Home Asumsi Makna Merdeka di Saat Pandemi Seperti Sekarang

Makna Merdeka di Saat Pandemi Seperti Sekarang

1
4298
Covid-19

MATA INDONESIA, – Kita begitu babak belur dihajar pandemi pada awal kuartal kedua tahun 2020. Dikagetkan dengan kemunculan wabah Corona yang akhirnya melumpuhkan sektor-sektor kehidupan. Membuat semua orang harus beradaptasi secepat kilat dan memulihkan diri dari keterkejutan.

Pandemi memang mengubah kehidupan kita secara drastis. Perkantoran mulai menerapkan kebijakan bekerja dari rumah. Aktivitas belajar mengajar di sekolah dihentikan sementara untuk dialihkan dalam kelas daring. Siswa menyimak pembelajaran dari layar gawai mereka. Aktivitas ibadah dijalani secara personal dan dilakukan di ruang-ruang privat. Rumah menjadi pusat kegiatan selama wabah belum teratasi.

Kita lantas dihantui kecemasan berlebih karena ruang gerak dibatasi. Hanya berkutat di rumah atau keluar sesekali untuk urusan yang penting. Kondisi ini lantas memunculkan kecemasan. Sesuatu yang wajar terjadi ketika kita dihadapkan pada ketidakpastian, seperti pandemi saat ini.

Ketidakpastian yang menghantui contohnya adalah kita terus memikirkan nasib diri dan orang-orang sekitar. Apakah diri ini akan aman dari serangan virus yang datangnya tanpa permisi? Apakah esok kita masih tetap dipekerjakan? Setelah kita mendengar kabar bertubi-tubi tentang banyak orang tiba-tiba terkena PHK. Banyak perusahaan dan pelaku usaha terseok-seok menghidupi karyawannya dan berujung gulung tikar.

Pertanyaan lainnya adalah, apakah kita masih tetap punya kesempatan bersua dengan orang-orang terkasih? Apakah pertemuan yang tertunda, nantinya bisa dilaksanakan? Apakah semua yang kita rencanakan bakal terwujud? Mengingat banyak rencana yang harus dijadwalkan ulang atau bahkan ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan.

Semua pertanyaan itu terus berkelindan di pikiran. Membuat kita semakin pesimistis dan dihinggapi kecemasan yang berkecamuk. Berjuang sebisanya menjadi jawaban yang saat ini bisa diupayakan. Sebab tak ada yang tahu, kapan pandemi ini berakhir?

Yang kita tahu sekarang, pandemi ini nyata dan menyeramkan. Telah banyak korban berjatuhan, entah dari masyarakat sipil, tenaga kesehatan, ataupun pejabat publik. Ini menggambarkan bahwa virus Covid-19 ini tidak pandang bulu. Ia tidak memilih target sasarannya. Ia memaksa kita meningkatkan kewaspadaan dan semakin menjaga kesehatan. Ia juga menyadarkan kita untuk lebih memerhatikan kondisi orang-orang sekeliling.

Karena di rumah saja benar-benar memicu munculnya sindrom cabin fever. Dan itu juga berpotensi dialami orang-orang terdekat dan diri sendiri. Menjadi rentan stress, mudah marah, fungsi konsentrasi menurun, dan dihinggapi perasaan negatif lainnya. Padahal kondisi mental yang baik adalah mula dari kesehatan fisik yang bugar.

Dengan dukungan dari orang terkasih, harapannya kondisi cabin fever teratasi. Sebagai individu akan semakin merasa kehadirannya ada di mata orang lain. Supaya kita tidak sendirian menghadapi pandemi yang begitu melelahkan ini. Pandemi yang menguras energi dan menyita kewarasan kita.

Mendefinisikan Ulang Merdeka

Kemudian, apakah kita perlu mendefinisikan ulang makna merdeka ketika pandemi seperti sekarang? Jika merdeka diartikan sebagai kebebasan, berarti saat ini kita tengah terpenjara. Terkungkung dalam ruang gerak yang sempit dan tidak memiliki keleluasaan. Untuk melakukan hal-hal yang kita senangi sekalipun, rasanya sulit sekali saat pandemi ini.

Pandemi memang mengorbankan banyak hal dari hidup kita, termasuk kemerdekaan diri. Seperti harus lebih menahan diri untuk melakukan transaksi pembelian. Lebih mengerem untuk belanja barang yang tidak dibutuhkan, agar uangnya bisa dialokasikan sebagai tabungan atau dana darurat. Penyebabnya lagi-lagi adalah, kita tak pernah tahu sampai kapan pandemi ini berlangsung. Jadi semestinya, kita bersiap atas kemungkinan terburuk dengan merencanakan segalanya secara matang. Termasuk, siaga secara finansial.

Namun kesempatan ini tidak bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat. Masih ada mereka yang harus banting tulang lebih keras untuk sekadar memastikan hari ini bisa makan dan minum cukup. Mereka adalah para pekerja harian yang tidak menggantungkan hidup mereka dari gaji bulanan.

Dari sinilah kita akhirnya memahami bahwa merdeka di kala pandemi adalah saat kita masih diberikan kesempatan bernapas tanpa menyandang status sebagai pasien Covid-19. Merdeka adalah saat kita dikelilingi orang-orang terkasih yang masih sehat selama pandemi. Orang-orang yang saling dan selalu mendukung serta menguatkan di kondisi sulit sekalipun. Merdeka di saat pandemi juga bisa dimaknai tentang bagaimana hidup kita bisa berjalan tenang karena tidak ada kesulitan berarti saat harus beli kuota internet untuk kerja dari rumah. Masih punya cadangan dana dan tetap punya penghasilan tetap yang tidak berkurang sedikit pun. Jika semua itu melekat di diri kita, menandakan kita tidak sedang dicengkeram kecemasan. Sedikit lega dan merdeka menghadapi pandemi.

Lantas siapa yang bisa menjamin bahwa kemerdekaan seperti itu bisa dinikmati utuh oleh semua rakyat kala pandemi? Masih terdengar berita masyarakat kesulitan mengakses sinyal untuk belajar daring. Masing tersiar kabar bahwa banyak siswa yang tidak memiliki gawai untuk mendukung belajar daring. Banyak yang akhirnya memulai usaha baru demi menggerakkan roda ekonomi keluarga, setelah bisnis lamanya tumbang atau kehilangan mata pencaharian.

Kita yang sudah merdeka, sudah sewajarnya turut membantu mengentaskan warga lain yang masih terpuruk akibat pandemi. Kita yang mampu memandang pandemi sebagai waktu luang baru untuk menambah kemampuan atau hobi anyar, ada baiknya menularkan semangat positif kepada lainnya. Karena tidak semua orang bisa mengalihkan dan menepis energi negatif menjadi sebuah aktivitas yang bermanfaat. Namun tetap dengan mematuhi protokol kesehatan.

Lantas apakah kita sudah menemukan arti merdeka versi masing-masing saat pandemi sekarang? Merdeka versi saya dan versi kamu, bisa jadi berbeda. Karena kita menjalani dan menanggung hidup yang berbeda. Merdeka juga perlu diupayakan dan membutuhkan stimulus dari yang lain.

Penulis: Shela Kusumaningtyas
Twitter: @celcolcil

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here