MATA INDONESIA, ROMA – Sejarah Eropa berawal dari penobatan seorang raja Jermanik bernama Karl. Pagi hari, 25 Desember tahun 800, Paus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik menobatkan Karl menjadi Kaisar Romawi. Pria yang masin berusia 26 tahun ini kemudian terkenal dengan nama Charles the Great atau Karolus Magnus atau Charlemagne.
Sejak pelantikan itu, sejarah Eropa berubah. Banyak peristiwa setelah pelantikan itu akan mempengaruhi negara-negara Eropa lainnya.
Ambisi
Karl alias Charlemagne punya mimpi besar. Menyatukan seluruh daratan Eropa dalam kekuasaanya. Ia sengaja mengandeng Paus sebagai penguasa tertinggi Agama Katolik. Charlemagne tidak hanya menyerang dan menguasai wilayah, ia juga sibuk berdiplomasi dan duduk di meja perundingan.
Ia meredam ambisi Ratu Irene dari Bizantium. Memberi ruang bagi komunitas Yahudi. Ia juga membina hubungan baik dengan Khalifah Harun al Rasyid yang sangat berpengaruh. Ia menggunakan strategi dakwah dan propaganda bahwa ia adalah wakil Tuhan. Dan ini membuat Gereja Katolik mau bekerjasama dengan untuk mempersatukan Eropa.
Charlemagne lahir pada tahun 742 Masehi dari pasangan Pippin dan Bertrade (raja dan ratu Franka). Sebelum menjadi raja Franka, Pippin adalah Mayordomo istana (patih) yang melayani raja-raja Merovingian.
Meskipun berstatus sebagai raja, raja-raja Merovingian ini tidak memiliki kekuasaan. Justru Mayordomolah yang memiliki kekuasaan karena ia adalah orang yang yang membuat peraturan. Karena itulah Pippin memiliki kendali atas Kerajaan Merovingian.
Suatu ketika, Pippin berkonsultasi dengan Paus Zakarias untuk membahas mengenai “raja-raja Merovingian yang tidak memiliki kekuasaan”. Paus Zakarias pun sebenarnya tidak setuju dengan kondisi tersebut. Karena bagaimanapun kekuasaan de facto lebih penting daripada kekuasaan de jure.
Berkat bahasan tersebut, akhirnya takhta kosong. Childerich, III pemimpin Merovingian yang terakhir, diasingkan ke sebuah biara. Pippin mengambil alih kekuasaan, ia kemudian terpilih sebagai raja Franka.
Pippin juga bersekutu dengan Paus Stephen II, dan menyatakan kesediaannya untuk melindungi Roma sebagai upaya balas jasa. Karena berkat Paus ia dan keturunannya memiliki hak untuk memegang takhta Franka.
Pippin meninggal pada tahun 768. Pasca kematiannya, kerajaan pun dibagi dua untuk dua putranya, Charlemagne (wilayah barat dan utara) dan Karlmann (wilayah timur dan selatan). Keduanya menjadi Raja Franka pada 9 Oktober 768.
Namun sayangnya, Charlemagne dan adiknya tidak akur. Mereka sama-sama bersaing untuk menguatkan posisi. Persaingan mereka berakhir ketika Karlmann tewas pada 4 Desember 771 Masehi.
Charlemagne mengambil alih kekuasaan Karlmann dan akhirnya ia pun berhasil menguasai seluruh wilayah Franka.
Setelah berhasil menguasai seluruh wilayah Franka, Charlemagne pun melakukan penyatuan suku-suku Jerman dan mengkristenkan mereka. Proses penyatuan ini dilakukan dengan menggunakan banyak kampanye militer dengan menaklukkan orang-orang Avar, Bavaria, Lombard (utara Italia), dan lainnya.
Tak hanya itu, terhitung selama tiga dekade, Charlemagne juga melawan Suku Saxon, suku yang masih memeluk paganisme. Akhirnya di tahun 782 Masehi, ia memerintahkan pembantaian terhadap 4.500 orang Saxon di Verden.
Sebagai pendukung kuat kekristenan, Charlemagne memaksa orang-orang Saxon untuk memeluk Kristen. Bagi yang menolak, maka akan dihukum mati. Charlemagne juga memberikan dukungan berupa uang dan tanah kepada gereja serta melindungi Paus.
Untuk mempertahankan tahtanya, Ia mengklaim bahwa kekuasaannya adalah daulat resmi yang diberikan Tuhan dalam nama Kristus. Klaim ini didukung oleh para penyair kerajaan yang semakin memantapkan statusnya sebagai wakil Tuhan di dunia.
Dalam waktu singkat, ia mendominasi medan-medan pertempuran fisik dan meja-meja perundingan. Satu persatu kerajaan kecil di sekitarnya mulai tunduk dan mengakui Charlemagne.
Kemudian, dalam rangka menguatkan hubungan Kepuasan dengan Charlemagne, Paus Leo III pun menobatkan Charlemagne sebagai Kaisar Romawi Suci, yang dilakukan di Roma pada hari Natal tahun 800 Masehi. Sejak saat itulah Charlemagne mendapat sebutan “Carolus Magnus” atau “Karel yang Agung”.
Charlemagne juga dikenal dengan sebutan “Bapak pendiri Eropa”, karena berhasil menyatukan sebagian besar benua Eropa di bawah Kerajaan Franka.
Di bawah kepemimpinannya, ia berhasil mengatur pemerintahan dengan baik. Bahkan di masa kekacauan akibat perang, ia berhasil menstabilkan kembali bidang politik, ilmu, dan kebudayaan. Salah satunya yang terkenal adalah Renaisans Karolingia atau Kebangkitan Karolingia.
Charlemagne juga mensponsori sebuah sekolah istana di Aachen, ibu kota kekaisaran. Di sana ia merekrut guru-guru terpelajar, salah satunya adalah Alcuin.
Tak hanya itu, Alcuin juga membuat ulasan-ulasan Injil yang berpihak pada paham ortodoks. Para biarawan juga membuat salinan-salinan karya Latin kuno. Tanpa kontribusi para biarawan, tentu karya-karya kuno sudah hilang tergerus zaman.
Paus juga mengandalkan Charlemagne untuk menjadi pelindung, sementara orang-orang Pagan menyerah dan tunduk pada otoritasnya dengan membayar upeti. Seiring waktu, semakin banyak pihak yang menghormatinya. Charlemagne menjadi raja yang punya pengaruh yang besar di zamannya.
Pada kenyataannya, masa pemerintahan Charlemagne bukan hanya mengawali peradaban Barat melainkan juga menentukan arah interaksi antara dunia Barat dan Timur. Jika Paus, pendeta, dan biarawan Kristen memilih untuk memisahkan diri menjadi Kristen Ortodoks dan Kristen Roma, Charlemagne dengan cerdik menjadi mediator bagi pihak-pihak yang bersengketa.
Keahlian sebagai mediator konflik itu pula yang membuatnya bisa merangkul Khilafah Islam yang sebelumnya sangat menutup diri. Posisi Charlemagne terbilang unik dan berbeda dengan raja-raja penguasa di zaman itu yang punya tipikal brutal, kejam, dan cenderung menyelesaikan semua konflik hanya dengan jalan peperangan terbuka.
Di era kekuasaannya, Charlemagne membuat banyak perubahan mendasar dalam pemerintahan kerajaan. Soal agama Kristen, misalnya, ia memberikan ruang sebesar-besarnya bagi pengembangan struktur organisasi.
Ia membuat standarisasi liturgi, menjamin peran gereja dalam politik, dan melindungi gereja dari berbagai ancaman termasuk dari orang-orang Pagan. Perhatiannya terhadap pengembangan keilmuan juga terlihat dari begitu besarnya dukungan untuk memproduksi buku-buku seni, literatur, dan arsitektur. Juga pembangunan perpustakaan besar yang konon menjadi sumber utama penyedia informasi mengenai bahasa dan keimanan Kristen di antero Eropa.
Pada tiga dekade pertama kekuasaannya, Charlemagne juga fokus terhadap pengembangan kekuatan perang kerajaan. Ada beberapa aspek yang perlu ia pertimbangkan seperti menjaga wilayah kekuasaan dari serbuan pihak asing yang di luar dugaan, berjaga-jaga terhadap perubahan konstelasi politik yang bisa terjadi kapan saja, serta ambisinya untuk menyebarkan ajaran Kristen ke seluruh dunia.
Kombinasi kekuatan militer yang hebat dan keahlian diplomasi yang hampir sempurna terus menerus memberi catatan sukses Charlemagne. Ia berhasil membangun relasi yang stabil dengan beberapa musuh potensial seperti Denmark, suku Slavia, dan Muslim Spanyol. Khusus untuk urusan dengan orang-orang Muslim, Charlemagne menjalin persahabatan dengan Khalifah Abbasiyah di Baghdad (Harun al-Rashid).
Akhir Hidup Charlemagne
Empat tahun sebelum kematiannya, Charlemagne mengidap demam dan mulai kesulitan berjalan lantaran kakinya pincang. Di tahun 813 Masehi, ia pun megangkat Louis, anaknya, untuk menjadi kaisar bersama dan menjalankan pemerintahan secara bersama-sama.
Setahun kemudian, Charlemagne menghembuskan napas terakhirnya. Tubuhnya tersimpan di sebuah katedral di Aachen. Pasca kematiannya, Louis pun resmi menjadi kaisar penuh.
Reporter: Intan Nadhira Safitri