MATA INDONESIA, JAKARTA – Seorang pemuda, Muhammad Al-Fatih memberikan mimpi buruk terhadap bangsa Romawi. Mitos kota Konstantinopel yang tidak pernah bisa direbut oleh siapapun patah di tangan pemuda 21 tahun.
Pagi pada 29 Mei 1453, mimpi buruk Romawi menjadi kenyataan. 70 kapal perang Al-Fatih berjejer rapi di Selat Borporus setelah melewati bukit yang penuh dengan pohon-pohon besar. Kapalnya dilayarkan bukan melalui lautan, melainkan bentangan bukit yang menjulang tinggi, Teluk Tanduk Emas (Golden Horn).
Selat Borporus menjadi titik terlemah pertahanan Romawi. Mereka fokus di bagian depan Konstantinopel, tapi tak pernah membayangkan ide aneh Al-Fatih.
Hal ini menjadi tanda jatuhnya kekaisaran Romawi Timur ke tangan pasukan Turki Utsmani sekaligus menjadi tanda berakhirnya abad pertengahan,
Muhammad Al-Fatih yang bernama asli Mehmed bin Murad ini lahir pada 30 Maret 1432. Ia sempat naik takhta menggantikan ayah pada usia 11 tahun. Sejak dahulu, para khalifah dan pemimpin Islam selalu berusaha menakhlukkan Konstantinopel. Usaha pertama dilancarkan tahun 44 H di zaman Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu ‘Anhu.
Semenjak kecil, Al-Fatih telah mencermati usaha pendahulunya berusaha menakhlukkan Konstantinopel, terkhusus ayahnya yang sudah berkali-kali melakukan pengepungan terhadap kota Byzantium tersebut.
Saat Al-Fatih naik tahta lagi pada 1451 M, ia telah berpikir keras untuk menyusun strategi pengepungan kota yang menjadi rebutan banyak bangsa kala itu. Ia menyiapkan bala 250 ribu tentara ia siapkan untuk melakukan penakhlukan, berbagai perbekalan diberikan kepada pasukannya, mulai dari Al-Qur’an, Hadis, landasan tauhid, serta kecerdasan dan kemampuan fisik.
Para mujahid diberkikan latihan intensif serta selalu diperdengarkan dengan pesan Rasulullah SAW tentang pentingnya pembebasan Konstantinopel bagi kejayaan Islam. Lantas pasukannya menyambut dengan zikir, pujian dan doa kepada Allah SWT.
“Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan, dan sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin pasukan (yang menaklukannya) itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu.” (HR. Imam Ahmad)
Tibalah waktunya. Kamis 6 April 1453 M, sultan Al-Fatih berkhutbah dan mengigatkan tentang kelebihan berjihad, meluruskan niat dan harapan untuk agamanya. Konstantinopel dikepung secara besar-besaran oleh pasukan Turky Utsmaniah.
Peperangan itu memakan waktu 54 hari. Berbagai keperluan dan peralatan perang di angkut dari pusat kesultanan menuju Konstantinopel. Kerajaan Byzantium dikelilingi oleh benteng yang sangat kuat. Berkali-kali serangan besar-besaran bangsa Turki tidak memberikan pengaruh berarti untuk pertahanan mereka.
Pelontar batu hingga pemanah terus diarahkan ke dalam benteng. Bahkan meriam terbesar di dunia kala itu juga disiapkan untuk memberikan ancaman besar terhadap musuh.
Selain itu, penyerangan terhadap laut juga dilakukan. Puluhan kapal perang Al-Fatih dikerahkan untuk melakukan perlawanan dari sisi laut. Tapi, saat pengepungan tidak memberi dampak berarti. Pasukan Byzantium menggunakan cara cerdik dengan membentangkan rantai raksasa sehingga kapal tidak bisa lewat.
Al Fatih kecil dididik oleh ulama-ulama besar, ia ditanamkan pemahaman akhlak, pengajaran fikih, hingga pelatihan ilmu militer menjadi makanan sehari-harinya. Ia juga dikenal sebagai ahli astronomi, ahli strategi perang, hingga menguasai berbagai bahasa dari belahan dunia.
Seluruh kekuatan dikeluarkan, pasukan biasa sampai khusus disiapkan, beralatan kecil sampai yang terbesar di zamannya sisiagakan, tujuannya untuk menggempur pasukan Konstantinopel.
Hampir satu bulan pengepungan, belum memperlihatkan hasil yang signifikan. Tembok-tembok yang hancur sedikit demi sedikit diperbaiki, pasukan bawah tanah digempur habis-habisan, dan pasukan laut tidak bisa bergerak karena rantai besar menghadang kapalnya masuk ke pertahanan musuh.
Di lain sisi, sedikit demi sedikit mujahid makin berkurang, sementara Konstantinopel terus melakukan perbaikan. Begitu juga persediaan makanan, menipis karena telah lama bertahan di sana.
Malam pada 28 Mei 1453, tampak pasukan mulai menyerah. Satu per satu gugur di medan perang. Dalam suasana duka yang mendalam, tekatnya untuk menakhlukkan masih tertanam kuat dalam diri Al Fatih. akhirnya ia menemukan ide terakhir setelah mengerahkan semua strategi perangnya.
Al-Fatih memerintahkan pasukan laut untuk memindahkan kapalnya melewati hutan belantara agar sampai di selat borporus, pertahanan terlemah Konstantinopel.
70 kapal berlayar melewati bukit dengan kegelapan yang menyelimuti. Dalam waktu kurang dari satu malam, pasukannya berhasil melewari bukit untuk menyeberangkan kapalnya. Di sinilah kemenangan direbut Al Fatih, pasukan Konstantinopel kocar-kacir karena telah dikepung dari berbagai sisi.
Setelah ditakhlukkan, Al-Fatih memindahkan pusat pemerintahannya ke Konstantinopel, ia mendirikan kekaisaran Turki Utsmani. Setelah itu, ia melakukan perjalanan untuk menakhlukkan kota-kota lainnya ke Eropa, salah satunya Bosnia.
Dalam kepemimpinannya, ia banyak membangun universitas dan madrasah. Ia juga mengutamakan keilmuan dan pengetahuan keagamaan bagi rakyatnya. Kala itu, Turki Utsmani menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahua di Eropa. (Maropindra Bagas/R)
Keren