MATA INDONESIA, JAKARTA – Kemacetan di Jakarta sudah menjadi momok, bukan hanya bagi masyarakat Ibu Kota namun juga bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Dibandingkan dengan kota-kota besar di negara maju, sistem pelayanan transportasi umum di Tanah Air masih sangat tertinggal dan cukup memprihatinkan. Di negara maju, masyarakatnya cenderung menggunakan transportasi umum dibandingkan dengan kendaraan pribadi. Akan tetapi, di Jakarta, umumnya masyarakat lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan transportasi umum.
Hal itu sejatinya bukan tanpa alasan. Berdasarkan jurnal Manajemen Bisnis Transportasi dan Logistik (JMBTL) pada tahun 2018, masyarakat cenderung tidak menggunakan transportasi umum karena berbagai alasan, seperti tidak nyaman, waktu tempuh perjalanan lebih lama, hingga kapasitas angkutan umum yang tidak dioperasikan sebagaimana mestinya sehingga keamanan tidak bisa diperoleh.
Selain itu, Jakarta juga banyak melakukan pembangunan infrastruktur untuk fasilitas jalan, yang sedianya untuk memperlancar perjalanan arus lalu lintas, namun karena pembangunan dilaksanakan dengan kondisi Jakarta yang macet sehingga menjadikan kemacetan semakin parah. Jumlah pengguna kendaraan pribadi yang cenderung terus mengalami peningkatan dan tidak didukung oleh pembangunan infrastruktur yang memadai juga mengakibatkan timbulnya kemacetan lalu lintas.
Sebenarnya, pemicu utama kemacetan adalah populasi kendaraan yang tidak terkontrol, sementara pertumbuhan ruas jalan terbatas sehingga tidak mampu menampung kendaraan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta pada tahun 2016, jumlah kendaraan bermotor di Ibu Kota tercatat lebih dari 18 juta unit. Jika ditempatkan secara berjejer di seluruh jalan raya di Jakarta, maka jalanan akan berubah menjadi area parkir. Hal itu membuktikan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta jauh lebih banyak dari ruas dan panjang jalan yang tersedia, sehingga membuat jalanan Jakarta ‘melebihi kapasitas’. Akibatnya, kemacetan parah terjadi di hampir seluruh ruas jalan.
Ofyar Z. Tamin pun menyebutkan, pada dasarnya masalah kemacetan timbul akibat tingkat pertumbuhan kebutuhan transportasi jauh lebih tinggi dibandingkan kemampuan penyediaan prasarana transportasi, terlebih adanya sejumlah prasarana yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Setidaknya ada beberapa penyebab kemacetan di Jakarta lainnya, seperti ruas jalan jauh di bawah kebutuhan normal dari total luas kota, transportasi umum yang belum sesuai dengan kebutuhan di kota besar, minimnya jembatan penyeberangan orang atau terowongan penyeberangan orang, banyaknya persimpangan jalan yang belum memiliki bangunan fly over maupun underpass, angka urbanisasi dan pertumbuhan penduduk di Jakarta yang tinggi, serta kurangnya angkutan massal seperti bus dan kereta.
Selain itu, kurangnya fasilitas pendukung jalan seperti trotoar dan kesadaran tertib berlalu lintas yang sangat rendah menyebabkan kemacetan di Jakarta tidak terkendali.
Meskipun tingkat kemacetan di Jakarta berkurang signifikan selama pandemi COVID-19, secara historis, Jakarta Open Data menyebutkan bahwa tingkat kemacetan di Jakarta tercatat cukup tinggi sebelum pandemi berlangsung. Pada Januari dan Februari 2020, tingkat kemacetan di Jakarta sebesar 55 persen dan 61 persen.
Tingkat kemacetan di Jakarta itu pun baru mulai menurun pada Maret 2020 menjadi 44 persen. Ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan pada April 2020, tingkat kemacetan di Jakarta mencapai titik terendahnya, yakni 11 persen dan mulai mengalami peningkatan kembali sejak Mei 2020. Namun, pada September 2020, tingkat kemacetan kembali turun seiring penerapan PSBB lanjutan. Pada Oktober 2020, tingkat kemacetan di Jakarta tercatat sebesar 28 persen. Sedangkan, tingkat kemacetan di Jakarta dalam dua bulan terakhir di tahun 2020 mencapai 34 persen.
Reporter: Safira Ginanisa