MATA INDONESIA, JAKARTA – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa negara dengan penghasilan rendah dan menengah akan lebih rentan mengalami peningkatan jumlah korban kanker. Hal tersebut selain dikarenakan tingkat kelangsungan hidup yang rendah, penanganan dan pencegahan atas penyakit ini pun kurang maksimal dilakukan.
Mengutip dari laman resmi WHO, apabila hal tersebut dibiarkan, maka akan terjadi peningkatan jumlah kasus kanker hingga mencapai 81 persen di negara tersebut dalam jangka waktu dua dekade ke depan. Hal tersebut tentunya juga akan meningkatkan jumlah kasus kanker di dunia menjadi 60 persen di tahun 2040.
WHO menjelaskan bahwa peningkatan pelayanan perlu dilakukan untuk mengantisipasi lonjakan kasus ini. Di negara berpenghasilan rendah-menengah biasanya kesehatan akan lebih mengacu pada upaya memerangi penyakit menular serta meningkatkan kesehatan ibu dan anak saja. Sedangkan layanan kesehatan untuk mencegah, mendiagnosis, dan mengobati kanker masih kurang memadai.
Pada tahun 2019, lebih dari 90 persen negara berpenghasilan tinggi melaporkan bahwa layanan pengobatan komprehensif untuk kanker sudah tersedia dalam sistem kesehatan masyarakat di negara mereka. Sedangkan untuk negara berpenghasilan rendah, hanya 15 persen yang mengatakan hal serupa.
“Ini adalah seruan untuk kita semua untuk mengatasi ketidaksetaraan yang tidak dapat diterima antara layanan kanker di negara-negara kaya dan miskin,” kata Ren Minghui, Asisten Direktur Jenderal, Cakupan Kesehatan Universal atau Penyakit Menular dan Tidak Menular, WHO pada Selasa, 4 Januari 2020.
Ren mengatakan bahwa apabila setiap orang memiliki akses ke perawatan primer dan sistem rujukan, maka kanker dapat dideteksi sejak dini, diobati secara efektif dan disembuhkan. Baginya, kanker seharusnya tidak menjadi hukuman mati bagi siapa pun, di mana pun.
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan bahwa dengan adanya identifikasi ilmu pengetahuan yang tepat dalam melawan kanker untuk setiap situasi negara, maka setidaknya akan ada tujuh juta jiwa yang dapat diselamatkan selama dekade berikutnya.
Tedros juga mengatakan bahwa pentingnya peran pemangku jabatan untuk turut serta berkontribusi dalam penyelesaian masalah yang dapat memakan korban jiwa yang banyak ini.
Direktur Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC), Elisabete Weiderpass, mengatakan bahwa tantangan setiap negara ialah harus dapat mempertimbangkan besaran biaya, kelayakan, dan keefektifan dalam pemilihan jenis pengobatan kanker.
Ia menugasi setiap pemerintah untuk bisa memilih terapi kanker inovatif yang secara tepat dapat memberi manfaat bagi penyembuhan kanker tanpa menyebabkan kesulitan keuangan.
Di samping itu, Elisabete juga mengatakan bahwa kematian akibat kanker telah berkurang di sejumlah negara selama tahun 2000 hingga tahun 2015. Di negara berpenghasilan tinggi, pengurangan jumlah kematian akibat kanker dapat mencapai hingga 20 persen, sedangkan di negara penghasilan rendah hanya menunjukkan penurunan sekitar 5 persen saja.
Elisabete menjelaskan bahwa penurunan jumlah korban kanker di negara berpenghasilan tinggi tersebut terjadi akibat adanya program pencegahan, diagnosis dini, skrining, serta pengobatan yang lebih baik untuk penderita kanker. Ia berharap sistem ini juga dapat diterapkan di negara berpenghasilan rendah sehingga semua orang dapat merasakan manfaat yang sama. (Marizke)