MATA INDONESIA, JAKARTA– Dunia sastra tidak akan pernah merasa hampa sebab banyak sastrawan yang masih mau menggiatkan karya sastra yang orisinil, kreatif, dan abadi. Salah satunya Sapardi Djoko Damono.
Seorang penyair, dosen, pengamat sastra yang lahir di Surakarta, 20 Maret 1940 ini memiliki peran penting dalam kesusastraan bagi Indonesia. Dalam berbagai kondisi dan tempat, ia mampu melahirkan sebuah karya sastra yang hebat dan melekat.
Sebelumnya, kehidupan yang harus dijalani Sapardi tidak menyenangkan seperti yang ada di pikiran orang-orang. Ia ternyata juga pernah mengalami masa sulit. Masa kecil Sapardi terpaksa harus jauh dari ayahnya yang bernama Sadyoko yang berpindah dari desa satu ke desa lainnya.
Kala itu ayahnya harus menghindar dari kawanan pasukan tentara Belanda. Meski bukan pejuang, Belanda gencar untuk menangkap para pemuda.
Sapardi Djoko Damono hidup bersama ibunya, Sapariah. Dengan kondisi yang serba kekurangan, Sapardi saat itu hanya mampu makan bubur setiap harinya. Merasa bahwa ia adalah tulang punggung keluarga, sejak kecil ia bersikeras untuk belajar menulis.
Sastra semakin melekat pada jiwanya dan bisa membawanya pada masa depan yang cerah. Sapardi Djoko Damono kemudian dapat mengenyam pendidikan di Fakultas Sastra dan Kebudayaan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tak hanya memiliki ketertarikan di bidang sastra, ia juga memiliki kemampuan bermain gitar, bermain drama. Namun memang kesusasteraan lah yang paling melekat dalam dirinya.
Seiring berjalannya waktu, Sapardi tak hanya menorehkan karya-karya sastranya. Ia aktif mengajar sebagai dosen di Universitas Indonesia pada Fakultas Ilmu Budaya dan karier lainnya yang penting dalam sastra di Indonesia.
Dengan kerendahan hati dan ketulusannya, Sapardi juga membuka diri bagi yang ingin mempelajari sastra. Termasuk menulis puisi. Sebab hal itulah yang telah membuatnya terkenal dan terkenang sebagai pujangga romantis Indonesia.
Bagi Sapardi Djoko Damono, menulis sebuah puisi akan melahirkan makna yang tergantung dari penafsiran pembaca. Sehingga perlu adanya penghayatan yang mendalam untuk bisa lebih menggambarkan apa yang sebenarnya dimaksud dan akan disampaikan.
Banyak karyanya yang menorehkan berbagai penghargaan. Sapardi memang terkenal gigih dalam dunia sastra. Dalam buku karya A Teeuw taun 1989 yang berjudul Sastra Indonesia Modern II, Sapardi merupakan cendekiawan muda yang sudah mulai menulis sejak tahun 1950.
Sejak tahun 50 an, karyanya banyak dikagumi karena punya kesamaan dengan sajak-sajak yang ada di Barat. Tak hanya menulis sajak dan puisi, Sapardi juga memiliki karya tulis lainnya berupa esai dan cerita pendek.
Beberapa karya Sapardi Djoko Damono yakni, Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), dan kumpulan Sajak Kolam (2009).
Beberapa bukunya yaitu, mulai dari tahun 1978, berjudul Sebuah Pengantar Ringkas, Kesusastraan Indonesia Modern, hingga bukunya yang diterbitkan pada tahun 2004 berjudul Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan: Sebuah Catatan.
Beberapa penghargaan yang telah didapat Sapardi Djoko Damono antara lain Cultural Award Australia (1978), Anugerah Puisi Putra dari Malaysia (1983), SEA Write Award dari Thailand (1986), Anugerah Seni (1990), Mataram Award (1985), Penghargaan Kalyana Kretya dari Menristek RI, serta Penghargaan Achmad Bakrie (2003) yang saat itu diberikan kepada para tokoh sebagai putra terbaik bangsa Indonesia.
Hingga 19 Juli 2020, di usianya yang ke 80, Sapardi Djoko Damono meninggal dunia. Setelah sejak 9 Juli 2020, Sapardi dirawat karena fungsi organ di tubuhnya yang terus menurun.
Negeri ini kehilangan sosok sastrawan dengan ciri khas topi petnya yang selalu ia pakai selama puluhan tahun. Selamat jalan Sang pujangga, karyamu terkenang dalam keabadian!
Reporter : Irania Zulia