MATA INDONESIA, JAKARTA – Adinegoro merupakan wartawan terkemuka sekaligus tokoh perintis pers di Indonesia.
Bahkan, namanya digunakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai nama penghargaan bagi wartawan Indonesia berprestasi, yaitu “Anugerah Adinegoro”.
Melansir dari laman resmi Persatuan Wartawan Indonesia, nama Adinegoro merupakan sebuah nama pena atau samaran yang digunakan oleh sang legenda itu. Sedangkan, nama aslinya adalah Djamaluddin gelar Datuk Maradjo Sutan.
Putra dari pasangan Usman gelar Baginda Chatib dan Sadarijah ini lahir pada 14 Agustus 1904 di Tawali, Sawahlunto, Sumatera Barat.
Karena ayahnya merupakan kepala daerah atau demang di Indrapura, Adinegoro memiliki hak untuk mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah rendah yang sebetulnya diperuntukan bagi anak-anak Belanda.
Ketika usia remaja, Adinegoro dititipkan oleh ayahnya kepada kakak tertuanya, Muhammad Yaman gelar Raja Endah yang merupakan seorang guru di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Pakembang.
Oleh Yaman, Adinegoro disekolahkan di HIS, karena ia dan istrinya berusaha agar anak-anak maupun adik serta kemenakan yang ikut dengan mereka mendapatkan pendidikan yang modern.
Selain Adinegoro, Yaman juga menyekolahkan beberapa keponakannya, salah satunya Muhammad Yamin yang kelak akan menjadi sastrawan dan ahli hukum yang diangkat sebagai Menteri oleh Presiden Soekarno.
Setelah merampungkan pendidikannya di HIS Palembang, Adinegoro melanjutkan studinya ke School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Batavia, karena ayahnya mengharapkan kelak dirinya menjadi dokter.
Selama bersekolah di STOVIA, kecintaan Adinegoro akan menulis kian memuncak. Ia kerap mengirim pendapatnya ke berbagai surat kabar. Untuk pertama kalinya, tulisannya dimuat di Tjahaja Hindia, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Landjumin Datuk Tumenggung.
Dalam setiap tulisannya, Adinegoro selalu mencantumkan identitas sebagai Dj, yang merupakan kependekan dari Djamaluddin.
Selain Thahja Hindia, Landjumin juga menerbitkan Harian Neratja. Pada masanya, harian itu memiliki gaya yang cukup modern karena memuat foto, sesuatu yang sangat langka pada zaman itu.
Karena kegemarannya akan menulis, Adinegoro memutuskan untuk keluar dari STOVIA dan melanjutkan pendidikannya ke Jerman untuk belajar Ilmu Publisistik. Ia ingin mengikuti jejak Abdul Rivai, seorang dokter yang selama belajar di Eropa banyak menulis di harian Bintang Timoer.
Dalam perjalannya ke luar negeri, Adinegoro secara teratur mengirim tulisannya ke majalah Pandji Poestaka. Kemudian, tulisannya itu dibukukan oleh Balai Poestaka dengan judul Melawan ke Barat.
Buku tersebut menggambarkan bagaimana perjalanan Adinegoro ke Jerman yang saat itu hanya bisa dilakukan dengan menaiki kapal laut. Kurang lebih tiga minggu waktu yang dihabiskan Adinegoro di atas kapal laut.
Walaupun tujuan akhirnya ke Jerman, ketika di tengah jalan, Adinegoro memutukan untuk turun di Prancis. Hal itu ia lakukan agar bisa mengunjungi sejumlah kota di sana.
Lantas, ia pergi ke Belanda menggunakan kereta. Dalam perjalannya itu, ia menyusuri sejumlak kota di Belgia dan Belanda, sebelum sampai pada tujuan akhir di Jerman.
Selain mempelajari jurnalistik, perhatian Adinegoro pun teralihkan dengan kartografi yang dipelajarinya di Wuerzburg. Sedangkan, ketika menetap di Muenchen, ia mulai mempelajari geopolitik.
Adinegoro kembali ke Tanah Air pada tahun 1930. Kemudian, ia menerima tawaran menjadi pemimpin redaksi majalah Panji Poestaka. Di waktu yang bersamaan, Pewarta Deli sedang mencari tenaga muda terpelajar untuk memimpin harian itu.
Sehingga, Adinegoro memutuskan untuk pindah ke Medan dan memimpin Pewarta Deli dari tahun 1932 hingga Jepang masuk ke Indonesia.
Di bawah kepemimpinannya, harian tersebut mengalami kemajuan yang sangat pesat. Tulisan Adinegoro sangat dikagumi sebab memiliki analisis yang akurat, salah satu rubrik yang digemari pembaca adalah Pandangan Luar Negeri.
Selain memimpin Pewarta Deli, Adinegoro juga memimpin majalah Abad XX, sebuah majalah umum yang populer.
Saat Perang Pasifik pecah, nama Adinegoro semakin berkibar di kalangan kaum intelektual Medan.
Setelah Proklamasi 1945, Adinegoro ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk menjadi Ketua Nasional Indonesia Sumatera. Organisasi itu berfungsi untuk memelopori rakyat Sumatera dalam melaksanakan perintah Presiden guna mengambil alih pemerintahan administratif dari tangan Jepang.
Setelah itu, Adinegoro didapuk sebagai Komisaris Besar Republik Indonesia (RI) di Bukittinggi, Sumatera Barat. Saat itu, ia membangun rumahnya dengan tiang-tiang tinggi yang terbuat dari bamboo. Tiang tersebut digunakan olehnya sebagai alat penangkap siaran berita yang dipancarkan oleh kantor berita Antara di Jawa.
Pada tahun 1974, Adinegoro bersama dengan Soepomo dan HB Jassin mendidikan sebuah Yayasan Dharma yang ditujukan untuk memajukan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dua tahun kemudian, ia diberi kesempatan untuk meliput Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Hag. Ia pun berkesempatan mendirikan Djambatan, sebuah penghubung pihak yang berseteru, yakni Indonesia dan Belanda.
Pada tahun 1951, ia diminta untuk memimpin Aneta. Lima tahun kemudian, Adinegoro berhasil mengubah nama Aneta menjadi Parsbiro Indonesia.
Adinegoro pun berkesempatan pergi ke Moskow bersama dengan Presiden Soekarno untuk meliput sidang PBB di Amerika Serikat pada tahun 1957.
Beberapa tahun setelahnya, ketika Persbiro Indonesia digabungkan dengan Antara, ia ditunjuk untuk menjabat sebagai dewan pengawas dan anggota dewan pemimpin.
Pada saat itu lah, nama Adinegoro mulai tenggelam. Ia sendiri pun tidak pernah dihargai oleh dewan pimpinan Antara. Meski ia selalu menduduki posisi pertama di Pewarta Deli, Sumorta Shimbun, Mimbar Indonesia, dan Kedaulatan Rakyat, dirinya tidak pernah diajak berunding untuk membantu memutuskan suatu masalah.
Rasa kekecewaan Adinegoro kian memuncak ketika dirinya tidak dimintai pendapat ketika pemimpin Antara hendak mengirim beberapa wartawan ke luar negeri.
Bahkan, Astrid, salah satu putrinya begitu terpukul ketika melihat ruangan ayahnya yang begitu kecil dan tidak memiliki penerangan yang begitu baik. Adinegoro sendiri ditempatkan di bagian belakang kantoe dekat kamar mandi dan mesin cetak.
Rasa kekecewaan yang dibenak Adinegoro ditambah dengan usianya yang tak muda lagi, membuat dirinya jatuh sakit-sakitan.
Hingga, pada 8 Januari 1967, Adinegoro menghembuskan napas terakhirnya di usainya yang ke-63 tahun. Soebagijo I. N. menuliskan dalam bukunya Pelopor Jurnalistik Indonesia, bahwa Adinegoro tidak meninggalkan barang mewah kepada keluarganya. Meski begitu, ia mewariskan harta yang tak bernilai harganya berupa ribuan buku yang berisi aneka ragam ilmu.
Reporter: Diani Ratna Utami