Louis Vuitton dari Gelandangan Jadi Simbol Kemewahan

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Nama Louis Vuitton dikenal luas sebagai simbol kemewahan sosialita dunia saat ini.

Tetapi siapa sangka pemilik nama itu sesungguhnya bukan berasal dari keluarga kaya apalagi masuk dalam daftar crazy rich dunia.

Louis Vuitton Malletier bahkan pernah menjadi gelandangan di Paris saat Prancis mengalami revolusi industri.

Lelaki kelahiran 4 Agustus 1821 itu lahir dari keluarga miskin kelas pekerja di pedesaan terpencil Pegunungan Jura dan mengalami perjalanan hidup teramat pahit.

Ayahnya bernama Xavier Vuitton hanya seorang petani biasa di desanya. Sedangkan sang ibu bernama Corinne Gaillard seorang ibu rumah tangga biasa dan meninggal dunia saat Louis baru berusia 10 tahun.

Sedihnya lagi tak lama berselang sang ayah menyusul ibu Louis ke alam baka dan bertambah kelam lah kehidupan Louis kecil.

Kondisi itulah yang membuatnya bertekad mengubah nasib di usia 13 tahun sehingga dia nekat berjalan kaki sendirian lebih dari 400 kilometer dari desa Anchay ke Paris pada 1835.

Butuh waktu lebih dari dua tahun bagi Louis untuk tiba di ibukota Prancis itu karena selama perjalanannya dia bekerja serabutan untuk mendapat uang sekadar bertahan hidup.

Louis juga tinggal di mana saja yang tempat itu bisa melindungi dia dari basahnya air hujan dan teriknya matahari sehingga dia bisa istirahat ala kadarnya.

Namun, kedatangannya di Paris bukan disambut dengan mewah dan glamour. Louis Vuitton justru harus menjadi tunawisma karena hidup menggelandang dari satu tempat ke tempat lain.

Apalagi, Paris saat itu sedang mengalami perubahan besar-besaran akibat bergulirnya revolusi industri.

Sampai akhirnya Louis Vuitton diterima bekerja magang di sebuah bengkel pembuat koper atau kotak penyimpanan milik Monsieur Marechal.

Pada abad ke-19, pembuatan koper atau boks merupakan industri yang sangat terhormat. Beberapa tahun kemudian Louis Vuitton sudah memiliki reputasi sebagai pembuat koper terkenal di Paris.

Maka, setelah 17 tahun mempertaruhkan hidupnya di Paris, Louis Vuitton meninggalkan tempat kerja setelah menikahi Clemence-Emilie Parriaux. Saat itu, Louis berusia 33 tahun sedang Clemence-Emilie baru 17 tahun.

Setelah itu dia memberanikan membuka bengkel pembuatan koper sendiri di Rue Neuve des Capucines kota Paris. Dari tempat itulah sejarah brand Louis Vuitton bermula.

Empat tahun kemudian pada tahun 1858, Louis Vuitton memperkenalkan pegangan koper yang berbentuk bundar dan tahan air berbentuk persegi panjang ke pasar.

Ternyata koper buatannya digemari masyarakat Paris. Maka dia memutuskan ekspansi bisnis dengan membuka bengkel baru yang lebih besar di luar kota Paris.

Biografi Louis Vuitton menuliskan saat kekaisaran Prancis di bawah kekuasaan Napoleon III, dia dipekerjakan sebagai pembuat koper atau kotak pribadi Permaisuri Prancis bernama Eugenie de Montijo.

Ternyata permaisuri tersebut puas dengan hasil karyanya. Permaisuri itulah yang mengenalkan Louis Vuitton dengan lingkungan elit dan sosialita.

Sejak itulah brand Louis Vuitton dikenal sebagai merek milik kaum elit dan bangsawan. Pada 1885, namanya semakin besar dan mengembangkan bisnis ke Inggris yaitu di Kawasan Oxford Street, London.

Louis meninggal dunia pada usia 70 tahun, tanggal 27 Februari 1892. Setelah kematiannya, putranya Georges Vuitton mengambil alih kendali perusahaan dan melakukan ekspansi besar-besaran.

Di tangan Georges nama sang ayah dikukuhkan sebagai brand fashion kelas atas dunia dan menjadi simbol kemewahan. Dia mulai memamerkan produk-produk Louis Vuitton di Pameran Dunia di Chicago pada tahun 1893.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Program MBG Kolaborasi Jaga Rantai Pasokan Makanan hingga Gerakkan EkonomiLokal

Oleh: Alexandro Dimitri*) Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tengah dijalankan pemerintah bukan hanyabertujuan menyediakan makanan sehat bagi pelajar dan kelompok prioritas, tetapi juga menjadistrategi besar untuk menggerakkan ekonomi rakyat melalui rantai pasokan yang terkoordinasidengan baik. Di tengah situasi global yang masih diliputi ketidakpastian akibat gejolak hargapangan dan tantangan distribusi internasional, MBG hadir sebagai pendekatan domestik yang menyeluruh dan berorientasi pada pembangunan jangka panjang. Program ini menunjukkanbahwa kebijakan sosial dapat dirancang secara selaras dengan penguatan ekonomi daerah sertapeningkatan kesejahteraan masyarakat luas. Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menyampaikan bahwa MBG bukan sekadarkegiatan pemberian makanan, melainkan upaya membangun pola ekonomi masyarakat yang lebih hidup. Ia menggambarkan bahwa meningkatnya kebutuhan bahan makanan seperti telur, sayuran, ikan, hingga produk olahan lokal dapat menggerakkan berbagai sektor sekaligus, mulaidari petani, peternak, nelayan, hingga pelaku usaha kecil yang mengelola distribusi dan penyediaan jasa pengolahan makanan. Menurutnya, ketika seluruh bahan pasokan bersumberdari produsen dalam negeri, potensi ekonomi yang tercipta dapat mencapai angka yang sangatbesar setiap tahun. Gagasan ini memperlihatkan bahwa pemerintah ingin memastikan manfaatMBG tidak berhenti pada aspek gizi, tetapi juga memberi ruang tumbuh bagi pelaku ekonomikecil yang selama ini menjadi tulang punggung penghidupan masyarakat. Lebih jauh, Zulkifli menekankan bahwa program ini dapat menjadi fondasi penting bagikemandirian pangan nasional. Apabila permintaan bahan pangan terus meningkat secara meratadi seluruh daerah, maka pemerintah juga akan terdorong memperbaiki ekosistem produksi dan memperluas akses pasar bagi pelaku usaha lokal. Di beberapa wilayah, sudah terlihat bagaimanaaktivitas sentra pangan mulai menggeliat kembali seiring tersedianya pasar yang stabil melaluiMBG. Bagi daerah yang selama ini berada di pinggiran arus ekonomi nasional, peluang ini akansangat berarti untuk mempercepat pemerataan pertumbuhan. Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, menjelaskan bahwa keberhasilan MBG bergantung pada kesiapan tiga unsur penting, yaitu anggaran yang memadai, sumber dayamanusia yang kompeten, serta infrastruktur yang mendukung. Ia menegaskan bahwa pemerintahsedang mematangkan kerangka aturan yang akan menjadi pedoman teknis, mulai dari standarkualitas pangan, tata cara kebersihan dapur, sampai pengawasan terhadap jalur distribusi. Menurutnya, rancangan aturan tersebut disusun agar pelaksanaan MBG berjalan konsisten, sertadapat mencegah potensi penyimpangan yang dapat merugikan masyarakat. Dadan juga menyoroti perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap dapur penyelenggara agar insiden terkait keamanan pangan tidak terulang. Ia menekankan bahwa setiap penyedia harusmemenuhi prosedur standar pengolahan makanan dan menjalani proses sertifikasi sebelum dapatterlibat dalam program. Pemerintah, sambungnya, telah mengambil langkah korektif di sejumlahdaerah dengan melakukan pembinaan langsung kepada penyelenggara, serta memberikanpendampingan agar proses persiapan dan penyajian makanan berlangsung lebih aman. Langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah memastikan bahwa setiap makanan yang diterimamasyarakat benar-benar memenuhi aspek gizi dan higienitas yang diharapkan. Dari sisi ekonomi, Ekonom Awalil Rizky memandang bahwa MBG mulai memperlihatkandampak positif di daerah. Ia mencatat bahwa aktivitas jual beli bahan pangan di pasar tradisionalkembali stabil, bahkan meningkat, karena terdapat permintaan rutin dari penyedia makan gratis. Kondisi ini ikut membantu menahan fluktuasi harga di tingkat lokal dan memberikan kepastianpendapatan bagi para pelaku usaha kecil. Awalil menilai bahwa MBG berpotensi menjadipendorong ekonomi daerah yang signifikan apabila tata kelolanya dijaga secara konsisten dan terus diperbaiki. Menurutnya, ketika jalur produksi hingga distribusi berjalan tertata, program inidapat memberi kepastian pasar bagi produsen kecil yang selama ini sangat bergantung pada musim dan variasi permintaan harian. Ia menambahkan bahwa keberhasilan MBG akan bergantung pada kemampuan pemerintahdaerah menyinergikan sektor pertanian, perikanan, dan perdagangan lokal agar semua pihakmendapatkan manfaat seimbang. Melalui pendekatan ini, MBG dapat menjadi ruang kolaborasiyang mempertemukan kebutuhan pangan dengan kapasitas produksi masyarakat sekitar. Lebihdari itu, Awalil menilai program ini dapat menjadi cermin bagaimana kebijakan sosial dapatmenciptakan ekosistem ekonomi yang berkelanjutan, bukan sekadar intervensi jangka pendek. Ketika rantai pasok pangan global masih menghadapi guncangan yang tidak menentu,...
- Advertisement -

Baca berita yang ini