MATA INDONESIA, – Tengah merestrukturisasi isi eksternal hardisk, tetiba terclick artikel ini; naskah yang pernah disusun delapan tahun yang lalu. Karena saya tidak tahu apakah artikel ini sudah terpablis atau belum, googling adalah solusi terbaik.
Ups, ternyata google tidak menemukannya. Mungkin karena delapan tahun bukan waktu yang singkat sehingga tak lagi tersimpan di memori salah satu media mana pun atau justru memang benar belum terpublish. Dalam etika ilmiah, seturut konsensus, kurun waktu maksimal memvalidasi data referensi adalah lima tahun. Di atas itu, adalah bukan data yang layak direfer. Saya tak tahu korelasinya. Tapi menurut teman, di atas lima tahun dianggap sudah tidak ada lagi. Baik kalo gitu.
Kemudian saat menelisik isinya, saya terpana. Kilatan peristiwa nyata yang melatarbelakangi naskah ini pun kembali bermunculan; dan buat saya sungguh menggelemetarkan. Apatah lagi kemenangan demi kemenangan wabil khusus dunia olahraga Indonesia (baca: kemenangan di olimpiade) yang salah satunya telah mengeuforia di tengah penderitaan gegara pandemi corona. Maka, dengan niat membagikan pesan dari artikel ini, saya mendaur ulang lalu mengirimkannya ke media MINews dengan harapan bisa menjadi bahan renungan bahwa sesungguhnya kita adalah bangsa besar dengan keberagaman yang memikat.
Piala AFF U 19 tahun 2013 baru lewat beberapa waktu lalu (final Piala AFF U 19 tanggal 20 September 2013 di Sidoarjo Jawa Timur-pen). Namun geletarnya, terus menggelora di sebagian besar rakyat Indonesia. Maklum, 22 tahun bukan waktu yang singkat untuk bisa menepuk dada sebagai yang terbaik di cabang olahraga terpopuler sejagat. Bagi saya, euforia yang masih menggayut di memori bukan hanya output sebagai pemenang beserta proses perjuangannya, bukan pula aspek emosional perjuangan para pemuda yang tertonton di layar kaca yang benar-benar BENAR memicu adrenalin dan sering dijadikan epos kepahlawanan kaum muda dalam jargon keberbangsaan suatu negara, dan juga bukan tentang taktikal yang sejujurnya tidak sepandai sobat saya Harry B Koriun dalam mengulas pertandingan.
So? Entah, hingga tulisan ini jadi, saya masih belum menemukan kata, kalimat bahkan istilah yang bisa mengekspresikan bahwa kemenangan Timnas Indonesia tersebut sangat multidimensional baik sebagai tontonan televisi, tontonan olahraga, ekspresi nasionalisme keberbangsaan, kondisi faktual dari kolaborasi realitas ideologis dan sosiologis, dan banyak lagi sebagaimana perspektif masing-masing penikmat.
Dari dulu saya meyakini bahwa olahraga mampu menyatukan rakyat Indonesia sebagai satu kesatuan yang saling mengintegrasikan eksistensi dirinya secara fungsional. Namun, sayangnya, (selalu) kebebalan para pemimpin negeri tidak melihatnya sebagai modal sosial membangun negara. Yang terjadi justru saling unjuk diri sebagai pihak yang berperan menjadikan Indonesia pemenang. Lebih konyol lagi dijadiin modal nyaleg, huh!
Namun di sisi lain, disadari juga bahwa olahraga ternyata telah men-separasi struktur masyarakat ke dalam dikotomi miskin kaya, borju-proletar, peduli-masa bodoh, pamrih-tulus, dan idiom-idom binari lainnya. Gak percaya? Saat para manusia terpinggirkan bertarung demi nama baik bangsa dalam kejuaraan bertajuk Homeless World Cup Agustus 2013 di Polandia, tak ada euforia sefenomenal AFF U 19. Meski cuma sampe semifinal, namun lawannya gak main-main. Italia, Rusia bahkan tuan rumah Polandia digasak. Timnas yang berisi pemain tidak berumah (tuna wisma, anak jalanan, dan penyandang masalah sosial lainnya), hanya kalah lewat adu penalti versus Rumania.
Kemudian, Annisa Nur Permata, remaja putri 15 tahun yang menyumbangkan dua perak dalam Kejuaraan Dunia Junior Angkat Besi 2013 di Qatar. Tak ada “sambutan apa-apa” padahal angkat besi dan angkat berat konon olahraga yang selalu punya prestasi dan selalu menjadi tumpuan mendulang emas di berbagai event. Gak percaya? Eko Yuli Irawan, Windy Cantika Aisah, dan Nurul Akmal baru saja memekikkan Indonesia ke se antero dunia. Kebelakang lagi, Raema Lusi Rumbewas, sang maestro asal Papua peraih dua perak di dua olimpiade; Sydney 2000 serta Athena 2004 dan sayang hanya ranking ke-4 Olimpiade Beijing. Sudahlah, jangan selalu negative thinking gitu, nikmati aja kemenangan kali ini. Jika ada kemenangan-kemenangan lain kita juga disikapi kok. Hehehe, iya maaf!
Olahraga emang mampu menyatukan Indonesia dalam kebhinekaan yang teraktualisasi di basis akar rumput; rerumputan yang justru sering dijadikan media devide et impera, dijadikan pasukan pembunuh, pendemo, perusak, hingga pembelas kasihan yang berkonotasi negatif. Lewat olahraga yang tertonton di televisi, para akar rumput bertemu, berdialog, dan saling menepuk bahu teriring doa untuk tujuan bersama tanpa harus tahu rumput jepang kah, rumput gajah kah, rumput teki kah, rumput tetangga kah, kah kah kah. Bagi mereka, juga saya, cuma ada satu rumput dengan akar yang sama; Indonesia.
Pengalaman nasionalisme praktis dari final AFF U 19 saya alami saat nonton pertandingan itu bareng-bareng orang se Indonesia, mini; maksudnya nonton dikelilingi oleh lima suku bangsa besar; Jawa, Sunda, Batak, Palembang, Minangkabau, dan satu etnis Cina dengan stratifikasi SES-nya C min serupa saya (Social Economic Stratification).
Perjalanan dimulai dari Lorong Ibrahim di Kota Jambi, night journey menuju Kecamatan Merlung berjarak 120 KM. Megapro merah 160 cc, tas ransel, jaket tebal berpenutup dada, masker, dan sarung tangan kulit ditambah earphone yang memuntahkan lagu-lagu barat jadul bercampur Indonesia jadul era 80-90an. Unik. Begitu Cliff Richard selesai dengan Visions-nya, giliran Eddy Silitonga dengan langgam melayu Bunga Tanjung. Saat Hollies menyelesaikan Too Young to be Married gantian Bornok Hutahuruk dengan Matahari album abadi Badai Pasti Berlalu. Nano nano tapi bikin otak tetap terjaga melewati malam di atas motor. Betapa tidak, selesai Sting dengan Field of Gods mengalun, vokal serak Hari Mukti via Ada Kamu yang gantiin, lalu dentuman bass Highway Star dan Smoke on The Water Deep Purple ganti memekak telinga. Selesai itu, ganti Steven ‘n Coconut Treez lantunkan Serenada yang bergaya Reggea, dan tetiba menyeruak pulak Tanjung Katung aseli Jambe ganti mengisi kuping. Mantaps.
Jalan Lintas Timur Sumatera arah Riau tidak terlalu padat. Cuaca cerah. Magrib di Pom Bensin KM 55. Sayang gak ada rumah makan yang representatif. Kupacu lagi mega pro dan 19.30 WIB lebih-kurang, tiba di KM 73 Dusun Mudo. Ada Rumah Makan Padang yang sering kusinggahi. Saatnya isi perut dan nonton final AFF U 19!
Rumah Makan Padang itu ada di sebelah kanan setelah Pom Bensin dari arah Jambi. Tempat singgah para raja-raja jalanan bertonase besar mulai dari armada tangki Crude Palm Oil (CPO), kayu gelondongan pemasok HTI, sembako antarkota/kabupaten, antarprovinsi, Tandan Buah Sawit (TBS), kanvanser, hingga armada batubara. Sudah kebayang bagaimana kerasnya hidup yang mereka harus jalankan. Tak heran, saat pertama masuk terpampang wajah-wajah keras, kaku, dan kasar yang tengah asyik dengan kopi dan rokok masing-masing.
Pekerja kerah biru dengan cambang, kumis, kulit hitam keriting lurus, tubuh tegap sedikit berotot atau gendut bercelana tanggung dengan kaos setengah diangkat tampilkan udel dan perut buncitnya. Di sudut, juga ada wajah putih rambut lurus bertampang Cina peranakan tengah asyik dengan buntelan kertas dan kalkulator. Kanvanser; pendistribusi sembako dan barang-barang kelontong yang langsung ke toko-toko pengecer menggunakan truk atau pick up dengan bak besi. Celotehan dan teriakan memerintah atau meminta sesekali keras terdengar.
Anggukan kepala cuma dibalas anggukan kecil bahkan ada yang perlu menyedot rokoknya baru membalas mengangguk. Ada juga yang acuh tetap menikmati entah apa. Perlahan nasi berteman ikan laut goreng plus sayur nangka kusuap. Tandas. Saat menyeruput kopi, televisi 32 inchi mulai menayangkan gambar stadion Gelora Sidoarjo dengan 11 vs 11 anak-anak muda plus satu bola. Satu persatu, para raja jalanan pindah duduk ke lantai beralas tikar menatap tajam layar 32 inchi. Tak ada suara. Hanya gumaman tak jelas apa kepada siapa.
Bola pun ditendang dan bergulir. Pemain berlari, pemain berjlana berupaya merebut. Bola melayang ke kiri kenan. Terus berproses ditingkahi yel-yel dan sorak sorai penonton di stadion. Adrenalin mulai terpacu. “Aih sayang nian..”, satu penonton televisi mulai bersuara. “Wah nomor 20 Vietnam kuasar banget!”, kata yang lain. “Huuh, kasih ke kanti tu…nak makan dewek be”, menyahut yang duduk di pojok kiri. “Liyer ih, diserang mulu…”, desah yang di kananku.
Jatuh bangun. Aliran bola kaki ke kaki. Sepakan keras, pelan hingga lemparan dalam. Pluit wasit. Teriakan kesakitan, kekesalan, dsb dsb dsb yang tertayang di layar kaca mulai ditingkahi oleh penonton layar 32 inchi di warung makan pinggir jalan. Satu nyeletuk, satu menimpali, lainnya mengiyakan. Sesekali kompak menghela kecewa. Perlahan tapi pasti tercipta obrolan asyik yang saling melengkapi, tertawa bersama saat ada yang nyeletuk lucu. Saat jeda, obrolan menjadi dialog seru yang tidak lagi ke pertandingan tapi juga sepak bola Indonesia. Mirip lah ama gelarannya Karni Ilyas. Bedanya, dialog ala Karni Ilyas saling adu hujat-argumen, dialog mereka menghujat ke satu pihak; PSSI yang entah kenapa tak juga memberi kebahagiaan sampe sebelum AFF 2013 ini tentunya.
“Sebelum tampil di AFF U 19 ini, tim binaan Indra Syafri sudah punya rekor bagus di Piala Asia U 17 ngalahin Malaysia 6-3, yang spektakuler ngalahin Pakistan 25-0, dapat tropi Tim Fair Play dan Top Scorer termasuk juara di Hongkong” (bahasa Indonesia baku-pen).
“Yo nian kalo jingok yang mudo-mudo banyak yang bagus tapi lah besaknyo dak do pacak lagi, ntah kemano lah..”
“Yo gitu, nganu, mesti tegas…”
“Cam mana pula mo bagus, hepeng terus pikirannya…”
“Urang awak tu Indra Syafri…”
“PERSIB sarua keneh bang…”
Babak kedua dimulai. Celetukan, helaan, gumaman, desahan, sampe teriak kekecewaan kembali terdengar, mengaung-ngaung di antara kami, berkelindan dengan asap rokok dan bunyi seruput kopi. Di luar, derum mesin sesekali lewat.
Babak II, perpanjangan waktu pertama lalu kedua. Selesai dan adu penalti!
“Wah wis jan, nek adu penalti ki, dari dulu Indonesia gak tau menang …”
“Macam kutukan gitu, kayak tim inggris”
“Ntah lah yuang, anok se lah…”
“Tengok di … (nama stasiun) waktu U16 kalah adu penalti sesak nian dada ku, soalnyo Malaysia lawannyo. Waktu ko (maksudnya U19) main lawan Malaysia, pecah sikok gelas ayuk ni kuremas karena geramnyo”
“Ah maksud abang kesenggol jatuh, manalah telap tangan cak tandan sawit tu hahaha….”
“Hahaha…”
Tiba-tiba,
“Gusti pangeran…”
“Ya Allah sekali ini be, menang lah…”
“Tuhan Yesus bersama kita, ayolah masuk…”
“Amin…”
Goooolll…!!!!
“Menang kito yo? Aku dak galak nonton soalnyo (tak suka nonton). Tapi syukurlah, lah lamo dak ado juaro. Ado sebungkus nih”, si ngkoh kanvanser selesai dengan buntelan kertas dan kalkulator lalu melempar sebungkus rokok.
Malam melarut dan satu persatu ‘penonton’ meninggalkan warung. Meski saling melambai dan berpamit, tak saling tahu siapa nama, darimana, dan bagaimana ada di warung makan. Kami semua lebur dalam satu semangat kemenangan untuk Indonesia bukan per suku, bukan per Tuhan yang dipercaya, bukan pula per unit mobil. Bahkan doa yang terlantun pun untuk Indonesia. Olahraga, memang mampu menyatukan Indonesia di basis akar rumput yang sering hidup tanpa pamrih berdampingan. Kondisi dimana realitas ideologis dan realitas sosiologis menemukan wadahnya untuk menikah!
Era kiwari, sederet atlet nasional sudah unjuk diri di gelaran Olimpiade Tokyo 2021 lalu. Gresya/Apriyani, Eko Yuli Irawan, Windy Cantika Aisah, dan Nurul Akmal mampu meraih medali tanpa menafikan atlet lain yang BELUM menemukan momentumnya. Kebanggaan berbangsa dan bernegara dalam bingkai kebhinekaan merah putih mampu meredam derita karena pandemi yang belum juga berkesudahan. Tak ada sekat yang bisa memutilasi Garuda menjadi serpihan meski tetap aja ada penggiat politik pemanfaat momen yang berunjuk dada tanpa perlu menutup muka! Biarkan saja karena menjadi pesohor itu hak semua warga.
Jangan sia-siakan momentum ini. Mari terus rekatkan barisan, ringankan tangan, positifkan pikiran lalu sentuh nurani-kepedulian kemudian lantangkan ucapan bahwa kalian tak sendiri dalam menjalani kepedihan ini, saudaraku. Usaikan sudah caci maki karena politik ataupun ideologi karena itu sungguh hanya menguras tenaga tak perlu.
Bapak ibu, sapa lah kiri kanan, ketuk pintu dan tanyakan apakah cukup tersedia makanan untuk hari ini dan esok? Belanjalah serupa kebutuhan semula, dan jika mampu lebihkan nilai belanjanya di tempat yang tepat. Situasi saat ini adalah ladang amal kebajikan yang Insha Allah penuh keberkahan. Kalian para kawula muda milenial, terus berikhtiar menempa diri. Kibarkan terus kreasimu sambil tetap sebarkan kepedulian karena dengan penguasaan teknologi era milenial, kalian mampu menentukan arah peradaban Indonesia agar menjadi lebih baik tentunya. Mari kita sama-sama jalani, berikhtiar, dan tersenyumlah untuk Indonesia Tangguh!
Malam melarut. Kulanjutkan night journey yang masih 1,5 jam lagi. Indonesia Merah Darahku, Putih Tulangku… Kebyar-kebyar lantunan Gombloh via earphone.
Merlung, Jambi 25 September 2013 didaurulang 20 Agustus 2021 untuk MINews
Penulis: Imam Suyudi
Facebook: @Imam Suyudi
Instagram: @imamsd4
Sangat memberi inspirasi untuk NKRI
penerawangan keIndonesiaaan yaang war biasa… maju terus NKRI..
tulisan bagus dan mencoba untuk memaparkan deskripsi total tanpa pretensi reklame yang ditonjolkan, seperti
adanya tulisan megra Pro, Karni Ilyas
Pengalaman yg keren, di tulis lagi dg gaya tulisan yg kekinian….. Mantap