Jadi Komoditas, Begini Asal Usul Zodiak

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Zodiak atau horoskop berkaitan dengan ilmu astrologi. Adapun pengertiannya adalah ilmu yang menghubungkan gerakan benda-benda tata surya dengan kehidupan di bumi.

Seorang ahli astrologi Kein Baurk mengatakan bahwa dengan mengamati gerakan benda tata surya, dapat memperoleh pemahaman yang lebih besar tentang siklus dan pola dalam kehidupan. Ia juga mengatakan bahwa astrologi juga bukan semata meramal.

Menurut catatan, astrologi sudah muncul dari tahun 2000 SM (Sebelum Masehi). Bagi yang percaya, ketika diterapkan dengan benar dan bijaksana, astrologi dapat menjadi alat prediksi yang efektif.

Sejak 1500 SM, orang-orang Babilon sudah membagi zodiak menjadi 12. Namun penamaannya bukan seperti sekarang.

Kala itu bangsa yunani kuno memperkenalkan zodiak yang berarti figur hewan terpahat. Seperti, The Lion, The Scales, The Great Twins.

Kemudian ketika memasuki masa Yunani kuno, 12 rasi bintang itu diterjemahkan dan diubah penamaannya menjadi seperti sekarang, yakni Capricorn, Aquarius, Pisces, Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Scorpio, dan Sagitarius.

Di tahun 2020 lalu, viral dikabarkan bahwa ada penambahan zodiak dari yang semula 12 menjadi 13. Penambahan satu zodiak dengan nama Ophiuchus yang konon dilambangkan dengan orang yang menunggangi seekor ular ternyata sudah ada sejak zaman Babilonia.

Baru kemudian penambahan zodiak itu ditegaskan oleh Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA). NASA mengungkapkan bahwa bangsa Babilonia mencurangi konstelasi tersebut untuk mencocokkan dengan perhitungan kuno yang memetakan jalur 360 derajat matahari dalam 12 bagian dengan sudut simetris 30 derajat.

Klaim dari NASA tersebut dikuatkan dengan penemuan terkait poros Bumi, Kutub Utara, dan Kutub Selatan yang sudah bergeser sejak 2500 tahun yang lalu, bertepatan saat bangsa Babilonia melakukan pembagian untuk menentukan 12 rasi bintang.

Dari 13 rasi bintang tersebut dengan mengacu pada astrologi rasi bintang, diungkapkan lebih lanjut secara bahasa oleh para peramal dengan mengaitkan berbagai macam prediksi seperti terkait kehidupan, asmara, keuangan, bahkan kesehatan secara personal.

Meski begitu, tak dapat dipungkiri bahwa masih banyak yang tidak menghiraukannya. Bagi sebagian orang, hal tersebut tidak sepatutnya dilakukan sebab percaya terhadap ramalan dianggap sebagai mendahului kehendak Tuhan.

Sebelum maraknya dunia industri astrologi atau ramalan zodiak, Nicholas Campion pernah membuat survei di Inggris, Kanada, dan Amerika Serikat sejak tahun 1975 sampai 1996. Ia membuat survei tersebut dengan tujuan mengetahui tingkat kepercayaan orang terhadap zodiak.

Kala itu, survei membuktikan bahwa hanya ada 25 persen orang dewasa yang percaya. Sedangkan yang percaya dari kalangan praktisi dan mahasiswa astrologi, terdapat 27 persen. Angka yang kecil sebab kalangan tersebut yang dekat dengan dunia astrologi.

Ketika diteliti lebih lanjut antara hubungan tingkat pengetahuan seseorang terhadap ramalan, ternyata kebanyakan hal tersebut mengacu pada dalam diri seseorang yang tengah mengalami kesulitan hidup dan kemudian mengakses ramalan. Menurut penelitian lain dari Shein, kepopuleran ramalan lebih lekat dengan kehidupan sosial budaya masyarakat.

Disisi lain, menurutt A. J. Marsden dan William Nesbitt, setiap orang memiliki alasan kuat atas sebuah kepercayaannya masing-masing. Tetapi, sebenarnya yang membuat ramalan kian laris menguasai komoditas industri ialah orang-orang selalu butuh petunjuk dari jawaban atas permasalahan hidup yang dihadapi.

Dalam artikel The Conversation terkait tulisan dari Nicholas Campion, seorang Pengajar Senior Arkeologi, Sejarah, dan Antropologi di University of Wales Trinity Saint David yang membahas tentang kepercayaan orang terhadap astrologi atau zodiak. Menurutnya, walaupun sedang berkembang pesat menguasai industri, hingga kini, urusan ramal meramal masih menjadi pro-kontra.

Reporter : Irania Zulia

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pilkada Serentak Diharapkan Jadi Pendorong Inovasi dalam Pemerintahan

Jakarta - Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 27 November 2024, diharapkan dapat mendorong inovasi serta memperkuat sinkronisasi...
- Advertisement -

Baca berita yang ini