MATA INDONESIA, JAKARTA– Kumpulan puisi “Hujan Bulan Juni” dari penyair romantis Sapardi Djoko Damono tak pernah lekang oleh waktu sejak diterbitkannya pada tahun 1994. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Potongan larik dari puisi itu menjadi kalimat legendaris yang mengandung makna dan banyak dikagumi semua orang.
Dengan interpretasi yang dibebaskan oleh si pecipta puisi, karya-karya Sapardi Djoko Damono atau yang disebut SDD ini melahirkan makna tergantung bagaimana yang membacanya.
Puisinya yang berjudul “Hujan Bulan Juni” hanya berisikan tiga bait untaian kata. Namun, dimaknai banyak orang sebagai perenungan diri (ketabahan dan kesabaran) atas sebuah rasa yang tak mampu tersampaikan dan bahkan dibiarkan lenyap dan hilang.
Hujan Bulan Juni ditulis Sapardi pada tahun 1989. Di tahun 1989, di bulan Juni sedang dalam masa musim kemarau. Maka hujan yang turun pada waktu itu sangat berarti. Ibaratnya, jika terjadi sesuatu yang bukan pada waktu seharusnya, pasti ada yang penting dan menarik di balik itu.
Bagi Sapardi, hujan bulan Juni bukan sekadar rahmat dari Sang Pemilik Semesta. Ketika banyak pohon yang merindukan hujan, tanah yang mengharap hujan masuk ke sela-selanya, hingga akhirnya turunlah hujan di musim kemarau bulan Juni.
Gagasan Sapardi kemudian muncul untuk membuat puisi ini dengan kompleks beserta diksi yang mungkin saja bisa beda maknanya bagi setiap orang. Sapardi punya cara yang berbeda melihat sudut pandang hujan.
Hujan bukan hanya dianggap sebagai air yang turun ke bumi. Hujan memberi Sapardi kebahagiaan dengan rintik-rintiknya yang turun membasahi atap-atap rumah, pepohonan, daun-daun dengan bunyi-bunyian yang seperti menghasilkan musik, serta bau tanahnya juga yang ciri khas.
Sapardi memberikan jiwa pada hujan yang turun. Hujan dalam puisinya itu menjelma menjadi tokoh yang begitu dekat di hati pembaca. Bahkan barangkali dapat menjadi perwakilan dari keadaan diri. Seperti hujan bulan Juni yang merasakan kerinduan atau sebuah perasaan yang tertahan, tersimpan, dan sengaja untuk tidak diucapkan.
Keberadaan sebuah puisi akan selalu dibutuhkan oleh masyarakat, tertutama yang mencintai karya-karya sastra. Selain memiliki keindahan dalam segi bahasa, puisi juga menyuguhkan segudang makna yang berbeda dari pandangan setiap orang. Bahkan bisa saja membentuk karakter yang baik dari nilai-nilai makna yang terkandung di dalamnya.
Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapuskannya jejek-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Pada akhir puisi tersebut, tersirat makna dari sebuah rasa yang mungkin saja rindu atau cinta kepada orang lain. Hujan menghapuskan jejak ragu-ragu dari ketidakberanian dalam hal mengungkapkan rasa itu.
Lantas dengan sikap bijak yang tersirat pada diksi ‘arif’, perasaan itu kemudian dibiarkan lenyap dan diserap ‘hujan’ oleh akar-akar pohon. Tak serta merta melenyapkan rasa itu hal ini juga memaknai sebuah kesabaran dan ketabahan yang tersirat pada diksi setiap baitnya.
Diksi atau pemilihan kata dari Sapardi dipilih sedemikian rupa untuk memunculkan beragam interpretasi dari pembaca. Pemilihan kata tersebut mencakup makna di dalamnya, kedudukan kata dalam keseluruhan puisi yang diserahkan sepenuhnya pada pembaca.
Secara keseluruhan, pilihan kata yang terdapat pada puisi ini mengandung kata-kata yang sederhana, tidak rumit, dan dekat dengan kenyataan yang sebenarnya pada apa yang terjadi hidup ini.
Meski puisi ini mengandung diksi yang penuh dengan kesederhanaan, tak mengurangi kualitas seni dan isinya. Justru mampu membangkitkan pengalaman tersendiri. Hingga akhirnya diksi-diksi pada “Hujan Bulan Juni” memiliki tafsiran sangat luas.
Penulis: Irania Zulia/Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta