MATA INDONESIA, JAKARTA – Bagi orang Malaysia dan Indonesia, nama Najib Razak identik dengan pencucian uang besar-besaran melalui 1Malaysia Development Berhad (1MDB).
Salah satu yang diingat orang Indonesia adalah saat Polri menahan dan memulangkan ke Malaysia sebuah kapal pesiar super mewah Equanimity senilai Rp 3,6 triliun.
Kapal yang interiornya berlapis marmer tersebut, dibeli seorang pengusaha Malaysia keturunan Cina Low Taek Jho yang dikenal sebagai Jho Low.
Perusahaan penggalangan modal 1MDB didirikan Najib Razak berbarengan dia menjabat perdana menteri tahun 2009.
Tujuan mendirikan perusahaan itu adalah untuk menarik modal dalam rangka mengelola kekayaan Malaysia yang sarat sumber daya menggunakan investasi strategis.
1MDB fokus pada proyek-proyek pembangunan strategis di bidang energi, properti, pariwisata, dan agribisnis.
Umumnya, sovereign wealth fund seperti 1MDB didanai cadangan devisa bank sentral yang berasal dari surplus anggaran dan perdagangan, serta pendapatan dari ekspor sumber daya alam.
Namun, Malaysia tidak memiliki dana yang cukup saat mendirikan 1MDB sehingga pengelolanya menggalang dana dengan cara menjual obligasi dan melakukan usaha gabungan (joint venture) dengan pihak asing.
Bankir muda Malaysia bernama Low Taek Jho atau dikenal dengan sebutan Jho Low, sahabat karib Riza Aziz yang merupakan anak tiri Najib, ikut membantu pembentukan 1MDB.
Nah, kapal pesiar yang ditahan polisi Indonesia itu diduga merupakan hasil pencucian uang melalui 1MDB dari suap ratusan juta dolar yang dikumpulkannya saat mempengaruhi jejaring politik dia untuk memenangkan bisnis melalui 1MDB.
Uang itu dicuci melalui sistem keuangan AS, lalu digunakan membeli properti mahal di seluruh dunia, karya seni, mendanai film Hollywood termasuk Equanimity.
Jho Low bisa menguasai 1MDB karena bersahabat karib dengan Riza Aziz yang merupakan anak tiri Najib.
Kegilaan para pecinta kemewahan dari menikmati hasil 1MDB tersebut harus berakhir pada 2015 setelah perusahaan itu gagal membayar utang senilai 11 miliar dolar AS atau setara Rp 156,6 triliun kepada sejumlah bank dan pemilik obligasi.
Pada Juli 2016, Departemen Kehakiman AS mengajukan gugatan perdana yang menuduh perusahaan itu telah menjarah lebih dari 3,5 miliar dolar AS setara Rp 49,8 triliun melalui perusahaan itu.
Najib dituduh Departemen Kehakiman AS menerima 681 juta dolar AS setara Rp 9,6 triliun dari praktik pencucian uang menggunakan perusahaan negara itu.