MATAINDONESIA – Uni Eropa (UE) telah menjadi acuan bagi bentuk regionalisme di berbagai  belahan bumi lainnya. UE menjadi contoh bagi regionalisme karena tidak ada bentuk integrasi di belahan dunia lain yang hampir menyamai tingkat integrasi UE.
Theodore H. Cohn menjelaskan bahwa ada lima tingkat dalam perkembangan sebuah integrasi kawasan. Dimulai pada tingkat Free Trade Area, Customs Union, Common Market, Economic Union, dan Political Union.
Dalam integrasi modern, Uni Eropa berada dalam tingkat keempat yaitu Economic Union, karena Uni Eropa membentuk satu mata uang tunggal bagi anggota-anggotanya. Kesuksesan UE dalam menciptakan mata uang Euro sangat mempengaruhi regionalisme kawasan lain. Dalam studi regionalisme, fenomena kerja sama regionalisme yang ditunjukkan oleh Uni Eropa disebut sebagai fenomena spill over. Uni Eropa juga menetapkan aturan mengenai pekerja di antara negara-negara anggotanya sehingga fenomena imigrasi terjadi di negara-negara Uni Eropa yang telah kuat secara ekonomi seperti Inggris. Namun pada tanggal 23 Juni 2016, Inggris keluar dari Uni Eropa berdasarkan referendum rakyat Inggris.
Hasil referendum tersebut menyatakan bahwa 51,9 persen rakyat Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa, karena selama ini mereka menganggap keanggotaan Inggris dalam Uni Eropa lebih banyak membebani Inggris daripada manfaatnya. Referendum dilakukan di 382 distrik di wilayah England, Wales, dan Scotland serta di wilayah Northern Ireland dan Gibraltar. Hasil referendum menunjukkan bahwa tiga wilayah Inggris yakni Scotland, Northern Ireland dan London memutuskan untuk tetap bergabung dengan Uni Eropa sementara wilayah Inggris lainnya memutuskan untuk keluar Uni Eropa.
Setelah pengumuman hasil referendum Brexit, pasar keuangan global terguncang ditandai dengan penurunan indeks saham gabungan di hampir seluruh negara pada 24 Juni 2016.
Pada 27 Januari 2016, beberapa indeks saham mulai pulih karena pasar mulai menunjukkan rasionalitasnya dimana penguatan indeks terjadi di SET Thailand, PSE Filipina, Shanghai China, Bombay India, JSX Indonesia, ASX Australia, dan HCMC Vietnam. Di sisi nilai tukar, efek langsung Brexit terlihat pada pelemahan mata uang Euro dan Poundsterling terhadap US Dollar.
Poundsterling mengalami pelemahan sebesar 8.82 persen dan Euro mengalami pelemahan sebesar 2.7 persen pada 24 Juni 2016. Rupiah masih mengalami depresiasi terhadap USD pada tanggal 27 Juni 2016.
Sejumlah penelitian menganalisis bahwa Brexit mungkin akan meningkat serta mengurangi kesejahteraan dan perdagangan dengan Uni Eropa. Beberapa juga berpendapat bahwa Brexit memberikan kesempatan bagi Inggris untuk mendapatkan kembali kedaulatan, peraturan, dan bantuan dari Uni Eropa yang terlalu membebani tersebut. Hal ini akan menguntungkan bagi ekonomi Inggris karena Inggris memiliki kebebasan untuk menegosiasikan perjanjian perdagangan baru dengan negara ketiga.
Namun posisi tawar ke Inggris relaif lebih rendah daripada jika bernegosiasi sebagai bagian dari UE karena Inggris hanya mampu menawarkan pasar yang lebih kecil daripada UE. Kerajaan Inggris telah menjadi mitra strategis Indonesia.
Hubungan diplomatik antara kedua negara telah dikelola selama 70 tahun. Nilai perdagangan kedua negara mencapai USD 2,6 miliar pada tahun 2018, sementara investasi dari Inggris di Indonesia mencapai lebih dari USD 12 miliar pada tahun yang sama. Inggris adalah investor terbesar ke-10 di Indonesia. Faktanya bahwa Inggris meninggalkan Uni Eropa akan mempengaruhi kinerja perdagangan di antara Indonesia dan Inggris juga dunia.
Selain itu, hal tersebut juga akan menggeser kebijakan perdagangan internasional Inggris dengan mitra mereka baik mitra utama dan mitra potensial. Bentuk kebijakan tersebut dapat berupa mempertahankan Uni Eropa sebagai mitra dagang FTA dan memperluas kerja sama perdagangan bilateral dengan mitra dagang potensial mereka.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, nilai perdagangan bilateral antara RI – Inggris mengalami penurunan sebesar 1,2 persen pada tahun 2017 yaitu turun menjadi USD 2,48 miliar dari 2016. Nilai impor Indonesia dari Inggris tidak terlalu signifikan hanya sekitar 0,64 persen dari keseluruhan impor. Indonesia relatif tergantung pada jumlah investasi dari Inggris yang menempati posisi ke-10 dari total jumlah investasi asing di Indonesia. Namun, jumlah investasi tersebut mengalami penurunan cukup drastis pada tahun 2018 yaitu turun sebesar USD 235 juta, dibandingkan tahun 2017 yang senilai USD 584 juta.
Selain dampak ekonomi, ketidakpastian Brexit juga akan berdampak pada kelangsungan hidup masyarakat Indonesia yang tinggal di Inggris termasuk mahasiwa asal Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Inggris yang jumlahnya sekitar 4.500 mahasiswa.
Akses pada pekerjaan dan biaya pendidikan akan semakin kompetitif. Sementara itu, hasil penelitian The Possibility of Indonesia and United Kingdom to Form Free Trade Agreement After Brexit menjelaskan bahwa pengaruh kerjasama perdagangan dengan Inggris setelah Brexit adalah layak dan akan memberikan manfaat bagi Indonesia apabila dibandingkan dengan Indonesia tidak bekerjasama dengan Inggris.
Simulasi GTAP menghasilkan bahwa dalam skenario DEAL jika Indonesia membentuk FTA dengan Inggris, Indonesia akan mengalami peningkatan PDB sekitar USD 3,13 juta meningkat dari neraca perdagangan USD 123,9 juta. Kesejahteraan akan mendapat sebanyak USD 149.5 juta dan output industri akan berkurang sekitar USD 50 ribu.
Untuk Inggris, segala alternatif yang dibuat Inggris memiliki implikasi ekonomi yang baik. Berdasarkan game theory, strategi terbaik untuk Indonesia adalah membentuk FTA dengan Inggris. Sementara bagi Inggris, berdasarkan simulasi alternatif dalam membentuk FTA dengan Indonesia adalah strategi dominan dengan output positif. Implikasi kerjasama perdagangan tidak terlalu signifikan bagi Inggris sehingga untuk mendorong kerjasama perdagangan harus diprakarsai oleh Indonesia.
Uni Eropa cenderung membentuk kerjasama perdagangan dengan mitra mereka melalui skema Kemitraan Ekonomi, sehingga mungkin diadopsi oleh Inggris ketika mereka membentuk kerjasama perdagangan dengan Indonesia.
Di samping itu, berdasarkan Economy Update Kedeputian Bidang Ekonomi, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional pada 28 Juni 2016 menghasilkan analisis simulasi dampak Brexit terhadap perekonomian Indonesia dilakukan melalui dua skenario, yaitu (1) hanya Brexit dan (2) Brexit yang disertai guncangan/penurunan ekonomi Eropa. Hasil menunjukkan bahwa apabila keluarnya Inggris tidak disertai dengan guncangan ekonomi Eropa, maka tidak akan memberikan dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia.
Namun jika terjadi guncangan ekonomi Eropa pasca Brexit karena diperkirakan akan mengoreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 0,1 basis poin. Sementara itu, variabel ekonomi makro lainnya (seperti: konsumsi masyarakat, inflasi, investasi dan ekspor) juga tidak akan mengalami perubahan pasca Brexit, jika efek lanjutan Brexit tidak memberikan guncangan yang berarti terhadap perekonomian besar dunia seperti Uni Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Selanjutnya, apabila Brexit memberikan efek lanjutan terhadap pelemahan ekonomi besar lainnya seperti: Amerika Serikat, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pun akn mengalami penurunan.
Hasil simulasi dengan menggunakan Q-Monas Model Bappenas menunjukkan bahwa penurunan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada tahun 2016 sebesar 0.02 persen diperkirakan akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0.08 persen.
Pemulihan ekonomi selanjutnya diperkirakan akan terjadi di tahun berikutnya selama sekitar dua tahun (2017 – 2018). Pemulihan tersebut terjadi melalui transmisi kebijakan sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah menyebabkan output gap turun dan mendorong bank sentral menurun tingkat suku bunga selanjutnya turunnya tingkat suku bunga menyebabkan investasi meningkat dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya, dari hasil penelitian Impact Prediction of British Exit (Brexit) on The Indonesian Economy tahun 2018 menjelaskan bahwa dampak langsung Brexit terhadap perekonomian Indonesia akan sederhana terutama pada sektor riil (PDB, perdagangan, dan investasi). Namun harus tetap memperhitungkan prediksi dampak tidak langsung dari hubungan Inggris-Uni Eropa dan Inggris-Cina. Indonesia memiliki korelasi yang moderat/realtif lemah dalam hal pertumbuhan ekonomi dan jalur perdagangan dengan Inggris akan tetapi efek tidak langsung dari Tiongkok mungkin berdampak.
Hubungan ekonomi yang erat antara Inggris-Cina dan Indonesia-Cina dapat menjadi sumber potensial dari penyaluran dampak Brexit ke Indonesia. Selain hubungan Inggris-Cina, efek tidak langsung kedua Brexit ke Indonesia juga berasal dari hubungan Inggris-Uni Eropa. Temuan penting kedua dari penelitian ini adalah bukti bahwa dampak Brexit lebih kuat pada bidang moneter/keuangan (pasar saham, nilai tukar, suku bunga) daripada sektor riil.
Beberapa implikasi kebijakan dapat diperoleh adalah sebagai berikut:
- Antisipasi kebijakan yang mencakup peningkatan kemitraan ekonomi dengan negara-negara yang saat ini memiliki hubungan dengan Inggris.
- Kredibilitas pemerintah dan bank sentral untuk mengelola ekspektasi pasar harus ditingkatkan karena respon finansial yang lebih kuat terhadap Brexit ditemukan. Peningkatan kredibilitas dapat meningkatkan manfaat dari kondisi poundsterling yang terdepresiasi.
- Potensi ekonomi domestik harus ditingkatkan untuk mengimbangi dampak negatif Brexit. Ukuran ekonomi dan ukuran populasi Indonesia (mewakili bonus demografis dan pasar potensial) dapat digunakan secara menguntungkan untuk menghadapi dampak Brexit.
Situasi terkini saat ini adalah Uni Eropa menunda Brexit hingga Januari 2020. Sebelumnya jadwal Inggris keluar dari Uni Eropa adalah 31 Oktober 2019 lalu. Penundaan ini adalah lanjutan dari keputusan Parlemen Inggris yang menolak untuk langsung menyetujui kesepakatan Brexit terbaru. Keputusan perpanjangan batas waktu menjadi 31 Januari 2020 dikeluarkan setelah para duta besar dari 27 negara anggota Uni Eropa melakukan pertemuan di Brussel.
Dari situasi ini, dapat dianalisa bahwa Brexit with no-deal atau Brexit with deal situasi ini dapat memicu resesi ekonomi Inggris yang lebih buruk jika dibandingkan dengan krisis keuangan pada 2008. UNCTAD melaporkan bahwa Brezit tanpa kesepaktan akan merugikan ekspor Inggris ke pasar Uni Eropa. Perubahan itu akan memengaruhi secara berantai ekonomi negara lain, termasuk Indonesia meskipun tidak terlalu besar. Di sisi lain, terdapat peluang Indonesia justru akan diuntungkan dengan situasi Brexit with no-deal berdasarkan penelitian oleh UNCTAD (2018) yang menghubungkan dan membandingkan perdagangan Inggris dengan negara-negara lain berdasarkan kesepakatan atau perjanjian perdagangan yang berlaku saat ini.
Bagi Indonesia, ketiadaan perjanjian keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan menimbulkan 3 (tiga) konsekuensi antara lain:
- Otoritas perekonomian Indonesia harus mewaspadai dampak negatif no-deal Brexit bagi perekonomian Indonesia. Jika skenario no-deal Brexit terjadi, Bank Sentral Inggris memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) Inggris dapat turun 8 persen, tingkat pengangguran naik menjadi 7,5 persen, inflasi naik ke 6,5 persen, harga rumah naik 30 persen, dan mata uang poundsterling terdepresiasi hingga 25 persen. Sejumlah studi lainnya seperti yang dilakukan Center for European Reform, IMF, dan JP Morgan juga menunjukkan hal senada yang memprediksikan PDB Inggris akan melemah sekitar 1-2 persen. Menurut Bank Sentral Inggris, situasi ini dapat memicu resesi ekonomi Inggris yang lebih buruk jika dibandingkan dengan krisis keuangan tahun 2008. Dengan posisi Inggris sebagai ekonomi terbesar ke-5 di dunia, situasi no-deal Brexit potensial mengancam kestabilan perekonomian regional Eropa dan pada akhirnya perekonomian dunia. Perekonomian Indonesia juga dapat turut terdampak mengingat Inggris merupakan salah satu mitra utama perdagangan dan investasi asing Indonesia. Untuk itu, Pemerintah Indonesia perlu menyiapkan dan mengambil langkah-langkah mitigasi agar dampak negatifnya tidak terlalu dirasakan oleh perekonomian Indonesia.
- Pemerintah Indonesia perlu melakukan peninjauan menyeluruh atas berbagai kesepakatan antara UE dan Indonesia serta Inggris dan Indonesia. Hal ini dibutuhkan guna menyesuaikan kekosongan kerangka hukum akibat dampak no-deal Brexit. Langkah ini sudah dimulai oleh kedua pihak dengan ditandatanganinya the Forest Law Enforcement, Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement (FLEGT-VPA) oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Siti Nurbaya; dan Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik, pada 29 Maret 2019.
- Pemerintah Indonesia harus proaktif untuk mengambil peluang yang ditimbulkan no-deal Brexit. Langkah ini juga sekaligus memanfaatkan momentum 70 tahun hubungan bilateral Indonesia-Inggris yang jatuh pada tahun 2019.
- Kemunculan Inggris sebagai pasar tersendiri yang terpisah dari pasar UE membuka peluang bagi Indonesia untuk menegosiasikan kesepakatan perdagangan yang lebih menguntungkan, serta mendorong peningkatan investasi Inggris. Di samping itu, kemunculan Inggris sebagai pasar yang mandiri harus dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh produsen Indonesia untuk secara langsung mengekspor produknya ke Inggris, tanpa transit dulu di wilayah UE lainnya.
Brexit tanpa kesepakatan dalam perspektif optimistis menempatkan sebagian dari negara-negara ASEAN dirugikan maupun diuntungkan. Enam negara anggota ASEAN yang kemungkinan mendapatkan keuntungan terbesar adalah Thailand yang diramalkan mendapat keuntungan sebesar USD 3,9 miliar dan diikuti oleh Vietnam (USD 790 juta), Indonesia (USD 3,9 juta), Malaysia (USD 266 juta), Singapura (USD 168 juta) serta Brunei Darussalam (USD 1,5 juta). Empat negara ASEAN yang akan merugi terbesar adalah Kamboja (USD -159 juta), Filipina (USD -93 juta), Myanmar (USD -35,6 juta) dan Laos (USD -6,5 juta).
Meskipun Indonesia juga mendapatkan keuntungan yang masih bersaing namun masih perlu pembenahan. Produk sepatu Indonesia harus menghadapi persaingan dengan China dan Vietnam. Vietnam saat ini menikmati keuntungan karena memiliki EU – Vietnam Free trade Agreement (ECFTA) yang berjalan sejak 2016. Kesepakatan itu menyatakan bahwa dalam tujuh tahun tarif impor sepatu Vietnam ke Eropa akan secara gradual menurun dari 12,4 menjadi 0 persen. Hal ini menyebabkan harga sepatu dari Vietnam semakin murah dijual di Eropa. Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan terkait dengan produk alas kaki dengan Eropa.
Produk alas kaki Indonesia masih dikenakan tarif sebesar 11-14 persen untuk masuk ke Uni Eropa. Hal ini menyebabkan Indonesia hanya menguasai 4 persen pasar Uni Eropa. Sementara Vietnam dapat mencapai 12 persen. Data World Integrated Trade Solution menyebutkan bahwa impor alas kaki Inggris pada 2017 didominasi oleh lima negara yaitu China, Italia, Belanda, Vietnam, dan Belgia. Indonesia ada di urutan kedelapan pengekspor alas kaki ke Inggris setelah Jerman, India, dan Perancis. Apabila Brexit tanpa kesepakatan berlaku, maka produk alas kaki dari negara Uni Eropa mungkin akan jadi lebih mahal karena dikenakan tarif Most Favored Nations (MFN). Situasi ini dapat menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk penetrasi pasar.
Apabila ditinjau dari sisi intelijen ekonomi, Brexit akan menimbulkan ketidakpastian ekonomi global, mengingat Inggris merupakan salah satu pusat perekonomian dunia terutama dari sektor komoditas. Kondisi ini dikhawatirkan akan turut berdampak pada menurunnya permintaan komoditas dari negara berkembang terutama Indonesia. Kendati demikian, dengan adanya Brexit, Rupiah berpotensi menguat bila dibandingkan mata uang Euro maupun Poundsterling.
Kondisi ini disebabkan oleh sentimen Brexit memiliki potensi terjadinya arus modal yang keluar dari Inggris menuju masuk ke negara-negara emerging market seperti Indonesia. Kondisi ini tentunya sangat bermanfaat untuk peningkatan nilai tukar rupiah maupun permintaan pasar modal. Pemerintah Indonesia perlu menjaga kondusifitas perekonomian dalam negeri. Hal ini sangat penting guna menjaga tekanan besar sentimen Brexit dari perekonomian global sehingga ekonomi nasional masih tetap kuat. Oleh karenanya stabilitas iklim investasi harus dijaga dan ditingkatkan sehingga potensi pengalihan arus modal dari Uni Eropa dan Inggris ke emerging markets dapat dimanfaatkan oleh Indonesia.
Untuk mengatasi dampak Brexit terhadap perekonomian Indonesia, pemerintah dalam jangka pendek perlu menenangkan dan menjaga pasar agar euforia global tidak berdampak terhadap perekonomian domestik Indonesia. Secara makro fundamental, perekonomian Indonesia masih cukup baik dan didukung oleh program-program pemerintah yang cukup solid. Pemerintah perlu terus mengawal implementasi dari program-program pemerintah untuk dapat meredam dampak lanjutan dari ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia. Beberapa program-program pemerintah jangka pendek yang perlu dikawal antara lain adalah pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur, reformasi regulasi dan pembenahan iklim investasi di pusat dan daerah, serta pengembangan pariwisata. Kebijakan untuk menjaga daya beli masyarakat dan kebijakan counter cyclical perlu untuk tetap dijalankan agar ekonomi Indonesia dapat tetap tumbuh dengan kuat yang antara lain dengan menjaga stabilisasi harga dan percepatan belanja pemerintah. Pemerintah perlu untuk terus memantau secara berkelanjutan perkembangan dampak Brexit terhadap ekonomi global serta seberapa jauh Brexit dan perjanjian antara UK dan UE akan berdampak pada perdagangan di Eropa dan dunia. Apabila Brexit akan diikuti oleh negara-negara lain di Eropa untuk keluar dari UE, maka ketidakpastian yang dapat ditimbulkan oleh Brexit berpotensi memberikan dampak negatif lebih besar terhadap ekonomi global dan Indonesia.
Penulis :
Sitty Noorillah
Mahasiswi S-2 Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia