Terungkap, Pembakaran Gereja di Sulbar Dilakukan Oleh Jemaat dengan Gangguan Jiwa

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Peristiwa pembakaran Gereja Toraja Mamasa (GTM) Jemaat Batang Uru Timur, Mamasa, Sulawesi Barat pada 26 Juni 2021 akhirnya terungkap.

Humas Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Philip Situmorang mengatakan bahwa pelaku pembakaran merupakan warga gereja yang memiliki gangguan jiwa. Pernyataan ini sekaligus menepis dugaan pengguna media sosial yang mengatakan bahwa peristiwa pembakaran GTM terkait dengan masalah intoleransi.

“Informasi di lapangan bahwa pembakaran gereja ini dilakukan oleh warga gereja itu sendiri yang memiliki gangguan kejiwaan,” ungkap Philip dalam keterangan resmi, Selasa, 6 Juli 2021.

Philip juga kecewa dengan sejumlah aktivis media sosial yang menggiring isu pembakaran gereja di Sulbar sebagai masalah intoleransi. Kenyataannya, isu tersebut tidak sesuai dengan fakta di lokasi.

“PGI dan beberapa lembaga peduli HAM telah menyelidiki informasi dan fakta sebenarnya peristiwa tersebut. Ia juga memastikan kepolisian telah memproses kasus tersebut sesuai prosedur yang berlaku,” sambungnya.

“Tanpa menemukan bukti-bukti yang menunjuk pada keterlibatan pihak lain dan bermotif intoleransi. Pimpinan GTM turut membenarkan informasi yang diperoleh PGI tersebut,” ucapnya.

Philip selanjutnya mengimbau jemaat gereja untuk tidak terprovokasi dengan pihak-pihak yang menyebarkan berita atau informasi palsu. Untuk itu, kata Philip, masyarakat diminta untuk meningkatkan literasi cerdas dan bijak dalam menggunakan media sosial.

Sebagai catatan, aksi perusakan dan pembakaran gereja yang terletak di Dusun Paladan, Desa Batang Uru Timur, Kecamatan Sumarorong, Mamasa, Sulawesi Barat itu terjadi pada 26 Juni 2021. Api membakar beberapa fasilitas di bagian dalam gereja dan tidak ada korban jiwa dalam peristiwa pembakaran tersebut.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

PKL Teras Malioboro 2: Suara Ketidakadilan di Tengah Penataan Kawasan

Mata Indonesia, Yogyakarta – Sejak relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) dari Malioboro ke Teras Malioboro 2, berbagai persoalan serius mencuat ke permukaan. Kebijakan relokasi yang bertujuan memperindah Malioboro sebagai warisan budaya UNESCO justru meninggalkan jejak keresahan di kalangan pedagang. Lokasi baru yang dinilai kurang layak, fasilitas yang bermasalah, dan pendapatan yang merosot tajam menjadi potret suram perjuangan PKL di tengah upaya mempertahankan hidup.
- Advertisement -

Baca berita yang ini