MATA INDONESIA, HAITI – Presiden Jovenel Moise ditembak mati oleh beberapa orang bersenjata dengan senapan serbu di kediaman pribadinya pada Rabu (7/7) malam waktu setempat. Insiden ini memicu kekhawatiran akan berlanjutnya kekacauan di negara Karibia yang miskin itu.
Pembunuhan tersebut –yang mendapat kecaman dari Amerika Serikat (AS) dan negara-negara tetangga Amerika Latin, terjadi di tengah kerusuhan politik, gelombang kekerasan geng, dan krisis kemanusiaan yang terus berkembang di Haiti.
Pemerintah mengumumkan keadaan darurat selama dua pekan untuk memburu para pembunuh yang oleh duta besar Haiti untuk AS, Bocchit Edmond, digambarkan sebagai sekelompok tentara bayaran asing dan pembunuh terlatih.
Edmond mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa orang-orang bersenjata itu menyamar sebagai agen Administrasi Penegakan Narkoba AS (DEA) ketika mereka memasuki kediaman Moise – sebuah langkah yang membantu mereka masuk.
Perdana Menteri Haiti mengungkapkan bahwa kawanan bersenjata tersebut berbicara dalam bahasa Inggris dan Spanyol.
“Rekan-rekan saya – tetap tenang karena situasi terkendali. Pukulan ini telah melukai negara ini, bangsa ini, tetapi tidak akan dibiarkan begitu saja,” kata Claude Joseph yang mengambil alih kepemimpinan Haiti untuk sementara, melansir Reuters, Kamis, 8 Juli 2021.
Haiti, sebuah negara berpenduduk sekitar 11 juta orang, telah berjuang untuk mencapai stabilitas sejak jatuhnya kediktatoran dinasti Duvalier tahun 1986 dan telah bergulat dengan serangkaian kudeta dan intervensi asing.
Istri presiden Jovenel Moise, Martine Moise, juga tertembak dalam serangan yang terjadi sekitar pukul 01:00 pagi waktu setempat, di kediaman mereka di perbukitan di atas Port-au-Prince.
Banyak warga Haiti ingin Moise turun dari jabatannya. Sejak dia mengambil alih tahun 2017, Moise menghadapi seruan untuk mengundurkan diri dan protes massa – pertama atas tuduhan korupsi dan manajemen ekonominya, kemudian atas cengkeramannya yang meningkat pada kekuasaan.
Belakangan ini, keadaan di Haiti kian memburuk dengan kekerasan geng yang kian meningkat. Hal ini diungkapkan oleh aktivis hak asasi manusia terkait dengan politik dan pemimpin bisnis yang menggunakan kelompok bersenjata untuk tujuan mereka sendiri.
Moise telah berbicara tentang kekuatan gelap yang bermain di balik kerusuhan: sesama politisi dan oligarki korup tidak senang dengan upayanya untuk membersihkan kontrak pemerintah dan untuk mereformasi politik Haiti.