Oleh Hikmahanto Juwana*
Ide Presiden mengundang rektor asing asal luar negeri untuk mendorong perolehan ranking perguruan tinggi tingkat dunia bisa jadi mubazir bila tidak mempertimbangkan tiga hal berikut.
Pertama, sejatinya yang penting perguruan tinggi kita masuk dalam ranking; atau ranking baik sebagai konsekuensi dari sebuah proses? Kalau yang dipentingkan ranking maka akan dicari berbagai jalan pintas.
Mengelola perguruan tinggi negeri (PTN) sama seperti menanam tanaman keras. Berbuahnya lama.
Mendatangkan rektor dari luar negeri tidak mungkin dalam sekejap mengubah mindset dosen yang merasa tugasnya hanya mengajar dan meneliti agar hasil penelitiannya masuk jurnal internasional bereputasi.
Perubahan seperti itu harus menunggu estafet kepemimpinan dari para dosen senior kepada dosen junior. Ini membutuhkan waktu.
Belum lagi untuk membangun infrastruktur, terutama perpusatakaan dan laboratorium yang membutuhkan anggaran besar. Padahal anggaran untuk mengembangkan perguruan tinggi tidak mungkin disediakan oleh negara semata.
Hal kedua, bila melihat universitas yang masuk dalam ranking 10 dunia karena universitas tersebut menawarkan program studi untuk mahasiswa asal mancanegara. Nah, kalau universitas di Indonesia masih berkutat dengan mahasiswa asal Indonesia sulit masuk ranking itu.
Belum lagi universitas di Indonesia belum mampu menawarkan remunerasi yang sangat memadai bagi para pengajar mancanegara untuk mau datang membenahi perguruan tinggi kita.
Kalaupun ada, para pengajar mancanegara yang saat ini bekerja di universitas-universitas Indonesia bukanlah pengajar kelas satu.
Untuk mendatangkan para pengajar tingkat dunia, remunerasinya juga harus sangat dan infrastruktur kampus harus memadai agar mereka bisa terus meneliti.
Siapapun rektor baik yang berasal dari dalam atau luar negeri tidak mungkin bisa melakukan itu semua bila infrastruktur di kampus tidak memadai.
Ketiga, apabila kebutuhan saat ini adalah rektor yang punya jejaring luas ke dalam maupun luar negeri ada baiknya mencari rektor dari dalam negeri yang mempunyai tiga kriteria utama.
Ketiganya adalah memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Kedua sudah memiliki nama besar di tingkat nasional maupun internasional. Terakhir menguasai bahasa Inggris yang sangat lancar layaknya penutur asli.
Figur seperti itu ada banyak di Indonesia. Namun mereka biasanya enggan berpolitik untuk meraih jabatan rektor.
Hal tersebut yang menjadi penghambat perguruan tinggi Indonesia masuk ranking 10 besar dunia mengingat politik, baik yang berasal dari dalam maupun luar kampus sangat kental untuk mendapatkan jabatan rektor.
Jika orang-orang seperti itu diberi kepercayaan, mereka akan mampu melakukan banyak hal untuk perguruan PTN.
Justru yang tidak seharusnya dipilih adalah mereka yang berupaya mendapatkan jabatan rektor di PTN agar bisa meraih jabatan publik yang lebih tinggi di Republik ini. Kadang mereka-mereka inilah yang sangat lihai bermain politik.
*Hikmahanto Juawana, Guru Besar Universitas Indonesia bidang Hukum Internasional