Kabar Baik, Tingkat Kesembuhan Corona di Indonesia Lampaui Rata-rata Dunia

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Tingkat kesembuhan wabah corona (covid-19) di Indonesia terus membaik. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, grafiknya terus meningkat dan sduah melewati tingkat kesembuhan rata-rata dunia.

“Memang di awal kita tingkat kesembuhannya sekitar 15 persen. Namun, ini sudah meningkat menjadi 76,45 persen dan ini di atas global standard yang 75,15,” katanya, Minggu 11 Oktober 2020.

Ia juga mengungkapkan bahwa persentase kematian atau confirmed case fatality rate menurun dari semula 9 persen menjadi 3,58 persen. Meskipun begitu, angka itu masih di atas standar dunia yang 2,98 persen.

Airlangga juga menilai kondisi ekonomi tanah air di masa pandemi, masih lebih baik dibanding negara ASEAN lainnya. Sebagai gambaran, ekonomi di Indonesia mengalami kontraksi 5,32 persen. Sementara kondisi ekonomi negara lain seperti Thailand ternyata minus 12 persen, Singapura minus 13,2 persen dan Malaysia minus 17,1 persen.

“Jadi, berdasarkan data ini, penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi sesuai arahan Bapak Presiden, rem dan gas kita agak berimbang,” ujarnya.

Asal tahu saja, merujuk data Kemenkes 11 Oktober 2020, jumlah kasus positif corona di Indonesia mencapai 333.449 kasus. Angka sembuh berjumlah 255.027 dan pasien meninggal sebanyak 11.844 orang.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini