Begini Sisi Keras Bung Hatta di Akhir Hayatnya

Baca Juga

MINEWS.ID, JAKARTA – Selama ini kita selalu disuguhi gambaran sosok Muhammad Hatta yang kalem dan cenderung tenang tanpa reaksi menggelegak seperti karibnya, Soekarno.

Tetapi menjelang meninggal dunia Bapak Koperasi itu menampilkan sisi kerasnya terhadap Pemerintahan Soeharto.

Di puncak kejayaan Orde Baru pada akhir 70 -an, suami Rachmi Rahim itu berupaya keras mengingatkan pemerintahan yang sudah berjalan tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi.

Dari sisi ekonomi dia menilai Indonesia sudah sangat condong ke prinsip kapitalisme Barat, sehinga lelaki yang akrab dipanggil Bung Hatta sering memaksakan diri berbicara di forum-forum ekonomi.

Misalnya saat Kongres Asosiasi Sarjana Ekonomi Indonesia pada Juni 1979. Meskipun kurang fit, lelaki yang saat itu berusia 77 tahun itu memaksakan diri berbicara di hadapan ekonom kampus-kampus ternama dalam dan luar negeri.

Di antaranya, para teknokrat lulusan University of California, Berkeley, AS. Para ekonom universtas itu lah yang menjadi arsitek ekonomi Pemerintah Soeharto hingga lengsernya.

Ditemani menantunya, yang juga ekonom Universitas Indonesia, Sri Edi Swasono, Bung Hatta membacakan sendiri naskah pidato yang dia tulis sendiri satu harian sebelumnya.

Tetapi si Bung tidak kuat membacakan naskah pidato panjangnya hingga selesai. Akhirnya dia beristirahat di kursi podium. Pidato itu pun dibacakan Edi Swasono hingga selesai.

Isinya, menegaskan pentingnya koperasi sebagai sokoguru atau penopang ekonomi Indonesia.

Berbeda dengan haluan ekonomi Indonesia saat itu yang hanya mengandalkan utang negara asing sehingga melenceng dari cita-cita UUD 1945, terutama pasal 33.

Itulah yang meresahkan Wakil Presiden pertama Indonesia di hari-hari terakhirnya di dunia.

Bukan hanya melakukan kontra gagasan. Bung Hatta bahkan membuat langkah tegas dan keras terhadap Soeharto dengan ikut membentuk petisi 50.

Dia bergabung dengan 50 tokoh nasional seperti Muhammad Natsir, Burhanuddin Harahap (mantan perdana menteri), dan mantan kapolri Jenderal (purn) Hoegeng Imam Santoso.

Selain itu ada Mayjen (purn) HR Dharsono, mantan gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, dan Jenderal Besar AH Nasution.

Hatta bahkan menginisiasi dengan menjadi penandatangan pertama petisi tersebut.

Dalam hal politik para ‘singa tua’ itu sangat resah dengan sikap Soeharto yang menyamakan dirinya dengan Pancasila.

Apalagi setelah Soeharto mengucapkan, “Yang mengkritik saya berarti mengkritik Pancasila.”

Itu lah puncak kemarahan dan sikap keras seorang Mohammad Hatta yang ingin meluruskan sistem ekonomi dan menentang sikap otoriter Orde Baru.

Sebab, 3 Maret 1980, Bung Hatta masuk RS Cipto Mangunkusumo untuk menjalani serangkaian perawatan.

Dia tidak pulang ke rumahnya di Jalan Diponegoro 57 Jakarta Pusat dalam keadaan sehat. Pada 13 Maret 1980, kondisi fisiknya terus menurun.

Akhirnya dia harus menjalani tindakan medis di ruang ICU.

Pada pukul 18.56 WIB, hari Jumat, 14 Maret 1980, dia menghembuskan nafas terakhir. Bung Hatta wafat dengan tenang didampingi sejumlah anggota keluarga tercinta.

Jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir karena dia pernah berwasiat ingin dimakamkan di kompleks pemakaman biasa setelah wafat.

Seperti diketahui saat itu masyarakat Jakarta dan mungkin Indonesia, tumpah ruah di rumah duka bahkan sepanjang rute mobil jenazah ke TPU.

Iwan Fals pun menciptakan lagu berjudul ‘Bung Hatta’ yang menggambarkan kesedihan mendalam rakyat atas panutan satu-satunya saat itu.

Berita Terbaru

Jogja Student’s Solidarity for Palestine: Stop the Genocide!

Mata Indonesia, Yogyakarta - Jogja Student's for Justice in Palestine merupakan komunitas yang lahir dari berbagai perguruan tinggi di Jogja atas dasar kepedulian terhadap perjuangan bangsa Palestina, 12/5/2023.
- Advertisement -

Baca berita yang ini