Mata Indonesia, Yogyakarta – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengadakan Seminar Nasional bertema “Dari Lubang Tambang ke Lahan Harapan: Reklamasi untuk Keadilan Ekologis Pascatambang” di Kampus Institut Teknologi Yogyakarta (ITY) beberapa waktu lalu.
Kegiatan ini menjadi bentuk kritik terhadap minimnya tanggung jawab negara dan perusahaan dalam proses pemulihan lingkungan pascatambang.
Soroti Kasus Pencabutan Izin Tambang di Raja Ampat
Dalam seminar tersebut, BEM Nusantara DIY menyoroti sejumlah kasus terkini, salah satunya pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Raja Ampat, Papua Barat.
Meskipun izin tambang telah dicabut, reklamasi dan pemulihan lingkungan belum dijalankan secara maksimal.
Akibatnya, masyarakat masih harus hidup berdampingan dengan lubang bekas tambang dan dampak pencemaran lingkungan.
“Pencabutan izin tambang seringkali hanya menjadi formalitas kebijakan. Kenyataannya, masyarakat tetap terpapar bahaya lubang tambang yang menganga dan pencemaran air,” ujar Mohammad Rafli Ilham, Koordinator Daerah BEM Nusantara DIY, dikutip Minggu 15 Juni 2025.
Komitmen Mahasiswa Mengawal Isu Lingkungan
Presiden Mahasiswa ITY, Doniyen, menegaskan bahwa seminar ini menjadi bagian dari komitmen mahasiswa untuk terus mengawal isu lingkungan di Indonesia.
“Kegiatan ini adalah wujud nyata peran kami sebagai agent of control. Kami ingin terus menyuarakan kepentingan rakyat dan menjaga kelestarian lingkungan, terutama dalam isu-isu yang kerap dibungkam,” ujar Doniyen.
Seminar ini semakin penting karena dihadiri oleh 32 himpunan mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Teknik Lingkungan Indonesia (IMTLI) dari berbagai kampus di seluruh Indonesia.
“Ini bukan sekadar diskusi, melainkan momentum penting untuk membangun gerakan bersama dan memperkuat narasi kolektif,” tambahnya.
Kritik Terhadap Reklamasi dan Transisi Energi
Panji Kusumo, peneliti dari Center of Economic Law Studies, juga menyampaikan kritik tajam terhadap kegagalan sistem dalam menegakkan keadilan ekologis.
Menurutnya, banyak perusahaan enggan melakukan reklamasi karena dianggap merugikan secara finansial, sementara negara lebih berpihak pada kepentingan pasar.
“Kerusakan lingkungan seringkali dianggap sebagai dampak sampingan yang dapat diterima. Padahal, reklamasi seharusnya menjadi kewajiban yang tidak bisa ditawar,” jelas Panji.
Panji juga menyinggung bahaya tersembunyi di balik transisi energi yang disebut ‘hijau’. Ia menilai transisi ini justru memunculkan bentuk baru kolonialisme.
“Transisi energi saat ini hanya mitos. Negara-negara penghasil emisi terbesar justru mengekstraksi nikel, tembaga, dan mineral penting dari negara seperti Indonesia. Ini adalah bentuk baru kolonialisme hijau, di mana atas nama energi bersih, tanah dan rakyat kita terus dikorbankan,” tegasnya.
Tantangan Pemulihan Ekologis di Lapangan
Ika Arsi Anafiati, dosen Teknik Pertambangan ITY, menjelaskan bahwa keadilan ekologis mulai diintegrasikan ke dalam kurikulum teknik melalui pembelajaran berbasis learning outcomes dan proyek-proyek berprinsip ESG (Environmental, Social, Governance).
Namun, ia menilai bahwa penerapan di lapangan masih jauh dari harapan.
“Pencabutan izin seperti di Raja Ampat memang langkah positif, tetapi kapasitas perusahaan yang rendah, lemahnya pengawasan, dan ketidakadilan bagi masyarakat terdampak masih menjadi tantangan besar,” katanya.
Seruan BEM Nusantara DIY untuk Keadilan Ekologis
BEM Nusantara DIY menegaskan bahwa reklamasi pascatambang harus mengedepankan prinsip pemulihan yang adil dan menyeluruh. Hal itu harus menitikberatkan terhadap pengakuan hak masyarakat atas ruang hidup
Selain itu, pemulihan ekosistem dan ruang budaya yang rusak. Selanjutnya penegakan hukum terhadap perusahaan yang merusak lingkungan.
Lalu ada keterlibatan aktif warga dalam setiap proses pemulihan.
“Anak muda bukan hanya pewaris krisis, tetapi juga agen perubahan. Hari ini kami bersuara bukan hanya untuk menolak ketidakadilan, tetapi untuk membangun masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan,” ujar Rafli Ilham.