Budaya Ilmu dan Kebangkitan Bangsa

Baca Juga

MATA INDONESIA, – Bangunlah jiwanya

Bangunlah badannya

Untuk Indonesia raya.

Setiap hari Senin, seantero negeri ini bergema lagu kebangsaan kita tersebut. Sebagian besar dari kita bahkan sudah hapal lagu tersebut semenjak kecil. Namun, sedikit sekali diantara kita yang bisa menghayati makna dan cita-cita besar yang terkandung di dalamnya.

Lirik ‘Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya’ sangat penting untuk kita renungkan maknanya. Selain badan jasmani, jiwa manusia juga harus kita perhatikan. Karena hanya dengan membangun jiwa setiap individu masyarakat, bangsa ini akan bisa bangkit  membangun peradaban yang tinggi.

Dengan apa kita membangun jiwa generasi bangsa ini? Tentu saja, salah satu yang paling penting adalah dengan ilmu pengetahuan. Tidak ada suatu bangsa di dunia ini, dari dulu sampai sekarang, yang bisa maju kecuali dengan kekuatan ilmu.

Lihat saja Jepang, misalnya. Negara ini telah membuat Amerika heran, bagaimana bisa negara yang telah mereka kalahkan dalam perang dunia ke dua, kini malah bangkit mengalahkan mereka  dan sebagian besar negara-negara barat dalam hal sains dan tekhnologi.

Apa rahasia kemajuan Jepang yang hebat tersebut? Prof. Ezra Vogel dari Universitas Harvard telah melakukan sebuah penelitian serius tentang hal ini. Penelitian tersebut akhirnya membuat sebuah kesimpulan penting tentang kemajuan Jepang. Ternyata kunci kebangkitan Jepang terletak pada kepedulian pemimpin, institusi dan masyarakat dalam masalah pendidikan. Mereka sungguh-sungguh dalam mengumpulkan dan menggunakan ilmu untuk kepentingan mereka. Inilah yang disebut dengan budaya ilmu. Sebuah kepedulian dan kecintaan pada ilmu, yang tersebar hampir di seluruh lapisan masyarakat.

Dalam sebuah masyarakat yang memiliki budaya ilmu, ilmu pengetahuan ditempatkan pada derajat yang sangat tinggi. Sebaliknya kebodohan adalah hal yang paling mereka benci dan jauhi. Jadi, sebuah masyarakat baru bisa dikatakan memiliki budaya ilmu jika sebagian besar mesyarakat benar-benar memberikan perhatian besar mereka pada ilmu pengetahuan, dalam setiap kesempatan.

Demikian juga yang terjadi pada peradaban Islam di masa silam. Berabad-abad lamanya mereka menguasai dunia, bahkan wilayah kekuasaan Islam menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia waktu itu. Budaya  ilmu juga sangat kuat pada saat itu dalam masyarakat Islam. Para pemimpin Islam sangat gemar dan peduli pada ilmu pengetahuan. Demikian juga masyarakatnya, sangat antusias dalam hal pendidikan. Sampai disebutkan dalam sebuah riwayat, setiap hari mereka berlomba lari agar bisa duduk di shaf depan dalam majlis ilmu.

Kecintaan umat Islam pada ilmu pengetahuan saat itu memang tiada tandingannya. Lihat saja tokoh-tokoh yang lahir dari rahim peradaban Islam saat itu. Ada Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Al Ghazali dan yang lainnya. Mereka adalah ilmuwan hebat yang menguasai hampir semua bidang ilmu pengetahuan. Hal yang sangat sulit kita dapatkan pada para ilmuan saat ini.

Bahkan, tokoh sepeti Ibnu Sina dan Ibnu Taimiyah dikatakan telah selesai menguasai banyak bidang ilmu ketika umur mereka baru 20 tahun! Iya, mereka telah tamat mempelajari semua bidang ilmu di usia masih sangat muda. Sementara kita pada zaman sekarang, baru belajar dasar-dasar beberapa disiplin ilmu ketika umur 20 tahun. Demikianlah, budaya ilmu telah menjadikan mereka umat terbaik dan pilihan pada masa itu.

Dan salah satu ciri suatu bangsa yang punya budaya ilmu adalah kedekatan masyarakatnya dengan buku-buku. Semakin akrab suatu kaum dengan buku, semakin cepat bangsa tersebut bangkit menyongsong kejayaan.

Sejauh mana bangsa kita yang tercinta ini berteman dengan buku? Jawabannya bisa kita lihat di sekeliling kita. Jangankan berteman dengan buku-buku, sebagian besar generasi bangsa ini malah menyentuh kulit buku saja sangat jarang. Bahkan buku bacaan bagi mereka seperti barang langka. Buku seperti benda asing bagi mereka.

Saya pribadi punya pengalaman yang unik dan menyedihkan tentang buku dan tradisi membaca.

Saya sudah mulai membaca buku sejak masih SD. Walaupun pada saat itu saya lebih banyak membaca komik. Yang mengherankan adalah reaksi teman-teman saya. Sebagian dari mereka menganggap saya anak yang aneh. Ya, hanya karena saya sering terlihat membaca setiap hari.

Ketika beranjak SMA, tempat nongkrong favorit saya adalah perpustakaan. Kebanyakan siswa kalau ada waktu kosong di sekolah lebih sering ke kantin atau memilih bermain sepak bola ataupun voli. Saya justru memilih pustaka. Tempat itu bagi saya seperti surga. Saya bisa bertemu banyak tokoh hebat di sana, dan duduk manis mendengar petuah-petuah penuh ilmu dari mereka. Atau kadang saya memilih berkeliling menuju tempat-tempat terjauh di ujung dunia dan menikmati setiap keunikannya. Sensasi itu hanya bisa saya dapatkan di taman yang penuh bunga tersebut, pustaka sekolah.

Namun, karena kebiasaan itu, lagi-lagi saya dianggap aneh oleh sebagian teman-teman sekolah. “Jangan terlalu banyak baca buku, nanti kamu bisa gila”. Demikian petuah mereka kepada ku waktu itu.

Pernah suatu hari saya membawa buku tebal ke sekolah dan seorang kawan bertanya dari mana aku mendapatkannya. Mereka sedikit terkejut begitu kukatakan buku tersebut kubeli sendiri seharga 100 ribu. Bahkan mulut mereka terbuka membentuk huruf O besar ketika kutambahkan bahwa, uang 100 ribu itu aku dapatkan dari hasil bekerja di sawah orang selama dua hari. Bagi mereka, seolah beli buku dari hasil bekerja adalah sebuah ketololan yang nyata.

Ketika saya melanjutkan studi ke perguruan tinggi di kota Banda Aceh, budaya malas membaca buku ternyata masih saja menjangkiti sebagian besar mahasiswa. Lebih banyak kita jumpai mahasiswa yang nongkrong di warung kopi untuk main game online atau memburu film-film ilegal ketimbang berteman dengan buku di perpustakaan.

Seharusnya di lingkungan kampus budaya membaca buku sudah menjadi sebuah kewajiban dan hal biasa bagi mahasiswa, tetapi ternyata tidak. Masih saja ada mahasiswa yang jarang menyentuh buku, bahkan merasa aneh dengan orang yang gemar membaca.

Saya punya seorang kawan yang sering mengunjungi kamar kos kami. Setiap datang seringkali dia mendapati saya tengah membaca buku, kadang sambil duduk, terkadang dengan berbaring. Kening dia akan berkerut melihat kebiasaan saya itu. Hingga suatu hari ia berkata ketika saya lagi membaca sambil rebahan saat istirahat siang, “Keadaan kamu ini sudah bahaya. Setiap hari kamu membaca buku?” katanya sambil menggeleng kepala.

Kenapa kebiasaan membaca bisa jadi menakutkan begitu bagi sebagian orang?

Namun, demikianlah realita generasi bangsa ini terhadap ilmu dan buku bacaan. Sangat jauh dengan apa yang disebut budaya ilmu. Sulit sekali rasanya membayangkan bangsa ini bisa bangkit jika masyarakat, terutama para remaja masih menjauh dari buku-buku. Melihat buku mungkin seperti melihat hantu saja. Maka bagaimana mungkin kita akan mengejar kemajuan bangsa Eropa yang sekarang telah cukup jauh meninggalkan kita?

Padahal kita sekarang hidup di era serba canggih dan mudah. Dengan sebuah smartphone di tangan kita bisa mempelajari ilmu apapun, kapanpun, dimana pun. Kita bisa mendengar podcast ilmu di Youtube, bisa baca artikel di situs-situs besar terpercaya dan bisa baca buku gratis di pustaka digital.

Namun sayang sekali, kebanyakan generasi kita justru menggunakan smartphone untuk hal-hal lain yang tidak berguna. Larut dalam game online siang malam, kadang asyik scroll timeline media sosial hingga banyak tertipu dengan berita hoax, dan sebagian yang lain tenggelam dalam lumpur pornografi yang mematikan.

Inilah PR besar bagi kita sekarang, bagaimana caranya kita bisa menumbuhkan budaya ilmu ini di lingkungan kita. Dimulai dari diri kita, keluarga dan lingkungan terdekat. Hanya dengan ilmu pengetahuan lah kita bisa bangkit, tidak ada alternatif yang lain.

Terakhir, saya ingin menyampaikan perkataan guru kami, Prof. Farid Wajdi, mantan rektor UIN Ar Raniry. Suara beliau yang keras dan lantang pada waktu itu masih terasa berdengung di telinga saya.

“Kita sekarang sudah cuku jauh tertinggal dengan negara-negara Barat. Apa yang bisa kita lakukan untuk mengejar mereka? Tidak, tidak cukup hanya dengan membaca buku sambil duduk santai. Kita sekarang, harus membaca buku sambil berjalan dan berlari jika ingin mengejar ketertinggalan kita dengan negara-negara maju itu!”

Penulis: Nainunisovic

  • Akun IG dan FB: @Nai nunisovic.

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

ARPI DIY Desak Kejari Sleman, Menetapkan Tersangka Dugaan Korupsi Dana Hibah Pariwisata

Mata Indonesia, Kabupaten Sleman - Puluhan masa dari Aliansi Rakyat Peduli Indonesia (ARPI) DIY, kembali mendatangi Kantor Kejaksaan negeri (Kejari) Kabupaten Sleman pada hari Selasa tanggal 17 Desember 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini