Seberapa Besar Efek Perang dagang Bagi Kebijakan Moneter Indonesia?

Baca Juga

MINEWS, JAKARTA – Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina masih terus berlanjut. Hal ini berimbas bagi sejumlah negara baik di Eropa maupun Asia, termasuk Indonesia.

Diungkapkan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, ketegangan hubungan dagang makin nyata menurunkan volume perdagangan dunia dan memperlambat pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara.

Perry memaparkan bahwa perekonomian AS diperkirakan tumbuh lebih rendah akibat ekspor yang menurun, stimulus fiskal yang terbatas, serta keyakinan pelaku ekonomi yang belum kuat. Ekonomi kawasan Eropa juga melambat dipengaruhi ekspor yang melemah, dan permasalahan struktural terkait aging population yang berlanjut.

“Pertumbuhan Tiongkok dan India juga melambat akibat penurunan kinerja sektor eksternal serta pelemahan konsumsi dan investasi,” ujar Perry dalam konferensi pers di Kantor Pusat BI, Jakarta, Kamis 20 Juni 2019.

Lebih lanjut, pertumbuhan ekonomi yang melambat ini kemudian mendorong sejumlah bank sentral menerapkan kebijakan moneter yang lebih longgar.

Di samping itu, efek perang dagang juga memicu ketidakpastian di pasar keuangan global, yang kemudian mendorong aliran modal keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia, masuk kembali ke negara maju.

Menurutnya, perkembangan ekonomi dunia ini memberikan tantangan bagi BI dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga arus masuk modal asing. Meskipun, Perry berkata pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2019 diperkirakan melandai akibat kinerja ekspor yang turun.

Eskalasi ketegangan hubungan dagang telah berdampak pada penurunan kinerja ekspor Indonesia akibat terbatasnya permintaan dunia dan turunnya harga komoditas, meskipun sejumlah komoditas seperti kimia, besi dan baja, batubara dan minyak nabati masih relatif baik. Investasi non bangunan belum meningkat signifikan dipicu dampak perlambatan ekspor, namun investasi bangunan tetap berlanjut.

Sementara itu, konsumsi diperkirakan tetap baik didukung terjaganya daya beli dan keyakinan masyarakat. Permintaan domestik yang tumbuh terbatas mengakibatkan impor diperkirakan menurun.

Perry berpendapat, ke depannya upaya untuk mendorong permintaan domestik perlu ditingkatkan untuk memitigasi dampak dampak negatif perlambatan ekonomi dunia akibat ketegangan hubungan dagang ini.

Ia berkata Indonesia juga bisa memanfaatkan peluang dari perang dagang untuk menyuplai sejumlah komoditas seperti bahan kimia, besi, baja, garmen maupun barang elektronik yang ditinggalkan Cina di AS.

Secara keseluruhan, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 berada di bawah titik tengah kisaran 5,0 persen hingga 5,4 persen.

“Kami akan menempuh bauran kebijakan dengan Pemerintah, dan otoritas terkait untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi,” tambah dia.

Sementara dari sisi Neraca Pembayaran Indonesia triwulan II 2019 diperkirakan tetap baik sehingga menopang ketahanan eksternal Indonesia. Surplus transaksi modal dan finansial berpotensi lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya, di tengah defisit transaksi berjalan yang diperkirakan meningkat sesuai pola musiman.

Berlanjutnya aliran modal asing dalam bentuk PMA dan investasi portofolio mendukung surplus transaksi modal dan finansial sejalan dengan prospek perekonomian nasional yang baik dan daya tarik investasi aset keuangan domestik yang tinggi.

“Defisit transaksi berjalan diperkirakan meningkat dipengaruhi kinerja ekspor barang dan jasa yang melambat, serta kebutuhan repatriasi deviden dan pembayaran bunga utang luar negeri yang meningkat sesuai pola musimannya,” kata Perry.

Adapun posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Mei 2019 tercatat sebesar US$ 120,3 miliar, setara dengan pembiayaan 6,9 bulan impor atau 6,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Ke depan, defisit transaksi berjalan 2019 diperkirakan lebih rendah dari tahun 2018, yaitu dalam kisaran 2,5%–3,0% PDB. BI akan terus memperkuat sinergi kebijakan dengan Pemerintah dan otoritas terkait untuk meningkatkan ketahanan eksternal.

Perry juga menyinggung bahwa nilai tukar Rupiah secara keseluruhan bergerak stabil. Pada bulan Mei 2019, nilai tukar Rupiah melemah 0,18% secara point to point dibandingkan dengan akhir April 2019.

Perkembangan ini tidak terlepas dari pengaruh eskalasi ketegangan hubungan dagang yang memicu sentimen risk off di pasar keuangan global.

Namun, pada Juni 2019, Perry menyebut nilai tukar Rupiah kembali menguat, yakni 0,04% sampai 19 Juni 2019 secara point to point dibandingkan dengan level akhir Mei 2019, dan 0,69% secara rerata dibandingkan level Mei 2019.

Perkembangan positif pada Juni 2019 didorong persepsi terhadap prospek ekonomi Indonesia yang tetap baik, termasuk peningkatan sovereign rating Indonesia oleh Standard and Poor’s (S&P), di samping prakiraan arah kebijakan moneter global yang melonggar.

Kondisi ini pada gilirannya mendorong kembali aliran masuk modal asing dan memperkuat Rupiah. Ke depan, BI memandang nilai tukar Rupiah akan bergerak stabil sesuai dengan mekanisme pasar yang tetap terjaga.

Untuk mendukung efektivitas kebijakan nilai tukar dan memperkuat pembiayaan domestik, Bank Indonesia terus mengakselerasi pendalaman pasar keuangan, baik di pasar uang maupun valas.

Sementara Inflasi hingga Mei 2019 tetap stabil karena bersamaan dengan bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri. Adapun Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Mei 2019 meningkat dari 0,44% month to month (mtm) atau 2,83% year on year (yoy) pada April 2019 menjadi 0,68% (mtm) atau 3,32% (yoy).

Perkembangan inflasi IHK ini secara umum terkendali dan sesuai pola musiman pada bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri, yang rata-rata dalam lima tahun terakhir mencapai 0,77%.

Inflasi kelompok volatile food meningkat didorong naiknya harga cabai, daging ayam dan bawang putih. Inflasi kelompok administered prices sesuai pola musiman juga meningkat, bersumber dari tarif angkutan antarkota, tarif angkutan udara, dan tarif kereta api.

“Inflasi inti tetap terkendali, meskipun meningkat didorong kelompok makanan,” ujarnya.

BI akan tetap konsisten menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, guna memastikan inflasi tetap rendah dan stabil. Diperkirakan berada di bawah titik tengah kisaran sasaran inflasi 3,5±1% pada 2019.

Selanjutnya dari sisi stabilitas sistem keuangan juga tetap terjaga disertai fungsi intermediasi yang berjalan baik dan risiko kredit yang terkendali.

Adapun rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan April 2019 tetap tinggi yakni 23,1% dan disertai rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah yakni 2,6% (gross) atau 1,2% (net). Tapi dari fungsi intermediasi, pertumbuhan kredit pada April 2019 tercatat 11,1% (yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan kredit Maret 2019 sebesar 11,5% (yoy).

Begitu pun pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada April 2019 sebesar 6,6%, menurun dibandingkan dengan pertumbuhan Maret 2019 sebesar 7,2%.

Tapi likuiditas perbankan terjaga, antara lain tercermin pada rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 20,2% pada April 2019, meskipun terindikasi menurun pada Mei 2019. Sementara itu, kinerja korporasi go public tetap baik ditopang kemampuan membayar yang terjaga.

Bank Indonesia memandang keterbukaan ruang untuk mendorong pertumbuhan kredit tanpa mengganggu stabilitas sistem keuangan. Siklus kredit yang berada di bawah level optimum dan terdapatnya potensi peningkatan kredit memungkinkan berlanjutnya kebijakan makroprudensial akomodatif.

BI memprakirakan kredit perbankan 2019 berada pada kisaran 10-12% (yoy) sedangkan DPK tumbuh dalam kisaran 8-10%.

Di sisi lain, kelancaran sistem pembayaran tetap terjaga, baik dari sisi tunai maupun non tunai. Di sisi pembayaran tunai, Uang Yang Diedarkan (UYD) tumbuh 19,3% (yoy) mencapai Rp 850,2 triliun sesuai dengan pola musimannya terkait kebutuhan uang selama Ramadhan/Idul Fitri 2019.

Di sisi pembayaran non tunai, total transaksi menggunakan ATM-Debit, Kartu Kredit dan Uang Elektronik (UE) tumbuh 12,6% (yoy), dengan pertumbuhan transaksi UE yang meningkat tinggi yakni 218,3% (yoy).

Peningkatan UE tersebut utamanya terkait dengan penggunaan UE non bank dalam transaksi e-commerce. Ke depan, Bank Indonesia akan terus mendorong perluasan program elektronifikasi, khususnya untuk penyaluran bantuan sosial (Bansos), integrasi moda transportasi, dan transaksi Pemda sebagai upaya peningkatan efisiensi dan peningkatan kapasitas ekonomi.

Perry juga menjelaskan bahwa BI akan mendorong percepatan transformasi digital untuk ekonomi Indonesia melalui implementasi visi baru Sistem Pembayaran Indonesia 2025.

“Selain itu, BI juga terus meningkatkan program peningkatan kualitas UMKM agar mampu menghasilkan produk berkualitas, mampu mengikuti perkembangan digital khususnya penggunaan e-commerce, digital payment dan digital financing, dan memperluas akses ekspor UMKM,” ujar Perry. (Krisantus de Rosari Binsasi)

Berita Terbaru

Pendekatan Holistik Penting Sebagai Strategi Pencegahan Narkoba Sejak Dini

Oleh : Andika Pratama )* Penyalahgunaan narkoba terus menjadi ancaman besar yang merusak masa depan generasi muda dan stabilitas sosial bangsa. Dalam upaya...
- Advertisement -

Baca berita yang ini