MATA INDONESIA, JAKARTA – Banyak pendapat mengartikan Ababil sebagai spesies beterbangan, yakni burung atau serangga. Sedangkan, bila menurut bahasa Arab dan tafsiran, ababil juga bisa dikatakan sebagai virus yang menularkan penyakit.
Sekitar 50 hari sebelum Nabi Muhammad SAW lahir ke dunia, tanah kelahirannya, Mekah, diserang oleh pasukan gajah milik Abrahah. Penyerangan itu terjadi dikarenakan Abrahah yang merasa tertandingi oleh Ka’bah yang telah menarik perhatian seluruh warga Arab.
Abrahah yang berangkat dari Yaman menuju Mekah membawa ribuan prajurit dan pasukan gajah, sudah siap dengan rencana utama menghancurkan Ka’bah. Namun, saat penyerangan terjadi dapat digagalkan oleh kuasa Allah yang mengirim bala bantuan melindungi Ka’bah.
Allah SWT mengirimkan burung Ababil dengan jumlah yang banyak dari segala penjuru yang membawa batu panas untuk menyerang Abrahah dan pasukan bergajah dari angkasa. Seketika, Abrahah dan pasukannya binasa setelah terkena jatuhan batu tersebut.
Perlu diketahui, ada tiga kata penting tentang penyerangan pasukan bergajah Abrahah yang tertuang dalam surat al-Fiil. Kata-kata tersebut, ialah “thairan ababil”, “tarmihim bihijaratin”, dan “sijjil”.
Thairan ababil, thairan merupakan jamak dari kata tha’ir yang berarti spesies yang beterbangan, dalam hal ini diartikan sebagai burung. Dalam bahasa Arab, kata tha’ir merupakan bentuk kata kerja dari tara-yatiru yang berarti terbang. Sedangkan, ababil bila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, yakni yang berbondong-bondong.
Banyak pendapat mengatakan, spesies yang beterbangan ini selain diartikan sebagai burung dan serangga bisa juga diartikan sebagai virus yang menularkan penyakit. Bila itu benar, lantas, penyakit menular apa yang menyebabkan kematian pasukan Abrahah dalam waktu yang singkat?
Muhammad Asad dalam tafsirannya yang terkenal berjudul, The Message of Qur’an, mengatakan dalam perjalanan Abrahah dan pasukannya ke Mekah, mereka sudah didapati penyakit menular, yakni cacar atau tipes.
Penjelasan oleh Asad mengenai penyakit menular juga didukung oleh narasi sejarah yang dikemukakan oleh Ibnu Ishak dalam as-Sirah an-Nabawiyyah yang menyebutkan “Bahwa awal menyebarnya wabah penyakit berupa demam dan cacar di tanah Arab terjadi pada tahun itu”.
Maksud dari “pada tahun itu” menunjukan kejadian pasukan gajah dalam upaya menghancurkan Ka’bah yang terjadi pada tahun 570 M. Kemudian, Asad tidak setuju bila burung ababil lah yang menghancurkan pasukan Abrahah dengan batu-batu panas.
Saat mengutip narasi sejarah milik Ibnu Ishak, Asad menemukan ada kata “hasbah” yang menurut beberapa ahli bisa bermakna penyakit tipes yang bila diekspresikan dengan frasa lain berarti “melempar batu”. Namun, bila dalam bahasa Arab, penyakit tipes diungkapkan dengan kata “tarmi hijratan”.
Secara harfiah, kata “tarmi hijratan” berarti “melempar batu”. Sedangkan pada bahasa Arab klasik berarti idiom. Idiom adalah frasa yang artinya tidak bisa dilihat dari masing-masing satuan lingualnya.
Oleh karena itu, Asad menyimpulkan bahwa “tarmi hijratan” bukanlah berarti “melempar batu” sungguhan melainkan ungkapan kiasan yang bermakna “terkena penyakit tipes”.
Sedangkan, “sijjil” dalam bahasa Arab berarti “catatan”. Sementara, menurut Asad kata “sijjil” yang dimaksud merupakan kata metaforis yang menunjukkan “sesuatu yang sudah ditakdirkan sebelumnya”.
Padahal, arti kata “sijjil” yang benar ialah “tanah berbatu”. Ia mengabaikan makna tersebut dan lebih memilih makna sijjil yang merupakan metafora untuk tempat yang tidak nyaman, penuh kesengsaraan, dan penuh berbagai penyakit.
Bila disatukan, kata-kata penting tersebut berarti “spesies yang beterbangan mengambil virus untuk disebarkan dan menularkan penyakit”. Dalam al-Qur’an terdapat dua ayat yang menampilkan arti sijjil sebenarnya, yaitu surat Hud ayat 82 dan surat al-Hijr ayat 74.
Masing-masing surat menjelaskan sijjil sebagai sumber siksaan, sumber kesengsaraan, dan sumber ketidaknyamanan yang tak lain ialah neraka.
Reporter : Rama Kresna Pryawan