MATA INDONESIA, MELBOURNE – 10 September diperingati sebagai hari pencegahan bunuh diri sedunia. Pebulutangkis Gronya Somerville mengenang kakaknya, Julian, yang melakukan bunuh diri.
Melalui Instagram pribadinya, Gronya membagikan cerita tentang kakaknya, Julian, yang meninggal dunia pada 15 Januari 2019 karena bunuh diri. Julian meninggal di usia 30 tahun.
Dalam video yang diunggah, Gronya menyebut, kakaknya melakukan bunuh diri saat dirinya tengah bertanding di turnamen Malaysia Open 2019. Gronya mendapat kabar tersebut dari ibunya.
“Kakak saya bunuh diri di 2019 setelah bertahun-tahun berjuang melawan masalah mental seperti schizophrenia, depresi, dan bipolar. Ini hal tersulit yang harus saya dan keluarga alami dan melihat kakak saya kesulitan menghadapi hal tersebut dalam dirinya dan tak bisa dikontrol,” tulis Gronya.
“Meskipun memiliki hati paling murni dan tak berdosa seperti anak kecil, dia tak bisa menjalani hidup selayaknya dan ketika dia mengalami masalah kesehatan lain, bebannya terlalu berat untuk dia. Salah satu hal terberat adalah melihat ibu saya mengurus putra semata wayangnya, melihat dia menderita, dan itu membuatnya trauma,” tambah Gronya.
“Sekarang ada penderitaan lain yang dirasakan, dimana saya harus menghibur ibu saya setelah kematian kakak saya, semua kenangan di rumah dan kekosongan yang terjadi setelah kakak saya meninggal. Penderitaan ibu saya semakin besar ketika saya harus pergi ke luar negeri untuk bertanding.”
Tak ingin kejadian kakaknya menimpa dirinya, Gronya memilih olahraga sebagai kegiatan untuk mencegah pikiran negatif atau sekadar melupakan masalah.
“Olahraga memberikan saya pelarian baik secara mental, fisik, dan ketika saya harus bepergian ke luar negeri dan menjalani dua kehidupan berbeda. Kedua kehidupan ini membuat saya seperti saat ini dan kematian kakak saya menjadikan saya menghargai hari demi hari dan memastikan semua orang di sekeliling saya tahu betapa saya mencintai mereka,” lanjut Gronya.
Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia
Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation.
Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan.
Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja.
Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai.
Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif.
Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian.
Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar.
Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja.
Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil.
Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh.
Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel.
Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.