Perlukah UU sebagai Dasar Hukum Pelanggaran PPKM?

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Penerapan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali terbukti tidak dapat menekan lonjakan kasus Covid-19 yang terus meningkat di Tanah Air. Penyebab utamanya masih banyak masyarakat melakukan mobilitas.

Selain itu, pembatasan hanya terjadi di perkantoran, pusat perbelanjaan, dan tempat hiburan. Sedangkan kerumunan tetap terjadi di sejumlah titik seperti pasar tradisional dan rumah makan. Akibatnya, pelanggaran terhadap protokol kesehatan selama PPKM terus terjadi.

Kebijakan pemerintah yang tidak konsisten menghambat tingkat efektivitas PPKM, di mana sejak dimulainya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tahun lalu, pemerintah kerap berganti kebijakan untuk membatasi aktivitas sosial dan ekonomi. Tidak konsistennya kebijakan yang berlaku terjadi antara pemerintah pusat dengan daerah. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat dan pihak yang mengawasi di lapangan menjadi ‘kebingungan’ dalam mengimplementasikan pembatasan dan memunculkan paradigma di mana masyarakat menjadi ‘terbiasa’.

Seperti yang diketahui, pada awal pandemi, masyarakat berbondong-bondong menjaga diri dari penularan Covid-19. Namun, situasi yang tidak kunjung mengalami perbaikan dan tidak adanya solusi yang inovatif dengan hasil optimal dari pemerintah membuat sebagian masyarakat mulai menganggap pandemi sebagai satu hal yang biasa. Hal itu menjadi tantangan bagi pemerintah dalam mengendalikan situasi pandemi Covid-19 yang semakin masif.

Selama PPKM berlangsung, tingkat pengawasan yang rendah di berbagai tempat yang tidak terpantau oleh pemerintah ataupun Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 menjadi akibat dari kebijakan pusat yang tidak konsisten. Rendahnya pengawasan itu juga dibarengi dengan penegakan hukum yang tidak tegas. Misalnya, sanksi 250 ribu rupiah untuk mereka yang tidak mengenakan masker, yang dianggap nominalnya terlalu kecil sehingga tidak memberi efek jera.

Sanksi yang ditetapkan pemerintah daerah mayoritas merupakan sanksi administrasi dengan sejumlah nominal uang. Bahkan, marak sanksi pelanggaran protokol kesehatan selama PPKM yang tidak sesuai aturan. Seperti contohnya, pelanggar protokol kesehatan di Surabaya yang selain dikenakan sanksi administrasi sebesar 150 ribu rupiah, dirinya juga disuruh joget-joget. Aturan yang diberlakukan dalam PPKM itu dinilai sebagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Pakar Hukum lulusan Universitas Narotama Surabaya, Sunarno Edy Prabowo menyebut bahwa sanksi berupa joget-joget sama dengan menistakan seseorang untuk berbuat tidak sepatutnya. Hukuman joget tidak memiliki dasar hukum yang mengatur sehingga pemerintah terkesan seenaknya memberikan sanksi bagi pelanggar. Di samping itu, denda yang diberlakukan selama PPKM adalah bentuk gratifikasi yang masih tidak jelas dikemanakan uangnya. Padahal, sesuatu yang berhubungan dengan denda itu seharusnya masuk pada kas negara.

Menurut Sunarno, daripada menerapkan aturan tersebut, pemerintah bisa menggunakan dasar hukum yang sudah ada untuk mendisiplinkan masyarakat dalam pencegahan penyebaran Covid-19. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan dapat dijadikan sebagai acuan atau digunakan untuk menyusun Peraturan Daerah (Perda) terlebih dahulu sebagai pijakan hukum. PPKM sendiri sejatinya merupakan kebijakan pemerintah pusat yang tidak tersurat dalam undang-undang tersebut.

Berkaitan dengan sanksi pelanggar PPKM, sebelumnya Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Doni Monardo telah mengatakan bahwa sanksi bagi pelanggar diatur oleh pemerintah daerah masing-masing. Selain itu, sanksi bagi pelanggar PPKM juga bisa mengikuti UU Kekarantinaan Kesehatan yang mengatur soal hukuman pidana dan denda.

Lebih lanjut, kebijakan PPKM kembali pada kondisi dan kebutuhan peraturan di tiap-tiap daerah. Hal tersebut perlu dibahas atau dikaji secara cepat dan mendalam oleh masing-masing pemerintah daerah terlebih dahulu.

Jika diperlukan, sebagaimana tertuang pada Instruksi Mendagri, Kepala Daerah dapat membuat Peraturan Kepala Daerah yang mengatur secara spesifik tentang pembatasan dan sanksi pelanggaran yang diterapkan. Namun, sejatinya dalam memberikan sanksi bagi pelanggar PPKM, pemerintah daerah harus menjadi satu kesatuan penyelenggaraan pemerintahan dengan pusat.

PPKM memang tidak seperti PSBB yang sudah diatur secara jelas pada Peraturan Pemerintah yang merupakan turunan dari UU Kekarantinaan Kesehatan. Selain Instruksi Mendagri, PPKM tidak memiliki undang-undang yang utuh mengatur sanksi pelanggaran pembatasan tersebut.

Jika mengacu pada UU Kekarantinaan Kesehatan, maka sanksi yang didapat oleh pelanggar PPKM termasuk pidana kurungan 1 tahun hingga denda maksimal 100 juta rupiah. Namun, hingga kini, PPKM secara masif masih diatur oleh pemerintah daerah dan belum menerapkan UU tersebut.

Menurut Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan itu ada dua asumsi. Asumsi pertama, harus ada pilihan putusan dari pemerintah yang menyatakan bahwa Indonesia menerapkan karantina wilayah, bukan pembatasan yang diberlakukan seperti saat ini. Sementara yang kedua, tindakan yang dapat dipidanakan adalah keluar masuk wilayah karantina tanpa izin dan tidak mematuhi atau menghalangi karantina dan menyebabkan kedaruratan.

Reporter: Safira Ginanisa

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Di Era Pemerintahan Presiden Prabowo, Korban Judol Diberikan Perawatan Intensif di RSCM

Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Pemberdayaan Masyarakat mengumumankan adanya inisiatif baru dalam upaya menangani dampak sosial dan psikologis...
- Advertisement -

Baca berita yang ini