Mengenal Lebih Dekat dengan Pondok Tahfiz Qur’an Pertama yang Terbakar di Karawang

Baca Juga

MATA INDONESIA, KARAWANG-Pondok Pesantren (Ponpes) Miftahul Khoirot di Karawang yang terbakar dikenal sebagai lembaga pendidikan tahfiz qur’an pertama di Karawang.

Ketua Umum PCNU Karawang KH Ahmad Ruhyat Hasby atau dikenal dengan Kang Uyan mengatakan Ponpes Miftahul Khoirot ini didirikan pada tahun 1930 sebelum kemerdekaan Indonesia.

“Dulu itu berupa majlis taklim, didirikan tahun 1930 sebelum kemerdekaan yang mendirikan adalah KH Almuhtadi Alhafiz kemudian 1972 dijadikan ponpes dilanjutkan oleh generasi ketiganya saat ini,” kata Kang Uyan saat diwawancarai melalui telepon selular, Rabu 23 Februari 2022.

Diakuinya, Ponpes Miftahul Khoirot juga dikenal sebagai pelopor lembaga pendidikan tahfiz qur’an pertama di Karawang.

“Jadi ponpes ini juga pondok pertama di Karawang yang menghadirkan spesifik pendidikan tahfiz qur’an,” ucapnya.

Lanjutnya, ponpes ini juga telah melahirkan banyak ulama tahfiz Qur’an di Karawang. “Para tahfiz Qur’an di Karawang itu lahir dari ponpes ini,” katanya.

Sementara itu, pemilik ponpes KH Agus Abdullah (Generasi ketiga) mengatakan ponpes ini berisikan 750 santri dengan fokus pendidikan tahfiz quran.

“Ada kurang lebih 750 santri dari SD, Madrasah Iftidaiyan (MI) dan Madrasah Aliyah (MA) dan lebih spesifik tahfiz Qur’an,” katanya.

Ponpes ini dijelaskannya juga pernah menjadi bagian dari perjuangan melawan para penjajah.

“Saya masih ingat cerita orang tua dulu, ponpes ini pernah menjadi bagian perjuangan melawan penjajah melalui pengajian dan dakwah, dan memfasilitasi komunikasi antar masyarakat,” katanya.

Reporter: Muhammad Rizky Aulia

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

PKL Teras Malioboro 2: Suara Ketidakadilan di Tengah Penataan Kawasan

Mata Indonesia, Yogyakarta – Sejak relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) dari Malioboro ke Teras Malioboro 2, berbagai persoalan serius mencuat ke permukaan. Kebijakan relokasi yang bertujuan memperindah Malioboro sebagai warisan budaya UNESCO justru meninggalkan jejak keresahan di kalangan pedagang. Lokasi baru yang dinilai kurang layak, fasilitas yang bermasalah, dan pendapatan yang merosot tajam menjadi potret suram perjuangan PKL di tengah upaya mempertahankan hidup.
- Advertisement -

Baca berita yang ini