Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia, Gronya Somerville Kenang Kakaknya yang Bunuh Diri

Baca Juga

MATA INDONESIA, MELBOURNE – 10 September diperingati sebagai hari pencegahan bunuh diri sedunia. Pebulutangkis Gronya Somerville mengenang kakaknya, Julian, yang melakukan bunuh diri.

Melalui Instagram pribadinya, Gronya membagikan cerita tentang kakaknya, Julian, yang meninggal dunia pada 15 Januari 2019 karena bunuh diri. Julian meninggal di usia 30 tahun.

Dalam video yang diunggah, Gronya menyebut, kakaknya melakukan bunuh diri saat dirinya tengah bertanding di turnamen Malaysia Open 2019. Gronya mendapat kabar tersebut dari ibunya.

View this post on Instagram

It is also R U OK Day in Australia ? This was hard to talk about and I was worried about what to say, how much details to add, trying not to make it about myself, not to use the wrong words. So I will just write the rest… My brother took his own life in 2019 after many years battling mental health issues such as schizophrenia, depression, bipolar. This was the hardest thing myself and my family has gone through. Having to see him struggle with things within him that he couldn’t control. Despite knowing he had the purest and most innocent child-like heart (even becoming vegan over the last few years and moving worms out of his skate path), he was rid with these demons and couldn’t live the life he deserved and when he started to get other health issues it became too much for him. One of the hardest parts was watching my Mum have to care for her only son, see him suffering, her being traumatised from certain episodes. To now having another kind of suffering, comforting her after his death, all the triggers around the house and the void now he’s gone that’s even bigger when I am travelling for sport. As an athlete we of course have pressure to compete and perform, conduct ourselves in a certain way and this can have many adverse affects on athletes well-being. But like everyone, outside of our jobs we have a family life, a social life, a story that people don’t know about. Though we somewhat appear strong and resilient, we are just as vulnerable as any other person. So from all this, sport has given me an outlet and escape both mentally, physically and literally when I get to travel and live these two seperate lives. But both these parts of my life have made me who I am and my brothers passing has made me see each new day as something to be so appreciative of, to make sure the people around me know how much I love them, to try and leave everyone I meet better off for crossing paths. For today, and hopefully everyday, check in on your friends and family, seek help if you need it, use the resources that are out there to create a support system and just be grateful for all the little blessing each day brings. Much love, Gronya ❤️ #RUOKDAY

A post shared by Gronya Somerville – Badminton? (@gronyasomerville) on

“Kakak saya bunuh diri di 2019 setelah bertahun-tahun berjuang melawan masalah mental seperti schizophrenia, depresi, dan bipolar. Ini hal tersulit yang harus saya dan keluarga alami dan melihat kakak saya kesulitan menghadapi hal tersebut dalam dirinya dan tak bisa dikontrol,” tulis Gronya.

“Meskipun memiliki hati paling murni dan tak berdosa seperti anak kecil, dia tak bisa menjalani hidup selayaknya dan ketika dia mengalami masalah kesehatan lain, bebannya terlalu berat untuk dia. Salah satu hal terberat adalah melihat ibu saya mengurus putra semata wayangnya, melihat dia menderita, dan itu membuatnya trauma,” tambah Gronya.

“Sekarang ada penderitaan lain yang dirasakan, dimana saya harus menghibur ibu saya setelah kematian kakak saya, semua kenangan di rumah dan kekosongan yang terjadi setelah kakak saya meninggal. Penderitaan ibu saya semakin besar ketika saya harus pergi ke luar negeri untuk bertanding.”

Tak ingin kejadian kakaknya menimpa dirinya, Gronya memilih olahraga sebagai kegiatan untuk mencegah pikiran negatif atau sekadar melupakan masalah.

“Olahraga memberikan saya pelarian baik secara mental, fisik, dan ketika saya harus bepergian ke luar negeri dan menjalani dua kehidupan berbeda. Kedua kehidupan ini membuat saya seperti saat ini dan kematian kakak saya menjadikan saya menghargai hari demi hari dan memastikan semua orang di sekeliling saya tahu betapa saya mencintai mereka,” lanjut Gronya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini