan suatu bentuk upaya dalam mempertahankan kemerdekaan.

Usia yang sudah tua dan sendirian tak ada keluarga, membuat Muis kesepian. Ia juga mengalami kesulitan finansial. Ia memutuskan pindah kembali ke Jakarta dan mencari pekerjaan. Pemerintah menawarinya pekerjaan, namun ia menolaknya karena sering sakit-sakitan. Di masa tuanya, Abdul Muis hidup dengan menulis beberapa prosa dan menerjemahkan karya asing.

Pada 17 Juni 1959, Abdul Muis meningal dunia. Presiden Soekarno datang melayat dan kemudian menetapkan Muis sebagai Pahlawan Nasional. Tak hanya itu Abdul Muis mendapat penghargaan Bintang Mahaputra. Untuk menghormatinya, pemerintah memakamkan Abdul Muis di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.

Reporter: Azzura Tunisya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Program MBG Jadi Langkah Konkret Menghapus Kemiskinan Ekstrem

Oleh : Dhika Permadi )* Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh pemerintah saat ini menjadi langkah nyata yang...
- Advertisement -

Baca berita yang ini