MATA INDONESIA, JAKARTA – Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan Laporan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), tercatat ada 5.640 kasus terjadi selama periode 1 Januari 2020 hingga 11 Desember 2020.
Kasus yang terus meningkat dari waktu ke waktu ini bukan hanya dari segi kuantitas atau jumlah kasus yang terjadi, bahkan juga dari kualitas. Lebih tragisnya, kebanyakan pelaku berasal dari lingkungan keluarga atau lingkungan sekitar anak itu berada, seperti di rumahnya sendiri, sekolah, atau pun lingkungan sosialnya.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan serius yang melanggar hak asasi anak, menimbulkan trauma bagi korban dan keluarga, serta mengganggu ketertiban masyarakat. Selama ini, pemerintah terus berupaya agar anak-anak di Indonesia terlindungi dari setiap tindak kekerasan seksual melalui sejumlah peraturan perundang-undangan.
Pada 3 Januari 2021, Presiden Joko Widodo resmi meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak (PP Kebiri Kimia), yang diharapkan dapat memberi efek jera bagi para pelaku perbuatan cabul dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak ke depannya.
PP Kebiri Kimia ini merupakan peraturan pelaksanaan dari amanat Pasal 81A ayat (4) dan Pasal 82A ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam PP Kebiri Kimia, pelaku kekerasan seksual terhadap anak terdiri dari pelaku persetubuhan dan pelaku perbuatan cabul. Tindakan kebiri kimia yang disertai rehabilitasi hanya dikenakan kepada pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 2, tindakan kebiri kimia merupakan pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, yang dilakukan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga menimbulkan korban lebih dari satu orang yang mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi.
Sementara itu, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik dan pengumuman identitas pelaku diberikan baik kepada pelaku persetubuhan maupun pelaku perbuatan cabul.
Tata cara pelaksanaan hukuman kebiri kimia diatur dalam Pasal 6. Pasal tersebut menyatakan tindakan kebiri kimia diawali dengan tahapan penilaian klinis.
Dalam Pasal 7 ayat 2, penilaian klinis terdiri dari proses wawancara klinis dan psikiatri, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Tindakan kebiri kimia dikenakan kepada pelaku persetubuhan paling lama dua tahun dan dilakukan di rumah sakit milik pemerintah atau rumah sakit daerah. Kebiri kimia dilaksanakan setelah pelaku selesai menjalani pidana pokok berupa hukuman penjara.
Pelaku baru dapat diberikan tindakan kebiri kimia apabila kesimpulan penilaian klinis menyatakan bahwa pelaku persetubuhan layak dikenakan tindakan kebiri kimia. Selain itu, pelaku tidak semata-mata disuntikkan kebiri kimia, namun harus disertai rehabilitasi untuk menekan hasrat seksual berlebih pelaku dan agar perilaku penyimpangan seksual pelaku dapat dihilangkan.
Rehabilitasi yang diberikan kepada pelaku yang dikenakan tindakan kebiri kimia berupa rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik.
Namun, berdasarkan Pasal 10 ayat 3, pelaku bisa terbebas dari tindakan kebiri kimia bila analisis kesehatan dan psikiatri menyatakan tidak memungkinkan.
Sementara itu, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik diatur dalam Pasal 14 sampai Pasal 17 yang bertujuan supaya pelaku tidak melarikan diri. Pemasangan alat pendeteksi elektronik berlaku setelah pelaku menjalani pidana pokok dan berlangsung paling lama dua tahun.
PP Kebiri Kimia juga mengatur pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Pengumuman identitas tersebut dilakukan setelah pelaku selesai menjalani pidana pokok.
Dalam Pasal 21 ayat 2 menyatakan, pengumuman identitas dilakukan lewat papan pengumuman, laman resmi kejaksaan, media cetak, media elektronik, dan atau media sosial. Pengumuman identitas pelaku ditangani oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).
Dijelaskan lebih lanjut melalui Pasal 22, pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak paling sedikit memuat nama pelaku, foto pelaku terbaru, NIK atau nomor paspor bagi WNA, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat domisili terakhir.
Ketentuan lebih lanjut terkait dengan tata cara penilaian klinis, kesimpulan, dan pelaksanaan tindakan kebiri kimia akan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan kepada jaksa akan diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM.
Reporter: Safira Ginanisa