MATA INDONESIA, JAKARTA – Dijuluki “Ratu Marijuana,” nama Schapelle Corby sempat mengundang kontroversi pada tahun 2004 silam tepatnya di Bali, Indonesia.
Tak beruntung saat datang ke Indonesia, ia justru tertangkap karena membawa tas papan selancar berisi ganja seberat 4,2 kg. Kejadian tersebut berlangsung pada tanggal 8 Oktober 2004, pada saat itu, ia ingin liburan berselancar di Bali.
Melewati bagian imigrasi Bandar Udara Ngurah Rai, Denpasar, Bali ditemukan mariyuana atau ganja. Setelah itu ia ditangkap dan harus menempuh jalur hukum.
Pada tahun 2005, Corby divonis 20 tahun penjara. Pemerintah Australia pun berang karena menilai Pengadilan Negeri Denpasar tidak bisa membuktikan Corby bersalah atau tidak.
Sebab, Corby berulang kali mengatakan tidak tahu menahu isi dalam tasnya yang ternyata ganja. Padahal, saat petugas imigrasi Bandara Ngurah Rai hendak memeriksa tasnya, Corby mencoba menghalangi.
Namun, 13 Oktober 2005, Pengadilan Tinggi Bali mengurangi hukuman Corby menjadi 15 tahun penjara setelah mengajukan banding.
Meski begitu jaksa penuntut umum (JPU) kasus Corby tidak terima dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung sehingga hukuman perempuan yang dijuluki “Ratu Marijuana” dikembalikan menjadi penjara selama 20 tahun.
Di tahun 2008, Corby mengalami depresi dan menjalani perawatan di salah satu rumah sakit Denpasar, namun tak lama berselang dikembalikan lagi ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan Denpasar karena rumah sakit jiwa tak bersedia merawat narapidana narkoba.
Dua tahun kemudian, tepatnya 13 April 2010, dia meminta grasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan alasan menderita depresi berat di Kerobokan, tetap tidak menerima divonis menyelundupkan narkoba dan tidak catatan kejahatan narkoba Corby di Australia.
Pada 15 Mei 2012 secara mengejutkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberi grasi kepada Corby yang mengurangi lagi masa hukumannya menjadi penjara selama 15 tahun.
Tindakan presiden kala itu mengundang kontroversi karena bertolak belakang dengan perang terhadap narkoba. Akibatnya, masyarakat menduga ada urusan politik di balik grasi tersebut.
Kontroversi Corby tidak berhenti bahkan dua tahun setelahnya perempuan yang awalnya berniat liburan di Bali itu, mendapat pembebasan bersyarat. Lagi-lagi aroma politik tercium dari kebijakan tersebut.
Kontroversi Wawancara
Pada 27 Mei 2017, Corby dinyatakan bebas penuh dari penjara setelah mendekam di dalamnya hanya sembilan tahun akibat grasi dan remisi yang diterima dari Presiden SBY.
Sepulangnya ke negaranya, Australia, kontroversi tetap enggan meninggalkannya. Pada April lalu, perempuan 44 tahun itu menciptakannya lagi saat menjadi bintang di acara Reality Show “Dancing with The Stars.”
Kehadirannya di acara tersebut menimbulkan kritik masyarakat Australia, karena peserta-peserta yang ada mempunyai latar belakang profesi yang baik seperti komedian atau atlet bukan orang dengan latar belakang kriminal.
Corby juga menciptakan kontroversi saat dia mendapat bebas bersyarat saat melakukan wawancara eksklusif dengan Channel 7 karena dicurigai demi kepentingan uang. Sebab isi wawancara itu menyudutkan Indonesia.
Menurut media Australia, wawancara eksklusif dengan Channel 7 itu mampu meraup 3 juta dolar Australia setara Rp 32 miliar. Taksiran lainnya menyebut sekitar 2 juta dolar Australia setara Rp 21 miliar.
Namun, hal itu dibantah pendamping Corby saat di Bali, yang mengatakan media begitu konyol, dan pada saat itu tak ada wawancara berbayar.(Annisaa Rahmah)